Capitalism, Anyone?
Konon, manusia pernah menemukan cara mencukupi diri dengan saling menukar barang. Kalo misalnya gwa perlu ayam untuk dimasak dan Oknum M butuh wortel (untuk apa? Tanya sendiri), kami tinggal barter. Setelah itu gwa bakal bahagia menikmati semur ayam dan Oknum M akan mengerang dengan wortel. That's what I call fair trade. Everybody's happy and no harm done, kecuali terhadap ayam dan wortel. Dan si Oknum M, mungkin. Kalo dia nggak pake KY jelly atau saos sambel.
Zaman berubah. Manusia selalu berusaha membuat hidup lebih baik dan nyaman, karena itu banyak tercipta alat bantu. Mulai kapak batu hingga cangkul ketika zaman pra-sejarah makin progresif--meramu, berburu, hingga bercocok tanam. (Gwa baru tau kalo jaman pra-sejarah udah ada sekolah Hogwarts. Ada pelajaran meramu segala!)
Kata Eyang Darwin, evolusi berawal dari Homo Soloensis hingga Homo Sapiens (ya ya, ini cuma to make long story short, jangan protes!). Dengan berubahnya fisik, alam, lingkungan dan organ berpikirnya, para Homo ini (yang sudah sangat erectus, apalagi jika pagi hari menjelang) makin progresif pula menciptakan berbagai alat bantu dan alat tukar. Cara barter tinggal sejarah ketika uang telah dibuat, dan yang ada hanya jual-beli. Dan dengan motif ekonomi masing-masing, para pedagang dan pembeli ini akan bersepakat pada harga. Contohnya bisa dilihat di Malioboro dan pasar-pasar tradisional. Wortel dan ayam sekarang punya nominal.
Yang lebih edan lagi adalah penemuan mesin uap yang memicu adanya revolusi industri, dimana barang kebutuhan bisa dibuat banyak dan harganya akan lebih terjangkau. Sesuai dengan hukum, jika suplai berlebih maka harga jadi murah. Tenaga manusia diganti mesin dan proses pembuatan dipercepat untuk menghasilkan produk massal.
Sudah? Belum.
Untuk berproduksi banyak diperlukan bahan baku banyak juga kan? Nah, untuk mendapatkan bahan baku banyak, kita harus keluar modal banyak kan? Disini kapitalis mulai unjuk gigi: ketika modal dikeluarkan dan hasil yang ingin dituai tanpa batas. Dengan mengeruk hasil alam sekalipun, hingga alam babak-bundas dan fungsinya tiada. Kapitalisme dan eksploitasi emang kayak tai ama kentut, barengan terus. Berdasarkan namanya aja, kapital (yang berarti modal), bisa keliatan siapa pemain utama pada sistem seperti ini. Di masa-masa awal revolusi industri, mereka hanya bikin yang diperlukan pasar, berharap dapat menangguk untung berlebih. Dan lebih. Dan lebih. Dan lebih.
Sekarang barang diproduksi bukan karena dibutuhkan sebagai item bertahan hidup, tetapi juga untuk memenuhi hasrat. Kalo nggak ada pasarnya, ya ciptain sendiri dong! Bisa dengan branding, kampanye, gempuran iklan di berbagai media (hingga blog) atau yang pake endorser artis-artis cakep-bening-menyegarkan dan berkulit kenyal layaknya karet sebagai representasi barang yang dijual. Target pasar dibidik sedemikian rupa, pakek strategi dan forecast yang lebih jitu daripada BMG. Dengan modal yang nggak sedikit, tentunya. Seperti yang dikatakan lelaki-agak-cacat-otak yang pernah mengunyah kursi Sastra Nuklir UGM (dan sekarang berkantor di Bapeten. Haha! Gwa sebut lagi!), motif manusia hanya bermuara pada urusan perut dan bawah perut. Ekonomi dan hasrat, dimana keduanya berbanding lurus dan tanpa batas. Kemudian tercipta global trading, dimana barang produksi dalam dan luar negeri saling bersaing dalam hal kualitas, harga dan ketersediaan. Menurut Eyang Marx, kapitalisme cenderung menghasilkan monopoli dan membuat masyarakat jadi miskin karena para kapitalis itu bakal menurunkan upah buruh demi meningkatkan keuntungan. Semua itu ya karena pengaruh persaingan tadi. Disini kapitalisme berubah jadi jahanam karena manusia = alat produksi.
Dulu gwa pernah mencak-mencak karena ada mahasiswa S2 menyebalkan yang bilang: untuk memperkaya satu orang atau kelompok harus ada kelompok lain yang dimiskinkan. Wets! Nggak bisa! Pikiran-sok-humanis gwa menentang keras. Untuk menuju langit kita bisa sambil gandengan, nggak usah nginjek kepala orang, sanggah gwa. Dengan tenangnya, si mahasiswa yang dikuliahin sama pembayar pajak dan retribusi (alias pungli resmi yang dikeluarkan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia) karena dia pegawai Pemda di Sulawesi sana (dan gwa nggak tau namanya) bilang kalo--meskipun terdengar kejam--begitulah hukum ekonomi. Ya ya ya. Hukum, yang diciptakan hanya untuk melindungi kepentingan dan harta segelintir orang, berbahasa dingin, tanpa perasaan.
Nggak munafik, jaman sekarang kita hidup dalam kapitalisme karena menjadi konsumer adalah keren. Nggak peduli punya duit atau nggak. Buying things you don't need with money you don't have is a lifestyle. Gwa nggak bisa bilang kalo gwa anti. Ya, gwa masih pake produk Triumph, Nike dan Converse meski gwa benci cara mereka memperkuda para pekerja. Apologi gwa adalah: gwa beli ketiga merek itu dengan nunggu diskonan, harga pabrik. At least gwa bayar hasil keringat sodara-sodara gwa sesama buruh dan tutup mata dengan brand value yang nilainya lebih besar dari upah mereka. Dan inilah gwa, si anak haram kapitalis yang dibesarkan di dalamnya tapi berusaha gerilya menolak air susu manis dari tetek yang disorongkan ke mulutnya.
Gwa nggak minder karena gwa berusaha sadar dan (sedikit) pintar menghabiskan duit yang nggak seberapa. Itu knapa gwa nggak punya kartu kredit dan rekening di bank pun cuma untuk transfer fee atau nyimpen duit karena gwa nggak punya dompet. Generasi yang lahir taun delapanpuluhan macem gwa nggak kenal itu romantisme dan ghirah perebutan kemerdekaan, revolusi, atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dimana nilai tukar jadi jatuh dan duit cuma buat hasta karya, digunting-gunting. Di masa gwa tumbuh, yang namanya pembangunan sudah semangkin maju dan diharapken mampu meningkatken kesejahteraan rakyat. Seperti yang dulu sering kita denger dan liat waktu Laporan Khusus menayangkan dia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut sedang mancing di yacht atau panen padi atau gunting pita di pedesaan (pake ajudan dan asisten bersafari sementara beliaunya cuma pakek celana pendek dan kaos) di tengah film yang lagi rame-ramenya kita tonton. Anak-anak yang tumbuh bareng gwa menghabiskan waktu mereka di mall, kafe, salon, dan toko buku keren macem Aksara dan QB. Nggak, nggak salah sama sekali. Gwa juga suka gitu, kecuali ke salon. Tapi ketika terlintas pikiran bahwa tanpa mall maka hidup jadi hampa... Voila! Selamat! Lo udah jadi bukti nyata betapa kapitalisme mendarah daging di tubuh lo.
Gwa nggak bisa melepaskan diri dari omongan Menteri Keuangan Negara Bunderan HI Merdeka bahwa--mengutip ucapan Eyang Pram--manusia yang tidak berproduksi pasti korupsi. Dan korupsi itu nggak cuma materi. Pemikiran dan cara lo hidup pun bisa korupsi. Misalnya gwa yang punya kecenderungan korupsi dengan komitmen. Gwa tau, untuk sebagian orang pemikiran gwa adalah subversif. Untungnya Bapak Pembangunan yang selalu menggagas penggunaan bahasa Endonesia yang baek dan bener itu udah nggak jadi presiden. Kalo nggak, gwa pasti udah dikerangkeng hanya dalam beberapa jam setelah gwa posting ini. Gwa tau, banyak yang berpendapat bahwa omelan gwa disini cuma sampah nggak penting dan bikin pusing. Silahkan di delete, silahkan dihujat, baik japri maupun di depan publik. Emang gwa peduli? Tapi--dengan sedikit waktu yang gwa punya--gwa cuma mau supaya kita nggak hidup layaknya robot bergenital yang punya hasrat nggak berkesudahan. Setidaknya kita sadar kalo kita manusia yang punya rasa dan mampu berfikir untuk kemudian bertindak. This is my way of action. This is my way of production. Though I'm alone.
*Teriring soundtrack Psychobabble dari Imogen Heap. Yup. Gwa masih mellow*
ps: Thanx untuk The Yogi yang selalu jadi pencerah ketika lungkrah (dan nggak berubah setelah menikah). Ini persembahan atas begadang di tengah pilek sampe jam 3 di TIM. TANPA PLETOK!!!
Zaman berubah. Manusia selalu berusaha membuat hidup lebih baik dan nyaman, karena itu banyak tercipta alat bantu. Mulai kapak batu hingga cangkul ketika zaman pra-sejarah makin progresif--meramu, berburu, hingga bercocok tanam. (Gwa baru tau kalo jaman pra-sejarah udah ada sekolah Hogwarts. Ada pelajaran meramu segala!)
Kata Eyang Darwin, evolusi berawal dari Homo Soloensis hingga Homo Sapiens (ya ya, ini cuma to make long story short, jangan protes!). Dengan berubahnya fisik, alam, lingkungan dan organ berpikirnya, para Homo ini (yang sudah sangat erectus, apalagi jika pagi hari menjelang) makin progresif pula menciptakan berbagai alat bantu dan alat tukar. Cara barter tinggal sejarah ketika uang telah dibuat, dan yang ada hanya jual-beli. Dan dengan motif ekonomi masing-masing, para pedagang dan pembeli ini akan bersepakat pada harga. Contohnya bisa dilihat di Malioboro dan pasar-pasar tradisional. Wortel dan ayam sekarang punya nominal.
Yang lebih edan lagi adalah penemuan mesin uap yang memicu adanya revolusi industri, dimana barang kebutuhan bisa dibuat banyak dan harganya akan lebih terjangkau. Sesuai dengan hukum, jika suplai berlebih maka harga jadi murah. Tenaga manusia diganti mesin dan proses pembuatan dipercepat untuk menghasilkan produk massal.
Sudah? Belum.
Untuk berproduksi banyak diperlukan bahan baku banyak juga kan? Nah, untuk mendapatkan bahan baku banyak, kita harus keluar modal banyak kan? Disini kapitalis mulai unjuk gigi: ketika modal dikeluarkan dan hasil yang ingin dituai tanpa batas. Dengan mengeruk hasil alam sekalipun, hingga alam babak-bundas dan fungsinya tiada. Kapitalisme dan eksploitasi emang kayak tai ama kentut, barengan terus. Berdasarkan namanya aja, kapital (yang berarti modal), bisa keliatan siapa pemain utama pada sistem seperti ini. Di masa-masa awal revolusi industri, mereka hanya bikin yang diperlukan pasar, berharap dapat menangguk untung berlebih. Dan lebih. Dan lebih. Dan lebih.
Sekarang barang diproduksi bukan karena dibutuhkan sebagai item bertahan hidup, tetapi juga untuk memenuhi hasrat. Kalo nggak ada pasarnya, ya ciptain sendiri dong! Bisa dengan branding, kampanye, gempuran iklan di berbagai media (hingga blog) atau yang pake endorser artis-artis cakep-bening-menyegarkan dan berkulit kenyal layaknya karet sebagai representasi barang yang dijual. Target pasar dibidik sedemikian rupa, pakek strategi dan forecast yang lebih jitu daripada BMG. Dengan modal yang nggak sedikit, tentunya. Seperti yang dikatakan lelaki-agak-cacat-otak yang pernah mengunyah kursi Sastra Nuklir UGM (dan sekarang berkantor di Bapeten. Haha! Gwa sebut lagi!), motif manusia hanya bermuara pada urusan perut dan bawah perut. Ekonomi dan hasrat, dimana keduanya berbanding lurus dan tanpa batas. Kemudian tercipta global trading, dimana barang produksi dalam dan luar negeri saling bersaing dalam hal kualitas, harga dan ketersediaan. Menurut Eyang Marx, kapitalisme cenderung menghasilkan monopoli dan membuat masyarakat jadi miskin karena para kapitalis itu bakal menurunkan upah buruh demi meningkatkan keuntungan. Semua itu ya karena pengaruh persaingan tadi. Disini kapitalisme berubah jadi jahanam karena manusia = alat produksi.
Dulu gwa pernah mencak-mencak karena ada mahasiswa S2 menyebalkan yang bilang: untuk memperkaya satu orang atau kelompok harus ada kelompok lain yang dimiskinkan. Wets! Nggak bisa! Pikiran-sok-humanis gwa menentang keras. Untuk menuju langit kita bisa sambil gandengan, nggak usah nginjek kepala orang, sanggah gwa. Dengan tenangnya, si mahasiswa yang dikuliahin sama pembayar pajak dan retribusi (alias pungli resmi yang dikeluarkan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia) karena dia pegawai Pemda di Sulawesi sana (dan gwa nggak tau namanya) bilang kalo--meskipun terdengar kejam--begitulah hukum ekonomi. Ya ya ya. Hukum, yang diciptakan hanya untuk melindungi kepentingan dan harta segelintir orang, berbahasa dingin, tanpa perasaan.
Nggak munafik, jaman sekarang kita hidup dalam kapitalisme karena menjadi konsumer adalah keren. Nggak peduli punya duit atau nggak. Buying things you don't need with money you don't have is a lifestyle. Gwa nggak bisa bilang kalo gwa anti. Ya, gwa masih pake produk Triumph, Nike dan Converse meski gwa benci cara mereka memperkuda para pekerja. Apologi gwa adalah: gwa beli ketiga merek itu dengan nunggu diskonan, harga pabrik. At least gwa bayar hasil keringat sodara-sodara gwa sesama buruh dan tutup mata dengan brand value yang nilainya lebih besar dari upah mereka. Dan inilah gwa, si anak haram kapitalis yang dibesarkan di dalamnya tapi berusaha gerilya menolak air susu manis dari tetek yang disorongkan ke mulutnya.
Gwa nggak minder karena gwa berusaha sadar dan (sedikit) pintar menghabiskan duit yang nggak seberapa. Itu knapa gwa nggak punya kartu kredit dan rekening di bank pun cuma untuk transfer fee atau nyimpen duit karena gwa nggak punya dompet. Generasi yang lahir taun delapanpuluhan macem gwa nggak kenal itu romantisme dan ghirah perebutan kemerdekaan, revolusi, atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dimana nilai tukar jadi jatuh dan duit cuma buat hasta karya, digunting-gunting. Di masa gwa tumbuh, yang namanya pembangunan sudah semangkin maju dan diharapken mampu meningkatken kesejahteraan rakyat. Seperti yang dulu sering kita denger dan liat waktu Laporan Khusus menayangkan dia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut sedang mancing di yacht atau panen padi atau gunting pita di pedesaan (pake ajudan dan asisten bersafari sementara beliaunya cuma pakek celana pendek dan kaos) di tengah film yang lagi rame-ramenya kita tonton. Anak-anak yang tumbuh bareng gwa menghabiskan waktu mereka di mall, kafe, salon, dan toko buku keren macem Aksara dan QB. Nggak, nggak salah sama sekali. Gwa juga suka gitu, kecuali ke salon. Tapi ketika terlintas pikiran bahwa tanpa mall maka hidup jadi hampa... Voila! Selamat! Lo udah jadi bukti nyata betapa kapitalisme mendarah daging di tubuh lo.
Gwa nggak bisa melepaskan diri dari omongan Menteri Keuangan Negara Bunderan HI Merdeka bahwa--mengutip ucapan Eyang Pram--manusia yang tidak berproduksi pasti korupsi. Dan korupsi itu nggak cuma materi. Pemikiran dan cara lo hidup pun bisa korupsi. Misalnya gwa yang punya kecenderungan korupsi dengan komitmen. Gwa tau, untuk sebagian orang pemikiran gwa adalah subversif. Untungnya Bapak Pembangunan yang selalu menggagas penggunaan bahasa Endonesia yang baek dan bener itu udah nggak jadi presiden. Kalo nggak, gwa pasti udah dikerangkeng hanya dalam beberapa jam setelah gwa posting ini. Gwa tau, banyak yang berpendapat bahwa omelan gwa disini cuma sampah nggak penting dan bikin pusing. Silahkan di delete, silahkan dihujat, baik japri maupun di depan publik. Emang gwa peduli? Tapi--dengan sedikit waktu yang gwa punya--gwa cuma mau supaya kita nggak hidup layaknya robot bergenital yang punya hasrat nggak berkesudahan. Setidaknya kita sadar kalo kita manusia yang punya rasa dan mampu berfikir untuk kemudian bertindak. This is my way of action. This is my way of production. Though I'm alone.
*Teriring soundtrack Psychobabble dari Imogen Heap. Yup. Gwa masih mellow*
If life is only a blip on the radar screen, make it big, bright and memorable as an exploding supernova to its extinction.
ps: Thanx untuk The Yogi yang selalu jadi pencerah ketika lungkrah (dan nggak berubah setelah menikah). Ini persembahan atas begadang di tengah pilek sampe jam 3 di TIM. TANPA PLETOK!!!
mentriku disebut2 ...
ReplyDeleteada spesies baru namanya (miring)homo erectus coitus interuptus(/miring)
ReplyDelete*lho kok tetep erectus hurup-e, padahal wis tak miringke?*
AARRGGHHH!!!!
ReplyDeletePenting ya nyebut-nyebut WORTEL!?
*ngilu*
Pak presiden BHI:
ReplyDeleteHalu...
(=
Maz Pitik:
Halah! Mesakno, erectus terus. Pasti pegel!
OmBu:
Lho?! Ya penting, dunk. Kan untuk ilustrasi. Lagian knapa dikaw yg ngilu?
Er... jangan-jangan dikaw di Oknum M itu?!
HWAAAAAAAAAAAA!!!
hasta karya, semangkin, daripada ?? kamu anak lapanpuluhan ya ? **ngangguk-angguk**
ReplyDeleteMaz Iway:
ReplyDeleteHu uh. Powas?!