Posts

Showing posts from July, 2009

About Ar Rahman

Ini malam melankoli bersama Apocalyptica menghajar telinga menggiring sunyi keluar jendela. Saya sendirian meski tidak kesepian. Karena saya masih punya cinta. Tadinya saya tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Saat dua pasang mata bertatapan dan masing-masing hati mengirim getar yang tertangkap dalam satu frekuensi menyelaras; ketika dunia sontak senyap meskipun kamu sedang berada di pinggir jalan raya paling padat dan paling macet se-Jakarta; ketika semua bayangan dan warna mengabur karena hanya ada dia sebagai fokus alam semesta. Tai kucing! Bullshit itu! Namun saya merasakannya. Kemarin, pada teduh Minggu sore. Tiga kali, bahkan. Damn. Saya begitu heroik menyebrangi empat jalan protokol dan merunduk di bawah kolong dua jalan layang demi mendapati sepasang mata putih susu. Dan, sebagaimana terjadinya kecelakaan, apes, dan cinta, semua datang tanpa sempat ditebak. Strike one. Memasuki pagar sebuah rumah sederhana, saya dapati sepasang mata garang menyelidik, mengira-ngira, meni

English Club: Week 6

Yes, BHI English Club is back! The Bitch Teacher is rolling again. After losing the classroom in Boncang Headquarter because the Treasury Minister had moved to Tebet Effektif apartment, thanks to Paman Tyo , we succeeded to learn in one, cramped, icy room in Dagdigdug office behind the hypest angkringan in town . It was Saturday night and Mbak Wiwiek , Tika , The Treasury Minister and The Lady , and-hey!- Tante Ai were joining the fucked-up class. The subject was about basic survival phrase. There is the level of urgency in the words want to , need to , and have to , and the last becomes most urgent. Put it this way: When a man sees a sexy lady in front of him for five minutes, he wants to fuck her. When she starts to dance seductively, he needs to fuck her. When she begins to undress, there... he has to fuck her. When The Bitch Teacher asked her students to put those expressions into stories, there were a lot of ' cubung ' ( curhat terselubung ) poured down. Mbak Wiek wa

About A Bomb

Image
Jumat, 17 Juli 2009. The end of an ordinary weekday. Saya berangkat memburuh dengan hati riang memeluk akhir pekan yang sehari lebih panjang. Saat saya menutup kamar pagi itu, U2 menyumpal telinga dengan 'Sometimes You Can't Make It On Your Own', lagu pembuka untuk siapapun yang menyapa saya melalui ponsel karena saya pasang sebagai RBT hampir setahun ini. Dan sungguh, saya memang sama sekali tidak bisa melalui hari berdarah tersebut sendirian. Jakarta ' meledak ' lagi. JW Marriot dan Ritz-Carlton hotel kali ini yang kena sasaran. Pagi ketika orang sedang memulai hari. Ketika aroma pagi menyapa nostril memaksa mata tak kembali pejam. Ketika nyawa turun sepenggalan setelah Penabur Pasir usai menunaikan tugas. Ketika roda-roda hidup mulai berakselerasi dengan kerja. Saya marah. Dan takut. Tidak seperti tahun 2003, ketika tempat yang sama meledak pertama kali, sekarang saya ada di Jakarta. Bukan di Jogja. Meskipun saya tidak bisa mendengar dentuman tersebut karena jau

Impossible Cuntry

Yes, your eyes don’t mistake you. Saya menulis judul sewaras saya terjaga malam ini. Karena saya ingin bercerita. Pada suatu masa ada kerajaan dimana semua penduduk dan rajanya melakukan hal-hal yang tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Mereka dipaksa menjadi robot meskipun sejatinya mereka manusia. Namun rakyat hidup teratur. Setidaknya karena semua barang mahal sementara upah minimalis, mereka dipaksa menjadi teratur dan tidak melakukan apapun kecuali bekerja. Misalnya, di beberapa tempat, mereka berangkat kerja pagi-pagi sekali, mandi dengan air kekuningan bercampur endapan feses setelah terjaga di atas kasur busa tipis dalam RSS (Rumah Susah Selonjor) nan pengap dihuni sepasang suami istri dengan tiga anak. Para pekerja ini kemudian menunggu angkot atau bis di pinggir jalan raya semrawut, tergenang becek kehitaman dari selokan meluap. Lalu mereka mengantri di gerbang pabrik. Kadang bagi perempuan yang mengaku sedang mengalami proses peluruhan akibat sel telur menganggur tak terbua

For the Love of God, eh, Dog

Image
Ini Sasa. Halfbreed antara rottweiler dan herder. Umur dua tahun, betina, sudah divaksin komplit dan steril. Dia pintar menjaga rumah. Manis, penyayang, dan cerdik. Diantara kumpulan anjing, dia adalah pemimpin (melihatnya saya percaya kalau perempuan bisa jadi presiden yang kompeten). Dulu, waktu masih tinggal di shelter untuk anjing-anjing terlantar, dia selalu berada paling depan. Selalu berinisiatif mencetuskan permainan. Namun dia mematuhi tuannya seperti seorang putri menurut pada ayahnya. Bandel sedikit, kadang-kadang. Layaknya gadis kecil yang selalu ingin tahu. Jika ayahnya sedang mengepel dan kebetulan dia berada dalam ruangan, dia akan lari dan naik ke kotak di sudut halaman depan. Entah karena tidak ingin mengganggu atau tidak suka kakinya basah. Sasa selalu bisa menjaga diri. Dia akan keluar malam-malam jika ingin jalan-jalan. Tanpa harus didampingi, bila saatnya pulang, dia sudah akan berdiri di depan pagar. Lidahnya menjulur dan ekornya bergoyang seperti baling-baling he

Vote, Anyone?

Keluarga saya nggak ada yang fanatik pada ajaran agama maupun partai tertentu. Tapi kami memilih. Saya pun akhirnya harus rela menodai kelingking dengan tinta murahan warna biru gelap beberapa bulan kemarin, lebih karena sabda kedua orangtua yang mengingatkan saya agar menjadi warganegara yang baik. Ya. I voted. Namun benarkah saya menggunakan hak suara sebagaimana lazimnya orang memilih? Tidak. Pada empat lembar kertas selebar koran, saya tuliskan besar-besar dengan spidol ‘MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH’ (dan misteri pemilih kurang ajar itu terungkap beberapa minggu kemudian ketika saya pulang dan mengaku. Ibu dan Babab hanya nyengir tengil. Untungnya). Setelah itu saya roadtrip, liburan singkat. Terlempar di terminal Lebak Bulus sore hari untuk larut dalam obrolan bersama tukang ojek di penghujung malam menunggu jemputan pada pinggiran Semarang. Jujur saja, saya muak dengan nama-nama yang tercantum di lembaran kertas pemilih. Itu adalah nama yang menghiasi jalan protokol dan gang tikus