Posts

Showing posts from 2008

Kaiowas, Anyone?

Lagi mellow mengenang masa lalu, mendadak kesandung di lagu lama itu. Dimaenin di MTV Video Music Awards Brazil taun 2004 kalo ga salah. Ah, Max Cavalera , bapak ganteng itu. Sayang nggak ikut maen. * memandang kerjaan pabrik yang belum kelar juga... * ps: Sebel ah ama Kaiowas . Nggak kayak Chingachgook dan Unca yang daya survivalnya tinggi. Indian kok bunuh diri. Ga acik! Shit! My music sense tambah aneh aja...

Another Weekend Shits

Destiny. Where motives and methods and everything is connected. Sometimes a little human collateral is the cost of freedom. For one person, they are only war casualties. For another, they are just evidence. Some people don't know what's coming. They don't have a clue. There is a purpose. Satan reasons like man but God thinks of eternity. Somehow, I prostrate myself before a world that's going to hell in a handbag, 'cause in all eternity, I am here and I will be remembered. That's destiny. A bomb has a destiny, a predetermined fate set by the hand of its creator. And anyone who tries to alter that destiny will be destroyed. Anyone who tries to stop it from happening will cause it to happen. We're not here to coexist. I'm here to win. So you'd better have some divine intervention. You're gonna need it. ( Caroll Oerstadt in Deja Vu . Oh, the monologue was happening in the interogation room where he stated those shit with pride but cried after Denze

La Vita รจ Bella

Berteman satu karton susu full cream dingin seliteran (yang saya tenggak langsung tanpa gelas) dan suara seksi Jonathan Davis menyumpal telinga sambil menunggu telepon dari Jin Laknat , saya mensyukuri hidup yang menurut saya amat sangat indah tak tergantikan. Tidak, saya tidak membandingkan dua puluh tahun sekian hidup saya dengan penjual angkringan yang tadi saya sambangi dan bercerita tentang pekerjaan barunya sebagai pesuruh kantor. Atau dengan tukang parkir asli Malang berwajah mirip Sujiwo Tejo yang saya pancing ngobrol dan berakhir dengan pembicaraan mengenai syariat-tarikat-hakikat-makrifat dan bagaimana akhirat sebagai hidup setelah mati (dan saya babak bundas mengikutinya). Atau dengan senyum di muka lelah mbak-mbak pelayan resto fastfood tempat saya mengganjal perut dengan nugget dan rootbeer di detik-detik menjelang tutup (dan saya santai merokok 3 batang sambil membaca). Atau dengan bapak supir taksi pendiam yang saya tumpangi dari pelataran Melawai hingga Radio Dalam d

Some Kinda Nothing

Hey Han! Sudah akan Ramadhan lagi dan kesalahanku masih membukit. Janji, niat, yang akan berujung entah, dan lagi-lagi Kamu masih selalu terlalu baik. Nggak bosen apa Han, tak kasih cuap-cuap semacam caleg cari dukungan? Sudah akan Ramadhan lagi dan waktuku hampir tak ada. UntukMu, untukku sendiri, dan untuk orang-orang terdekat. Sementara Kamu mencipta matahari dan bulan bukan tanpa arti (meski aku sunyi sendiri menggugat pengetahuan yang semakin ingin digali). Sudah akan Ramadhan lagi dan langkahku makin jauh. Apa yang sepertinya aku cari hanya berakhir pada ruang hampa kedap suara. Dan teriakanku semakin hilang, tenggelam bersama hiruk-pikuk kerumunan riuh. Sudah akan Ramadhan lagi dan kerja tak pernah selesai. Bagi tubuh, bagi jiwa, bagi benak. Ramadhan memang tidak akan membuat semuanya bertambah ringan. Namun Kau berjanji ini adalah pertempuran terberatku melawan nafsu untuk utuh mendapatkanMu. Han, Tolong...

Blah!

Well, now I'd like to babble about people called lunatics, loony, nuts, insane, mentally disorder, crazy, screwed-in-the-head, or whatevathefuckingnameis. Starts from... Him who had made an encounter with a piper who called himself Borneo from Kalimantan (got the pun? Go praise your stupidity if you don't. Haha!), scribed on a leftover name card that once belonged to someone. Who that someone is would be nothing of any importance in whatsoever. What I'm about to emphasize is how he wrote about this so called Borneo with respect, without any disgraceful tone in his most gentle manner and lifting this loony up by calling him a man with free soul though another person stated his/her gratitude for being way better than this poor Borneo and it sucked, big time. (I knew him well to call him gentle, so stop rolling your eyes or I'll stuck my fingers into your sockets and poke them out. Capiche?) And then, him who is so depressed he needs professional help and proud of it (

Siang Sunyi (?)

Sebentar... I'm the best? Really? Bukankah 'the best' adalah superlatif dimana harus ada pembanding sementara disini yang menjadi peserta satu-satunya adalah saya seorang diri? Wait... Hanya saya yang mengerti kamu? Oh, Please! Jika kamu menutup diri pada dunia bagaimana dunia akan mengerti kamu? Errr... I'm amazing? Yeah rite. You see me with the microscope on and I'm the only ear who'd like to hear So, what's the deal? Let me strip the plain, let me not give in. Free me of your life, inside my heart dies. Your dreams never achieved, don't lay that shit on me. Let me live my life (Korn - Dead Bodies Everywhere)

The Mother

Masih dalam rangka safari kondangan, saya berhasil menyasarkan diri ke pelosok Klaten dengan rok batik sematakaki dan blus putih tanpa lengan. Stupid memang, jauh-jauh dari Jakarta ke Klaten hanya untuk kondangan, apalagi mengenakan 'perabotan lenong' berupa rok dan blus. Tapi begitulah kode etik saya demi menghormati yang punya hajat. Namun (mungkin) karakter saya memang tidak terhormat. Pada pesta yang telah usai itu, pada hamparan makanan yang tertutup perabot metal, di depan panggung pelaminan terpampang megah di halaman rumah, di depan sepasang mempelai yang telah berganti baju rumahan beserta kerabat-kerabatnya, di hadapan seorang ibu berwajah bijak-bestari, saya yang hanya tentengan dan cuma kenal si wali nikah yang kebetulan teman saya mulai merasakan candu nikotin merambat perlahan dari urat nadi dan menggedor syaraf motorik untuk segera memasukkan asap jahanam ke dalam paru. Saya reflek menjangkau sekotak rokok dalam tas dan meminta izin sekedarnya. Dikasih atau nggak

A Journey, Anyone?

Kamu tidak memilih perjalanan, namun perjalanan yang memilihmu Zen si Pejalan Jauh Senin sore kembali saya jejak Stasiun Jatinegara. Melangkah mantap diantara kerumunan penumpang KRL Jabotabek yang berdiri menunggu kereta di peron. Berbaur bersama copet dan pengemis dan anak-anak dekil memanggul karung besar berisi gelas plastik bekas wadah air mineral. Menghirup kembali campuran aroma keringat, parfum merek abal-abal, dan asap knalpot yang melindap dari luar. Senyap dalam riuh halo-halo bapak petugas informasi dan pedagang asongan dan wajah penuh harap pengemudi taksi dan ojek dan bajay menawarkan jasa. Pada satu warung Sate Padang berornamen lalat di seberang saya labuhkan pantat, ransel padat dan tas hitam dengan logo salah satu provider GSM nyata tercetak di bagian muka berisi boots hitam setengah betis, salah satu 'perlengkapan perang' yang saya bawa dalam perjalanan. Fuck the flies, karena lapar adalah bumbu ternikmat untuk makanan apapun. Apalagi sedari dini hari menung

Stupidity, Anyone?

Rada gatal juga membaca masalah ini . Apalagi sampe Ndoro Sesepuh unjuk posting juga karena diamanahi 'imel pengaduan' (yang sayangnya juga mengadukan nama-nama 'korban' lengkap dengan link ke blog mereka masing-masing). Berkolaborasi bareng manusia gila mantan playa , ditengah tenggat yang nggak kalah gila, saya ikutan nyampah di situs begawan panatablogger itu (saya nggak akan link blognya karena beliau sudah terlalu ngetop!). Sungguh, kata adalah senjata. Berbekal semacam disclaimer yang menjelaskan bahwa beliau belum sempat crosscheck dan check dan recheck di penghujung tulisan, betapa manusia-manusia berumah maya tersebut seperti mesiu tersulut di padang gersang waktu kemarau dengan komentar-komentar yang tajam menusuk seperti belati segar tergerinda. Mereka lupa jika beliau HANYA POSTING dan bukan jadi curhat center. Beberapa nama yang ada dalam daftar 'korban' menolak pernyataan mbak pencurhat dan menyangkal jika mereka pernah kena tipu. Komentator yang b

Melankoli

Pagi. Sendiri. Merasa mati. Hasilnya? Ini! Tunggu Lima menit Disitu Aku akan cari Lang Ling Lung Dan aku akan bilang: "Tolong hentikan waktu-bukan aku bukan dia- saat aku bersamanya" Sayang, aku hanya bisa mencampakkan buku Donal Bebek tua ke keranjang sampah (Tahan. Sisa hari tidak seperti Jisamsu yang berat dan panjang dan lama) -- Kumaki waktu yang mulur-lengket s eperti tahi dari genjer terdigesti berlarik liris pada lagu Gerwani Kala yang terkadang pejal mampat ujung ke pangkal Seperti orgasme quickie di kamar mandi dosen dan mahasiswi Ada ribuan detik sepi berderik pada engsel-engsel malam membawa kelam dan suram Jutaan dendam Milikku (tak kusangka kesunyian bisa sepekak ini) Aku mabuk waktu. Hik.

Jakarta. Lagi

Saya senang bertandang ke pasar tradisional dinihari saat orang-orang terlelap dalam mimpi. Meskipun aroma tak karuan bercampur, antara sayuran busuk, ikan asin, amis daging, dan seruap otak-otak mentah, saya masih tetap bisa menikmati kopi berjam-jam dan bergelas-gelas di salah sebuah warung, menyendiri dan mendengarkan kesibukan. Namun saya nggak tahan sama premannya. Di lorong masuk ke kamar kecil, oleh seorang preman gondrong-dekil-sok-galak-dan-kerempeng saya dikomentari sebagai pembawa tanda akhir zaman karena berlagak seperti laki-laki dengan rambut pendek dan rokok di tangan. Saya berbalik dan menantang matanya, kemudian menyumpal telinga saya dengan Muhammad Marxianus Samsul Al-Ramadhani keras-keras sambil menunggu Jin Laknat selesai berhajat. Oh, sambil tetap mengepulkan asap, tentu. Jangan lupa. Dengan gaya Bitchy. Haha! (Anjing lah! Untung gwa nggak digebugin!) Karena iseng Sabtu Malam tidak bisa tidur, pukul dua pagi saya sudah berada di Pasar Minggu, melarut bersama or

Bendera Saya Setengah Tiang

Bisakah kau kehilangan apa yang sebenarnya tidak pernah kau miliki? Tadinya saya pikir tidak mungkin ada kondisi seperti itu. Yet, experiencing is believing and I've lived to tell you this. Sejam yang lalu saya masih terbengong-bengong dan merasa percakapan pada ponsel yang baru saya akhiri adalah mimpi, mencoba mencerap kata demi kata dari orang asing berlogat Bali yang berkawan akrab dengan nya beberapa tahun terakhir mereka bekerja sekantor. Sebut saja namanya Oka, dengan terbata-bata menahan haru, bercerita tentang dia yang kerap menyampahi inbox saya dengan SMS tak masuk akal hingga saya harus sering 'nyapu'; yang rajin menemani malam-malam tanpa lelap dengan diskusi lewat telepon hingga saya tertidur selepas Subuh; yang mengejutkan Senin saya dengan paket kaos dan cemilan; dan terdiam lama tanpa jawab saat saya bertanya 'How do you feel about me?'. Dia tiada. Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, gegar otak yang tidak terdeteksi merenggutnya di usia yang m

Tentang Kehilangan

Nduk, Aku begadang lagi, mengabaikan lelehan ingus yang makin mendera hidung dan membuat susah bernafas tanpa mengindahkan pening di kepala. Berteman seorang penyendiri, meniada diantara jejeran rak pemancar radiasi ribuan kwh, mencoba mengisi lowong yang mendadak terasa sesak sementara telinga terhantam dentam dan nyalak yang bikin pekak. Ini adalah salah satu malam dimana aura sewarna kembang sepatu pada pagar sekolah dasar pinggir Jakarta saat langit menjelang senja di Sabtu malam. Familier, menyamankan, namun tetap ditinggalkan. Baru kemarin rasanya aku kembali belajar menjalani multitasking tergila, bergerak antara waktu publik dan waktu langit dalam alur simultan, melatih seluruh indra bagaimana merasakan lagi sedikit asketisme dalam kadarnya yang paling sederhana, melakukan perjalanan ulang-alik dalam setiap detak jantung. Namun yang paling gila adalah di saat yang sama itu pun aku merasakan uforia luar biasa atas suatu kejadian semu dimana penindasan kembali terjadi dalam kondi

Hey Han!

Kenapa rasanya kosong sekali?

Pro: Someone

Buaya laki-laki tidak selalu lebih berbahaya daripada buaya perempuan Terimakasih, terimakasih, terimakasih untuk paket kaos dan cemilan. Sebenernya nggak usah diselipin gitu kamu selalu jadi malaikat pembuat kenyang lho. Eh, tapi aku kok ngerasa yang kamu pilihin itu berdasarkan pengalaman pribadi yah? Haha!

Between Romanticizing and Ngising

Person 1 Night xxx1: Hey, pulang. Jangan kerja terus. Gwa lagi packing ni, mendadak disuruh ke luar kota ama bos. Dem Me: Iya, ini bentar lagi juga kelar. Errr... mo mana? xxx1: Aceh. Cuma 4 hari koq. Besok pagi brangkat. Ntar Senen juga ketemu lagi. Tapi dadakannya ini gwa eneg banget Me: Ya anggap aja jalan2. Eh, kopi Aceh ya, ama dodol. Pake ganja! xxx1: Siap! Kalo sempet ya. Soalnya jadwal padet banget ni Me: K. Gwa dah slesai ni. Mo cabz. Take care, U xxx1: Have a great nite ya. Mwah! Morning xxx1: Pagi, say. Gimana tidurnya? Enak? Me: Hey! Morning 2 U 2 (= Lumayan la, dapet 4 jam kek biasa. Gimana Aceh? Menyenangkan? xxx1: Udah getting better ketimbang 6 bln lalu gwa kesini. Nanti sore mo cari pesenan lo nih. Katanya susah. Bingung juga kalo ntar ditangkep aparat Me: Yawda, sebisa lo aja. Yang penting mah Kopi Aceh la sekilo. Yah, yah, yah... xxx1: Buat lo apa sih yang nggak? Haha! Gombal banget ya gwa =P Me: Gwa dah biasa digombalin. Ga mempan kalo cuma segitu doank. Coba lagi y

Protes

Melalui ' Tuhan Sembilan Senti '-nya Taufik Ismail lagi-lagi saya 'ditegur sayang' oleh seorang kawan lama karena dia paling antipati pada kebiasaan saya merokok. Ya, saya mencoba berprasangka baik bahwa apa yang dia lakukan adalah demi kebaikan saya dan karena dia peduli pada saya. Sebagaimana pejalan kaki di sekitaran Bundaran Senayan yang memandang simpati pada pengemis tua di pintu masuk STC dan melemparkan sekeping limaratusan padahal bapak itu amat sangat lemahnya hingga berjalan membeli makan pun dia tidak kuat. Iya, persis seperti itu. Saya berusaha memahami puisi penyair senior ini dengan amat sangat lapang dada (meskipun sekarang memang sedang sesak karena terlalu banyak merokok dan flu dua minggu yang belum sembuh juga). Begini. Sama halnya dengan seluruh ciptaan manusia di dunia, rokok memiliki dua sifat baik dan buruk. Misalnya, pisau yang tercipta untuk memotong makanan (dan berakhir di dada seorang istri bersimbah darah ketika sang suami kalap memergokiny

Texting Romance

Morning Him: Non, mo ikut ga? Nanti resepsinya Jon jam 3 sore. Tapi aqiqahan dulu di kantor. Jam 9 harus udah siap ya. Tak jemput Me: Dresscode? Rok batik gpp? Tapi sepatunya sneaker ya? Xixi... Him: Wes, pakek kerudung aja. Aman, ga bakal ditilang pulisi Me: Gak nduwe )= Eh, kita kan begadangan tuh, mripate wes koyok burung hantu. Mecing2an yuh Him: Lha ya jelas, wong ra tau turu mbengi. Le durung subuh durung turu. Eh, mecing piye? Me: Kamu pake PDL sama celana kulit. Atasane kemeja item. Aku tak pake boots sama gaun item. Tak pake chocker spike juga. Kan asik tu, kek mo nonton konser Marilyn Manson. Heboh pasti! Him: Bedez gendeng. Eh, ga jadi jemput wes. Masih sakit kan? Me: Gpp koq. Sakitnya karna kurang jalan2 Him: Lha penyiksaan namanya kalo sakit masih tak ajak. Mbok ke dokter. Tak anter po? Me: Males. Ndak doktere tambah sugih. Ini udah digelontor kunirasem+madu, jus mangga, makan serius, sama vit c dosis tinggi Him: Nek 1 x 12 jam belum sembuh tak gotong ke Balian Karangasem

Being A Brave One

There's plenty of ways to die, but you've got to figure out a way to live. Neil Jordan 's The Brave One Siang terik dengan nyeri haid, sedikit demam, hidung tersumbat dan kepala pening karena flu berat, lagi-lagi saya salah pilih film. Bersetting di The Big Apple , Erica Bain yang diperankan Tante Jodie, punya a tall-dark-handsome-and-oh-so-sexy lover bernama David Kirmani (I never knew Indian could be this hot, considering the ol' Shahrukh ...). Mereka 'dikerjain' beberapa berandal dan berakhir dengan sekujur tubuh babak belur, Erica koma tiga minggu dan Si Ganteng David pergi ke alam baka. Erica, sadar bahwa belahan jiwanya tiada, terguncang hebat. Akhirnya dia cari keadilannya sendiri berbekal sepucuk pistol tanpa lisensi, berubah dari korban menjadi pelaku. Cerita diakhiri dengan tuntasnya dendam Erica yang berhasil memuntahkan peluru panas ke tenggorokan si tokoh jahat melalui pistol yang dipinjamkan detektif simpatik Mercer. Edan, karena disini penegak huk

Pada Suatu Ketika

Me: Dhe? Him: Ya? Me: Why does it hurt? Him: Nggak tau Me: Tapi kan dia yang patah hati, kenapa dada gwa sesak dan sakit sampe sekarang? Him: Lha kamu maunya gimana? Me: Pengennya seneng, soalnya dia udah nggak bareng si sundal yang cuma bisa main-main sama hati dan hidupnya itu. I really hate dat slut! Him: Jangan gampang 'I hate-I hate' kenapa sih?! Udah... Biarin aja dulu Me: Ampe berapa lama didieminnya? Nggak bisa pake cara instan gitu? Him: Maksudnya didiemin dulu itu supaya ketauan penyebab dadamu terasa sesak dan sakit itu kenapa. Siapa tau itu cuma impuls-impuls aja. Kalo perlu kamu meditasi. Atau jangan-jangan kamu pake kutang kekecilan? =)) Me: Asu Me: *sigh* What should I do now? Him: Rileks. Kalo eneg ya udah, terima aja. Nggak usah mikir macem-macem dulu Me: But I don't like this feeling. It's annoying. Nggak bisa ditanggulangi po? Him: Kamu harus belajar membiarkan sesuatu membuka dirinya sendiri. Jangan dipaksa-paksa Him: Mending fokus ke dia, bantu dia

Justified

Following kerusuhan Nusa Kambangan , mak bedunduk ujug-ujug mandor saya bertanya di siang-siang terik yang bikin kita semua terkantuk-kantuk: "Eh, itu eksekusi jadi nggak ya semalem?" Cuma karena kata 'eksekusi' pikiran saya jadi kemana-mana. Dulu saya pernah mendiskusikan dengan adik saya tentang cara mati paling menyakitkan tapi 'fun' buat algojonya. Jawab Si Icha yang waktu itu masih SMU di Muhamadiyah adalah, "Dikitik-kitik aja. Kan karena geli banget, ketawa nggak berenti-berenti, bakalan susah napas tu. Pasti sesek. Atau sekalian, biar cepet, pas dikitikin mukanya dibekep bantal." Not bad. Atau versi teman saya yang asli Purwokerto, "Disendokin aja matanya." Nice. Atau versi teman saya yang lain, "Pake garpu. Tusuk lehernya. Atau dicuwili dagingnya. Gimana kek caranya, yang penting pakek garpu." Sementara saya, terinspirasi dari film dan cerita Abad Pertengahan , membayangkan seseorang dengan tangan dan kaki terpentang ke e

Quo Vadis, Polisi Indonesia?

Belum ada sepuluh menit yang lalu saya menyaksikan kejadian menyedihkan setelah saya mengantar Jo hingga ke taksi. Waktu saya menyebrang jalan Radiodalam yang padat merayap untuk beli rokok di koperasi, dua motor hitam, besar dan keren berhenti dan parkir mendadak dengan satu motor matic biru-putih di belakangnya. Pengendara motor-motor keren itu adalah dua orang identik dan gagah berhelm a la pembalap dan celana lapangan warna coklat, sepatu lars, dan jaket hitam dengan badge 'Fighting Falcon' dan beberapa aksesori berbau angkatan. Sementara pengendara motor matic adalah pemuda remaja dengan sneaker, jumper, tas selempang dan helm setengah. Dua mas-mas ganteng dan bertampang garang itu bicara dengan nada kasar namun suara tetap ditekan hingga saya yang berjarak tidak lebih dari lima meter hampir tidak bisa mendengarnya. Sesayup mereka membentak tentang 'lampu merah' dan 'macet' dan 'menerobos' sambil bergegas mendekati si mas matic yang sepertinya geme

Sedang E'ek

Dua malam kemarin karena derajat keisengan saya sedang berada di titik kulminasi, saya menyapa seorang bloger yang entrinya lumayan bikin saya terhibur. Komen di tempatnya selalu lebih dari lima puluh. Penggemarnya dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan luar negeri. Fotonya pun komersil abis. Ganteng pisan. Ngobrol dengan dia adalah sama menyenangkan seperti membaca tulisannya. Ternyata dia juga familiar dengan kotak muntahan saya ini. Jadilah, obrolan memanjang. Namun satu hal yang sebenarnya mengganggu saya. Dia ngotot secara halus minta saya menunjukkan foto, nggak terima alasan jika saya ingin anonim. Celakanya saya melunak. Saya tunjukkan muka babi saya dan dia puas, karena setelah itu dia harus mengerjakan sesuatu yang penting dan obrolan terpotong dengan lumayan nyaman. Abang ganteng itu nggak salah sih. Dia mungkin cuma ingin memberi sosok pada teks yang merespon barisan kata-kata yang telah dia ketikkan. Tapi--maaf ya Bang--ID instant messenger miliknya yang baru terpajang beb

Another 'Blah!'

Sesulit-sulitnya melepaskan diri dari keramaian namun masih lebih sulit berusaha tetap dalam lingkaran. Shit. I wish I were God.

Iseng

Minggu sore saya kedatangan tamu istimewa. Teman senasib sepergadangan dulu. Duo maupun trio bersama seorang gadis manis berjilbab yang bakal bikin nyali lelaki manapun jadi ciut ketika dia menyentak galak namun cerdas dalam forum diskusi manapun. Tamu ini masih sama seperti dulu. Berbahasa santun, dengan kerudung Aceh dan logat Melayu kental mengingat asalnya dari Kalimantan, berwajah mirip Cina namun sesungguhnya mengalir darah dari leluhur Haddramaut dengan nama fam bertradisi kental. Hanya wajahnya yang tambah tirus dan badannya bertambah lurus serta kulit menggelap mengingat mobilitas tinggi sebagai penyuluh dan researcher pertanian memaksanya bolak-balik Telok Betung-Ketapang-Pontianak mengendarai motor cicilan. Kami berusaha merangkum setahun setelah pertemuan terakhir dalam waktu beberapa jam saja, disela dua cangkir Kopi Aroma Arabika Moccha, cucian pakaian dalam seember kecil (milik saya), dan berbatang-batang rokok tanpa henti (yang juga milik saya). Dengan teknis dan jangka

Seberapa Jembut Dirimu?

Image
Create your own Friend Test here Sok dah, diisi kalo lagi nggak ada kerjaan. Gwa bikinnya juga pas iseng. Sekalian biar tau lu udah jadi jembut gwa belom. Oh, iya. Gwa udah isi tesnya sendiri. Gila! Ternyata gwa amat sangat jembut pada diri gwa sendiri. Huahahahaha!!!

An Offer

Mari sini. Kuajak kamu berkeliling menikmati Bakso dan Mie Ayam Jamur, Tengkleng, aneka masakan bebek dan sajian lain yang hanya dapat kamu lihat disini. Menikmati hangat dan ramahnya lingkaran kawan lama yang sejak dulu hanya bersua suara dalam dingin terapit Sindoro-Sumbing. Ya, aku bakal jemput kamu di Stasiun Jogja dan membawamu kemanapun kamu mau, kemudian kuculik kamu pada sejuknya kota kecil yang belum pernah kamu pijak. Ayo saling bicara bertatap muka, mentertawakan sepi, luka dan cinta. Membincang apa yang entah dan kemana masa depan membawa. Jangan khawatirkan kemana meletakkan kepala ketika penat datang melanda. Kami keluarga, mungkin bukan siapa-siapa. Tapi akan selalu ada. Semoga. Jadi, kapan kamu datang? [ Anjing! Kenapa sih duit dan waktu selalu berjalan pada jalur yang beda?! ]

A Cup of Coffee and A Good Friend

Him : I need a shoulder... Me: Got a pair of cold ones. Shoot, Beib. S'up? R U allrite? Him : I will, later. Thanx to those pair of yours Me: May I know what's it all about? U won't be like diz if it isn't sumthing big dat bothers U much. But it's fine if U jez need 2 lay Ur weary head in my imaginery shoulder. Dun 4get 2 smile, plz (= Him : :) Him : Dun laugh but I pretend dat I'm texting God when I send U my SMS Me: Well, I'm the closest thing 2 God considering my insom habit and all ((= Take a deep breath & let go, Beib. Things'll be fine 4 U and all dat makes U worry 2 much Him : I'm picturing God's shoulder in the shape of yours, actually. Tengkyu bertubi-tubi Me: Anytime, Hun. Anytime. Dat's what being a belahan biji is all about. Sumthing way closer than Ur own penis. Shit. I aint good in making analogy. I'm trying lah tapinya Him : Dat's a great one! Lebih membumi :)) Me: So, R U gonna keep texting God and give Her a chanc