Yet Another Immaterial Idea Successfully Redefined

Dia, merah marunku. Kurengkuh agar tak terlihat dari luar. Kubiarkan membunglon di tengah lingkaran. Kujaga agar bebas kontaminan. Dan tetap nyalanya terpancar, hangat, memantul lembut di pipi pecinta: merah marun.

Terkadang dia menjadi inti, dengan kulit menjelma violet gelap saat gundah menyergah, mengandai merah yang sama di kungkungan iga berbeda nan entah dimana. Sering terselimuti biru bahkan, ketika rindu menyapa mengecup hangat kening dengan bibir membara. Indah, berkilat, berani, sensual, merah marunku.

Sayang...
Merah marun itu kini sewarna tirai pada teater lawas. Terlupakan. Cabik, kusam, berdebu. Ada tetes leleh serupa darah mengaliri sela jemari ketika kudekatkan dia ke wajah, mencermati masihkah dia baik-baik saja. Meski ternyata tidak, syukurlah dia punya semangat juang tinggi. Aku khawatir dia thalasemia karena lukanya tak kunjung kering walau telah bertahun-tahun digoreskan dan perihnya tak kunjung mereda. Dan kuyakin, merah marunku tidak berusaha menggores dirinya sendiri. Dia hanya pasrah lega-lila pada apa yang sudah digariskan. Jadilah apa yang sudah seharusnya, bisiknya lirih, di sela nafas yang satu-satu terhela. Hebat sekali. Padahal terpikir jutaan kali sudah, untuk menyuntikkan morfin dosis tinggi agar deritanya tuntas dengan nikmat.

Ada masa ketika luka menutup serupa lecet, meski masih berdarah. Kupikir dia akan pulih. Aku sempat senang, tapi tidak berlangsung lama. Lecet itu kembali menetes merah segar. Lebih panjang, lebih dalam, lebih sakit. Sudahlah, aku baik-baik saja, katanya terbata sambil meringis menahan getir.

Pernah dia mengeluh lelah, ingin moksa, tapi kuyakin itu hanya ucapan tanpa arti. Kobar itu masih memancar galak di sepasang jendela jiwanya, sama seperti dulu meski kini hanya titik. Ketika kutanya apa yang sesungguhnya dia damba, pelan senyumnya mengembang. Kamu sudah tau, tak usah bertanya. Berusahalah, jawabnya. Aku akan tetap ada disini untukmu dan kamu tau itu. Aku mengada karena kau mewujud, ujarnya. Aku hanya bisa termangu, sendu menggugu.

Perlahan aku beranjak bangkit dari tepi pembaringannya. Kuelus rambutnya lembut, merah marunku itu, penuh rasa sayang. Wajahnya damai dengan senyum samar terukir. Dia terlihat cantik, walau dengan luka dan parut yang memerahkan bantal di bawah kepala. Sekilas aku menangkap kesan martir agung menanti Le Mort dengan heroik. Aku membungkuk dan mencium pipinya, membaui sedikit anyir dan asin darah di bibirku melalui goresan panjang melintang dari daun telinga kanan hingga ke dahi. Kutatap manik matanya yang masih jalang menunggu datangnya sosok berjubah dan bertudung hitam layaknya Dementor dari neraka, membawa sabit besar berkilat-kilat di tangan kanan. You're such a damned, stubborn bitch. Why don't you give up, tanyaku membatin. To which she replies, ever so slowly as if to emblazone the meaning deeply beneath my skull: I won't, baby, because I am as stubborn as you are; because I am the shape I'm in... and because this marooned thingy is your battered, bleeding heart.

[Ah, Imogen Heap dan Portishead... Kalian ada gunanya juga dipiara di gudang MP3 files.]


To Sutarchie: Ya. Kamu betul sekali. Establish shot saya harusnya memang mimisan. Ini verbalisasinya.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women