Membincang Selangkang
Silahkan maki saya vulgar, nggak beradab, kasar, binal, sundal, apapun lah. Saya cuma nggak mau menabukan hal yang memang nggak tabu karena saya bisa lihat jelas penandanya dimana-mana.
Penis.
Saya rasa satu kata itu nggak mewakili makian atau porno jika dipergunakan dalam term yang sesuai. Lain halnya jika memakai nama lain untuk menunjuk benda yang ada di tiap selangkang lelaki atau trans-gender. Sungguh, buat saya nggak tabu menyebut penis. Yang tabu adalah simbol yang mewakilinya, saking tabunya bahkan sebagian besar manusia nggak sadar bahwa mereka terhegemoni karena amat sangat rapihnya hal tersebut terkamuflase dan tidak dibicarakan.
Buat saya, kekuasaan yang terlambang pada penis sangat menakutkan. I have penis, therefore I rule. Mungkin begitu penjewantahannya dalam kata. Gedung-gedung dibangun sangat tinggi sangat megah, melambangkan phallus yang dipuja orang-orang dahulu kala, lengkap dengan skortumnya berupa bangunan dasar yang melebar. Mari bikin setinggi-tingginya. Masukkan dalam rekor dunia. Capailah langit dan Tuhan dengan perwakilan penis kita yang terdiri dari batu, semen, baja, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Blah.
Dulu, waktu saya membantu penelitian seorang kawan kulit putih--yang nenek moyangnya menjajah nenek moyang kita berabad lalu--tentang ibu-ibu hebat yang berjualan makanan sebagai penopang hidup, saya trenyuh sekali. Beberapa dari mereka sungguh-sungguh banting tulang menjadi wanita baja, secara fisik dan mental. Dinihari hingga larut malam mereka harus bekerja tanpa henti demi biaya sekolah anak, kebutuhan sehari-hari serta bertahan hidup--instink purba yang melekat pada mahluk, mulai dari tumbuhan bersel satu hingga mamalia terbesar di dunia macam paus. Jauh sebelum adzan subuh berkumandang, mereka harus bergegas ke pasar, sendiri, sementara anggota keluarga lainnya (termasuk suami) masih bergelung nyaman dalam selimut. Menerjang pelecehan dan kesulitan yang timbul hanya karena mereka perempuan, ibu-ibu tersebut pulang ke rumah dan mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak lalu dijual. Lelaki yang sering dibilang lebih kuat dari perempuan itu biasanya baru bangun, meminta sesaji kopi dan rokok untuk leyeh-leyeh in the morning dan marah jika keinginannya tidak terpenuhi tanpa peduli sudahkah istrinya istirahat sejenak menikmati pagi. Ketika berkas sinar matahari terlihat, para suami itu akan mengayuh becak atau nongkrong di pasar atau manapun, berusaha mengutip sedikit rejeki dari jalanan untuk digunakan di arena sabung ayam atau tertebar diantara kartu-kartu gaple. Sementara itu istri mereka mesti memutar roda hidup, membagi hasil yang sedikit agar semua keperluan anak-suami tuntas meski dia babak-bundas. Waktu saya tanya buat apa mereka menikah jika beban masih begitu berat, mereka menjawab: buat perlindungan. Jika kamu mencerai suami, maka tetangga akan mencibir. Jika kamu tidak bersuami, tetangga bergunjing dan di pasar kamu akan lebih dilecehkan karena perempuan single adalah milik umum untuk dijamah dan dipandangi sepenuh nafsu. Begitulah, ujar mereka.
Saya jadi ingat ketika iseng bergabung dengan Animal Rescue. Waktu itu ibu dokter harus memeriksa beberapa ekor primata dewasa yang belum lama disita. Di kandang karantina, beberapa primata jantan memamerkan kelamin mereka untuk menunjukkan milik siapa yang lebih besar, yang artinya: siapa jantan dominan. Saya hanya tersenyum getir. Hasil penelitian memang tidak salah. Kita dan primata hanya berbeda kurang dari 3% secara genetis. Sisanya sama saja.
Kawan saya yang berjilbab, cantik, pintar dan galak pernah berkata bahwa sebencong apapun lelaki, meski mereka berdandan lebih cantik dari para perawan, jika mereka masih berpenis maka kita patut takut. Padahal kawan saya perempuan itu macan diskusi, pelahap banyak buku dan pemred handal di persma kampus. Argh!
Jadi, apakah saya pembenci lelaki? Oh, tidak. Pasang kembali penis kalian, lelaki. Jangan khawatir. Saya tidak setakut teman saya itu. Saya juga tidak cemburu dengan kalian seperti yang dikatakan Simbah Freud. Saya punya sepasang gundukan lemak berisi kelenjar susu mirip dengan yang sering kalian pelototi diam-diam di layar komputer warnet dan berharap dapat menyentuh, mengunyel-unyel dan menghisap layaknya bayi. Kalian yang harusnya payudara-envy terhadap saya. Saya juga nggak akan memutilasi penis tiap lelaki yang saya temui karena--MUNGKIN--suatu saat saya perlu ketika saya telah *merobek hymen dengan sendok teh. Maafkan saya jika kenyamanan kalian terguncang akibat intimidasi saya seputar selangkang kalian. Santai saja. Saya hanya sendiri, kok. Kalian pasti akan selalu menang dan saya akan kembali memaki sambil menikmati Brad Pitt, Ariel Peterpan, Johnny Depp, Fauzi Baadillah, Orlando Bloom, Pakdhe Zen dan Ashton Kutcher dengan cengiran aneh dan tatapan mupeng.
ps: tampang Mas Brad terganteng adalah di film Snatch dan Fight Club. Dia satu-satunya aktor yang tambah cakep saat berdarah-darah.
dedicated to cowok keren yang sering komen disini dan kemarin kerap mengerang hingga lemas di meja makan tiap saya ngomong saru. Tolong, jangan ngadu-ngadu ke abangmu duonk! Deg-degan, tauk!
Note:
* dikutip dari ucapan Shakuntala pada Larung-nya Ayu Utami
Penis.
Saya rasa satu kata itu nggak mewakili makian atau porno jika dipergunakan dalam term yang sesuai. Lain halnya jika memakai nama lain untuk menunjuk benda yang ada di tiap selangkang lelaki atau trans-gender. Sungguh, buat saya nggak tabu menyebut penis. Yang tabu adalah simbol yang mewakilinya, saking tabunya bahkan sebagian besar manusia nggak sadar bahwa mereka terhegemoni karena amat sangat rapihnya hal tersebut terkamuflase dan tidak dibicarakan.
Buat saya, kekuasaan yang terlambang pada penis sangat menakutkan. I have penis, therefore I rule. Mungkin begitu penjewantahannya dalam kata. Gedung-gedung dibangun sangat tinggi sangat megah, melambangkan phallus yang dipuja orang-orang dahulu kala, lengkap dengan skortumnya berupa bangunan dasar yang melebar. Mari bikin setinggi-tingginya. Masukkan dalam rekor dunia. Capailah langit dan Tuhan dengan perwakilan penis kita yang terdiri dari batu, semen, baja, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit. Blah.
Dulu, waktu saya membantu penelitian seorang kawan kulit putih--yang nenek moyangnya menjajah nenek moyang kita berabad lalu--tentang ibu-ibu hebat yang berjualan makanan sebagai penopang hidup, saya trenyuh sekali. Beberapa dari mereka sungguh-sungguh banting tulang menjadi wanita baja, secara fisik dan mental. Dinihari hingga larut malam mereka harus bekerja tanpa henti demi biaya sekolah anak, kebutuhan sehari-hari serta bertahan hidup--instink purba yang melekat pada mahluk, mulai dari tumbuhan bersel satu hingga mamalia terbesar di dunia macam paus. Jauh sebelum adzan subuh berkumandang, mereka harus bergegas ke pasar, sendiri, sementara anggota keluarga lainnya (termasuk suami) masih bergelung nyaman dalam selimut. Menerjang pelecehan dan kesulitan yang timbul hanya karena mereka perempuan, ibu-ibu tersebut pulang ke rumah dan mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak lalu dijual. Lelaki yang sering dibilang lebih kuat dari perempuan itu biasanya baru bangun, meminta sesaji kopi dan rokok untuk leyeh-leyeh in the morning dan marah jika keinginannya tidak terpenuhi tanpa peduli sudahkah istrinya istirahat sejenak menikmati pagi. Ketika berkas sinar matahari terlihat, para suami itu akan mengayuh becak atau nongkrong di pasar atau manapun, berusaha mengutip sedikit rejeki dari jalanan untuk digunakan di arena sabung ayam atau tertebar diantara kartu-kartu gaple. Sementara itu istri mereka mesti memutar roda hidup, membagi hasil yang sedikit agar semua keperluan anak-suami tuntas meski dia babak-bundas. Waktu saya tanya buat apa mereka menikah jika beban masih begitu berat, mereka menjawab: buat perlindungan. Jika kamu mencerai suami, maka tetangga akan mencibir. Jika kamu tidak bersuami, tetangga bergunjing dan di pasar kamu akan lebih dilecehkan karena perempuan single adalah milik umum untuk dijamah dan dipandangi sepenuh nafsu. Begitulah, ujar mereka.
Saya jadi ingat ketika iseng bergabung dengan Animal Rescue. Waktu itu ibu dokter harus memeriksa beberapa ekor primata dewasa yang belum lama disita. Di kandang karantina, beberapa primata jantan memamerkan kelamin mereka untuk menunjukkan milik siapa yang lebih besar, yang artinya: siapa jantan dominan. Saya hanya tersenyum getir. Hasil penelitian memang tidak salah. Kita dan primata hanya berbeda kurang dari 3% secara genetis. Sisanya sama saja.
Kawan saya yang berjilbab, cantik, pintar dan galak pernah berkata bahwa sebencong apapun lelaki, meski mereka berdandan lebih cantik dari para perawan, jika mereka masih berpenis maka kita patut takut. Padahal kawan saya perempuan itu macan diskusi, pelahap banyak buku dan pemred handal di persma kampus. Argh!
Jadi, apakah saya pembenci lelaki? Oh, tidak. Pasang kembali penis kalian, lelaki. Jangan khawatir. Saya tidak setakut teman saya itu. Saya juga tidak cemburu dengan kalian seperti yang dikatakan Simbah Freud. Saya punya sepasang gundukan lemak berisi kelenjar susu mirip dengan yang sering kalian pelototi diam-diam di layar komputer warnet dan berharap dapat menyentuh, mengunyel-unyel dan menghisap layaknya bayi. Kalian yang harusnya payudara-envy terhadap saya. Saya juga nggak akan memutilasi penis tiap lelaki yang saya temui karena--MUNGKIN--suatu saat saya perlu ketika saya telah *merobek hymen dengan sendok teh. Maafkan saya jika kenyamanan kalian terguncang akibat intimidasi saya seputar selangkang kalian. Santai saja. Saya hanya sendiri, kok. Kalian pasti akan selalu menang dan saya akan kembali memaki sambil menikmati Brad Pitt, Ariel Peterpan, Johnny Depp, Fauzi Baadillah, Orlando Bloom, Pakdhe Zen dan Ashton Kutcher dengan cengiran aneh dan tatapan mupeng.
ps: tampang Mas Brad terganteng adalah di film Snatch dan Fight Club. Dia satu-satunya aktor yang tambah cakep saat berdarah-darah.
dedicated to cowok keren yang sering komen disini dan kemarin kerap mengerang hingga lemas di meja makan tiap saya ngomong saru. Tolong, jangan ngadu-ngadu ke abangmu duonk! Deg-degan, tauk!
Note:
* dikutip dari ucapan Shakuntala pada Larung-nya Ayu Utami
untung bukan cowok keren
ReplyDelete*liat par terakhir*
*jatoh dari korsi*
ReplyDeletepito pasti lagi horny
ReplyDelete*berlalu santai*
dunia dibangun atas citra kelaki-lakian...bahkan Tuhanpun dicitrakan secara laki-laki...padahal aku seneng Tuhan itu ga usah bercitra laki2 yang sangar...
ReplyDeletemoreeeee, kurang vulgar
ReplyDeletebaru tahu kalo gedung tinggi dengan dasar lebar itu melambangkan penis dan scrotumnya, thanks buat pencerahannya *halah*
Luthfi:
ReplyDeletekamu juga keren koq lut. tapi masi bergulat sama skripsi si. ga jadi keren. bwek!
Ombu:
Sukor!
Om Nonos (abangnya OmBu):
Hu uh. Abis liat bred pit bedarah-darah dan bayangin gimana kalo dia saya lumat... kunyah-kunyah sampe lembut. Yummy!
Maz Pitik:
Tentang tuhan dan citra laki-laki itu kupikir cuma cara orang jadul menggulingkan kepercayaan pagan yang lebih mengagungkan perempuan. Kalo baca Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong kamu bakal lebih ngerti de. Mau tak pinjemin?
(=
Maz Iway:
ReplyDeleteHehe...
Jadi kaki kamu masih bisa ereksi pit ?
ReplyDeleteDidik:
ReplyDeleteCiaaaaaaaaaatttt!!! Dezigh!!!
Heran gwa. Masih inget ajah!
hehhh !!! Orlando Bloom ???? itukan pacarkuuuuwwwww *mugo2 bojoku ra moco
ReplyDelete/*penggemar Orlando Bloom terutama di Film LOTR, Kingdom of Heaven, and Pirates :D
bukan horny, oom cronos.
ReplyDeletelagi snetimentil, tepatnya.
hihihihi
Mbak Vink-Vink:
ReplyDeletebungkus, mbak. pek en. aku bret bit nggetih ae.
Mbak Intjeh:
sentimentol dunk ah, biar semriwing rasa menthol
(=
sama ma mas iway, aku juga batu tau kalau gedung2 pencakar langit itu simbol dari cowok...hmmmm, harus lebih d yakinkan nehh(halah)
ReplyDeletededicated to cowok keren yang mengerang lemas karena wortel, pit?
ReplyDeletesepakat!
ReplyDelete