Being A Brave One
There's plenty of ways to die, but you've got to figure out a way to live.
Neil Jordan's The Brave One
Siang terik dengan nyeri haid, sedikit demam, hidung tersumbat dan kepala pening karena flu berat, lagi-lagi saya salah pilih film. Bersetting di The Big Apple, Erica Bain yang diperankan Tante Jodie, punya a tall-dark-handsome-and-oh-so-sexy lover bernama David Kirmani (I never knew Indian could be this hot, considering the ol' Shahrukh...). Mereka 'dikerjain' beberapa berandal dan berakhir dengan sekujur tubuh babak belur, Erica koma tiga minggu dan Si Ganteng David pergi ke alam baka. Erica, sadar bahwa belahan jiwanya tiada, terguncang hebat. Akhirnya dia cari keadilannya sendiri berbekal sepucuk pistol tanpa lisensi, berubah dari korban menjadi pelaku. Cerita diakhiri dengan tuntasnya dendam Erica yang berhasil memuntahkan peluru panas ke tenggorokan si tokoh jahat melalui pistol yang dipinjamkan detektif simpatik Mercer. Edan, karena disini penegak hukum pun berpaling dari peraturan-peraturan yang sangat dia jaga. Dan mereka hanya jadi diri mereka sendiri: manusia. Punya rasa takut, khawatir, dan tidak nyaman tanpa perlindungan.
Rasanya baru kemarin saya menulis tentang bagaimana brutal dan sadis hukuman mati menurut pemahaman saya, padahal di kepala saya pun mengendap cara-cara penyiksaan yang tidak kalah berdarah-darah. Saya lupa bagaimana manusia bisa sangat rapuh, terluka bathin dan menyimpan angkara begitu lama yang tidak akan selesai sebelum hutang nyawa dibayar nyawa. Bagaimana harapan yang terhempas dapat membuat mereka kehilangan jiwa. Dan bagaimana trauma membuat seseorang menebalkan cangkang pelindung hati yang melepaskan raga dari norma dan peraturan dan adat-kebiasaan.
Well, saya nggak akan sok tau dan merasa mengerti kejiwaan manusia yang bahkan bagi para peneliti dibilang sebagai semesta tak terbatas karena kemungkinan-kemungkinan mahadahsyat yang tersimpan dalam sel-sel kelabu dan berpotensi menciptakan alat-alat gila semacam bom atom atau roller coaster gendheng di Disneyland. Namun saya akan sangat mengerti bahwa apapun yang dilakukan masing-masing orang berdasar pada alasan-alasan yang seringkali hanya dimengerti oleh pelakunya. Peraturan, larangan, sistem, norma, apapun itu yang mengatur tata cara bersosialisasi dalam satu kumpulan pun kadang bisa dipelintir jika keadaannya memungkinkan dan situasinya genting.
Diantara semua itu, yang paling penting adalah bagaimana mempertahankan hidup dan nyawa selembar agar tidak mati konyol di tengah belantara manusia pemakan sesamanya. Damn, it's hard.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?