Posts

Showing posts from July, 2011

Tentang Tas dan Mas-mas

PENYANGKALAN : Ini adalah penghakiman, bukan apresiasi. Watch it. Sejak saya sekolah saya jarang punya teman perempuan. Well, frankly speaking, saya memang jarang punya teman. Saya-you may say-cupu abis. Tanpa TK saya langsung masuk SD, jadi nerd yang buta baca-tulis, badan paling bongsor tapi umur paling muda, dan jadi sasaran bullying teman sekelas dan guru pertama. Tapi saya percaya what doesn't kill me makes me stronger (though it does feel like a major, fucking hell). What I've gone through shaped me what I am now. So here I am, a bitch and all. Or at least that's the word people stamp on my forehead that I bear indifferently. Yet, being a bitch, I have my own value. One of those is to be able to depend on myself. Dan ke-bitch-an saya terusik pertama kali saat saya masuk SMP. Dalam perjalanan pulang-pergi sekolah menggunakan angkot, bis atau KRL sering saya dapati mas-mas menenteng tas pacar mereka. Itu tas perempuan. Modelnya feminin sekali. Kebayang nggak sih ada c

Series of Random Thought: At Dawn

So here's the thought: Somebody's been thinking to screw my mind and failed successfully. But that's alright. There will be tomorrow, Buddy. So keep trying. Dan pagi buta begini saya mengais-ngais sisa semangat yang sempat hilang lama sekali. Tapi saya nggak yakin. Benarkah hilang, terselip di dompet siapa, atau hanya plesiran sementara? Jadi, saya hanya bengong menatap langit-langit kamar yang masih saja terlalu gelap. Suara Dr. Lightman menemani saya sebagai latar, dimana benak saya mengembara bersama entah. Relationship. Kadang bikin nyaman, kadang bikin kuat, namun lebih sering menorehkan gurat luka pada ego yang sebelumnya tak pernah terjamah. Baiklah. Tiap orang butuh ironi dan tragedi untuk bikin dirinya merasa lebih baik. Termasuk saya. Jadi, mari kita bicarakan cerita orang lain ini. Tersebutlah seorang perempuan urban kosmopolit nan cantik, terlalu matang dan tak lagi muda. Dia melek politisasi tubuh perempuan, vokal menyuarakan hak-haknya sebagai mahluk berv

Tentang Maaf dan Ramadhan

Sudah mulai penuh inbox kalian dengan basa-basi-busuk pra-Ramadhan berupa permintaan maaf? Untuk yang belum menyampahi kerabat dan kolega dengan broadcasted messages penuh kepalsuan, here's the thought: Mengapa tak minta maaf pada orang-orang berbeda agama karena nantinya akan membuat tidur mereka terganggu akibat kesupersibukan masjid dan mushola dinihari? Mengapa tak minta maaf pada para PSK yang harus menganggur di "bulan suci"? Mengapa tak minta maaf pada para pemilik warung makan yang dilarang jualan siang-siang? Mengapa tak minta maaf pada para keluarga miskin yang akan kesulitan makan karena harga-harga melambung tinggi? Mengapa tak minta maaf pada semua pekerja hiburan malam yang juga menganggur padahal sebagian besar juga ikut Lebaran? Mengapa tak minta maaf pada orang-orang sakit yang ingin ikut puasa tapi dilarang dokter? Mengapa tak minta maaf pada anak-anak kecil yang (dipaksa) belajar lapar? Mengapa tak minta maaf pada para gembel musiman yang berha

Series of Random Thought: Confession

Start (menurut jam di Pektay): 7.23 Finish : 7.30 Ini semacam pengakuan. Beberapa bulan ini saya tidak lagi jadi procrastinator kelas wahid tapi jadi tumbuhan. Hidup asal hidup. Keinginan jalan-jalan, baca, nonton, apalagi menulis, sama sekali nggak ada. Saya nggak tau kenapa. Padahal saya merasa nggak ada masalah. Kecuali masalah laten yang dari dulu sampai sekarang ya begitu-begitu saja. Jadi, saya mencoba lagi cara lama, menulis apa yang ada di benak saya dalam waktu yang saya tentukan sendiri. Entah menulis apa. Yang penting menulis. Tadi pagi saya nonton Biutiful, film besutan sutradara Innaritu. Ceritanya anjing. Tentang seorang ayah (yang entah kenapa waktu saya lihat mukanya dari samping saya teringat film animasi Disney yang lokasinya di Peru) preman yang kerjanya jadi mediator antara kontraktor dan para imigran gelap, punya istri rada gila tapi seksi, beranak dua perempuan dan laki-laki, dan di tengah kericuhan antara kondisi rumah t