Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"
Ini cerita tentang kejadian dua hari lalu. Maaf, bukan cerita jorok seperti judulnya. Malah kebalikannya.
Jadi begini…
Saat itu siang gerah di pojokan Jakarta dan sayangnya saya harus keluar kamar menyelusur aspal demi menyambung napas ketemu klien--satu hal yang paling dihindari mahluk nokturnal berkaki dua seperti saya. Beberapa mbak-mbak dan siswi SMU yang semuanya berjilbab menaruh pantat di sebelah saya pada jok Metromini 72, di deretan kursi paling belakang. Mereka lumayan berisik, cicit-cuwit cekikikan nggak penting, menafikan kemacetan lengas yang meresap masuk dari celah jendela dan pintu terbuka. Lalu seorang penjual stiker melompat naik, membagikan dagangan yang dia sebut "murah meriah", yaitu dua lembar kalimah suci tentang nama dan kebesaran Tuhan.
Tak lama kemudian bis terguncang-guncang memasuki mulut terminal yang aspalnya berantakan kayak muka saya. Penjual stiker yang selesai memunguti kembali dagangannya dari para penumpang berdiri di depan saya. Bibirnya melontarkan senyuman nakal sementara matanya lapar memandangi perempuan-perempuan di sebelah saya yang rada heboh berpegangan karena guncangan.
"Enak kayak gini ya, Neng, dikocok-kocok terus keluarin di dalem," komentarnya, masih dengan senyuman menjijikkan dan tatapan mesum. Saya menengok ke arah matanya menatap. Perempuan-perempuan itu berhenti bicara. Mereka hanya membuang muka, jengah. Ketika mata saya kembali ke penjual stiker, dia masih saja tersenyum cabul.
Darah saya mendidih mendengarnya. Mulut dan otaknya seperti harus diberi beasiswa supaya pintar. Sepersekian detik kemudian dia menoleh ke arah saya. Tak tahan dengan rautnya yang saat itu sebentuk dan sebangun dengan tai, saya tunjuk mukanya sambil berkata, "Bapak belom pernah digampar ya ngomong begitu depan perempuan?"
Saya bisa lihat selirit kemarahan bercampur kaget di sorot matanya yang lekat-lekat saya pelototi galak. Saat itu jadi semacam show of force, saya tak boleh melepaskan kontak meskipun sejenak setelah mengucapkan itu saya jiper. Ini terminal. Saya sendirian, sementara si bapak penjual stiker bisa saja memanggil rekan-rekannya. Skenario terburuk adalah saya dikeroyok. Tapi kepalang basah lah. Dan bapak itu menyerah. Dia meminta maaf.
Sebelum saya turun, tak lupa saya titip pesan padanya.
"Besok ngomong gitu lagi, Pak. Tapi jangan nyalahin perempuan ya, kalo Bapak pulang tinggal nama."
Saya akui tindakan saya ini kepreman-premanan. Tapi saya muak jadi korban pelecehan. Dan saya bosan diam. Beberapa kali saya diraba penumpang lelaki di sebelah saya di bus antar kota. Saya tak berani berteriak karena kendaraan sedang membelah jalan yang kanan-kirinya hutan dalam pekatnya malam. Saat itu saya juga menghitung kemungkinan backfire, ketika reaksi para lelaki jahanam itu adalah "eh, anjing! Ngapain juga gue grepe-grepe cewek karung goni macem elu?!" (Saya pernah mendengar cerita perempuan korban pelecehan yang pelakunya berteriak balik seperti ini. Walhasil, dia hanya menjadi bahan olok-olok penumpang satu bus dan mentalnya jatuh, lama setelah kejadian itu berselang). Saya juga pernah diraba oleh pengendara motor yang berhenti di samping saya yang sedang berjalan pulang di suatu dinihari dan tancap gas meninggalkan saya yang terlalu kaget hingga memakipun saya tak sanggup.
Belakangan ini santer terdengar berita tentang pelecehan seksual di angkutan umum. Dan orang-orang menyalahkan pakaian yang dikenakan si perempuan karena dianggap terlalu "mengundang". Mari saya beritahu: dalam semua kejadian yang saya alami, saya bahkan mengenakan jins dan sweater panjang tertutup. Jadi, bukan salah perempuan jika dia diraba. Tapi salahkan otak lelaki yang tak bisa mengendalikan syahwat.
Saya sadar benar bahwa di Indonesia--meskipun bayar pajak tak pernah telat, meskipun hapal Pancasila, UUD dan Perda dan mematuhi setiap butirnya, meskipun mengamalkan semua sila di Pancasila, Dasa Dharma dan Trisatya--kita tak bisa mengharapkan siapapun untuk bisa melindungi kita, tidak juga polisi, aparat pemerintah atau TNI (eh?). Mereka sudah terlampau sibuk mengurusi dan menjaga kepentingan-kepentingan yang mbayar. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri sendiri.
Saya punya satu cerita (atau aib, terserah mau disebut apa) lagi.
Saya bertemu orang yang saya kira baik. Dia mengajari saya menulis melalui balas-balasan email sampai akhirnya kami janjian ketemuan. Saya ke tempatnya sekalian liburan, dan bukan di Jakarta. Hampir tengah malam waktu dia menjemput saya, padahal saya datang dengan kereta pagi-pagi. Tanpa prasangka apapun saya masuk ke mobilnya. Saya pikir, well, dia nggak bakal ngapa-ngapain saya karena dia abang dari seorang teman yang saya kenal baik. Gap kami terlalu jauh. Dia lelaki keren-matang-mapan sementara saya hanya cewek lusuh-gendut yang sedari kemarin belum mandi. Ternyata saya dibawa ke hotel jam-jaman (yang baru saya tahu kemudian). Saya masih tak punya firasat apapun.
Selesai melakukan pembayaran, pintu dikunci. Saya mengeluarkan Pektay, memunggunginya, sambil cerewet menceritakan tulisan saya. Ketika saya berbalik, ternyata dia sudah meloloskan jinsnya hingga hanya mengenakan kaos dan celana dalam.
Saya kaget, tapi saya nggak mau dia tau. Ini juga show of force dan saya nggak mau kalah. Saya juga nggak mau rugi jauh-jauh datang tapi nggak dapet ilmu. Jadi, saya lemparkan handuk. Begitulah. Selama mengoreksi tulisan saya, dia hanya mengenakan kaos dan berhanduk.
Tulisan kelar diedit, dan saya mulai jiper. Benar saja, dia meraba punggung saya dan melepaskan kaitan bra saya dengan sekali sentuhan ringan (padahal saya pakai sports bra yang mantap dan kencang. Edan!). Saya muntab, amarah saya menggelegak diperlakukan sebegitu kurang ajar. Tapi logika saya masih berkuasa untuk menggerakkan kaki dan berlari masuk kamar mandi, mengaitkan kembali bra saya dan mengumpulkan nyali. Sekeluarnya saya dari kamar mandi yang tidak bisa terkunci dari dalam, saya acungkan pisau lipat yang selalu saya simpan di saku belakang. Saya minta dia pergi "secara baik-baik" atau saya tak ragu menancapkan pisau itu di lambungnya. Di benak saya cuma ada dia yang mati, atau saya yang mati. Dan dia pergi sementara saya gemetar sepanjang malam hingga pagi.
Belakangan baru saya tau dari cerita adiknya bahwa abangnya memang selalu "menjebak" perempuan-perempuan yang dia anggap pintar, dingin, dan galak (meskipun saya nggak yakin saya masuk dalam tiga kategori itu). Dan apa yang saya alami sebenarnya tak lebih dari politik penguasaan dan penindasan antara lelaki ke perempuan, yang kuat terhadap yang lemah.
Dari kejadian-kejadian tersebut, saya berkesimpulan bahwa selama ini kami, para korban... Bukan. Kami, para survivor, tak bisa bicara dan membela diri karena semua itu mungkin dianggap wajar dan orang-orang seperti kami dianggap terlalu lebay, reaktif. Tak ada satupun yang mau berkata "elu tuh salah!" pada orang-orang seperti bapak penjual stiker atau abangnya teman saya itu. Padahal, ketahuilah, saat kita berada dalam posisi dirugikan dan kita tak bisa membalas, kita sedang dilecehkan. Ketika situasi berubah menjadi tindakan memaksa, hal itu sudah menjadi perkosaan. Dan saya pikir perempuan perlu berani (tapi nggak konyol ya) bertindak dan bersuara. Tegur para lelaki-lelaki bajingan itu dengan "elu salah, Njing! Nggak begini cara mainnya!". Mereka, para pelaku itu, adalah mahluk-mahluk menyedihkan yang tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar dan bisa dikompromi. Karena itulah, siapapun yang menyaksikan terjadinya pelecehan, di manapun, harus reaktif, harus taktis bertindak. Karena diam adalah kejahatan.
Statistik selalu menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki. Jadi, tidak seharusnya kita takut pada mereka. Dan terlepas dari beberapa bajingan yang pernah saya temui, bagi saya lelaki adalah pelengkap saya menjadi manusia seutuhnya.
Dan bagi kalian, para lelaki, berhati-hatilah. Kami sudah paham lho, cara main kalian. Jadi, jangan salahkan kami jika kami terlalu pintar dan menang bermain di lapangan kalian, dengan cara kalian.
Jadi begini…
Saat itu siang gerah di pojokan Jakarta dan sayangnya saya harus keluar kamar menyelusur aspal demi menyambung napas ketemu klien--satu hal yang paling dihindari mahluk nokturnal berkaki dua seperti saya. Beberapa mbak-mbak dan siswi SMU yang semuanya berjilbab menaruh pantat di sebelah saya pada jok Metromini 72, di deretan kursi paling belakang. Mereka lumayan berisik, cicit-cuwit cekikikan nggak penting, menafikan kemacetan lengas yang meresap masuk dari celah jendela dan pintu terbuka. Lalu seorang penjual stiker melompat naik, membagikan dagangan yang dia sebut "murah meriah", yaitu dua lembar kalimah suci tentang nama dan kebesaran Tuhan.
Tak lama kemudian bis terguncang-guncang memasuki mulut terminal yang aspalnya berantakan kayak muka saya. Penjual stiker yang selesai memunguti kembali dagangannya dari para penumpang berdiri di depan saya. Bibirnya melontarkan senyuman nakal sementara matanya lapar memandangi perempuan-perempuan di sebelah saya yang rada heboh berpegangan karena guncangan.
"Enak kayak gini ya, Neng, dikocok-kocok terus keluarin di dalem," komentarnya, masih dengan senyuman menjijikkan dan tatapan mesum. Saya menengok ke arah matanya menatap. Perempuan-perempuan itu berhenti bicara. Mereka hanya membuang muka, jengah. Ketika mata saya kembali ke penjual stiker, dia masih saja tersenyum cabul.
Darah saya mendidih mendengarnya. Mulut dan otaknya seperti harus diberi beasiswa supaya pintar. Sepersekian detik kemudian dia menoleh ke arah saya. Tak tahan dengan rautnya yang saat itu sebentuk dan sebangun dengan tai, saya tunjuk mukanya sambil berkata, "Bapak belom pernah digampar ya ngomong begitu depan perempuan?"
Saya bisa lihat selirit kemarahan bercampur kaget di sorot matanya yang lekat-lekat saya pelototi galak. Saat itu jadi semacam show of force, saya tak boleh melepaskan kontak meskipun sejenak setelah mengucapkan itu saya jiper. Ini terminal. Saya sendirian, sementara si bapak penjual stiker bisa saja memanggil rekan-rekannya. Skenario terburuk adalah saya dikeroyok. Tapi kepalang basah lah. Dan bapak itu menyerah. Dia meminta maaf.
Sebelum saya turun, tak lupa saya titip pesan padanya.
"Besok ngomong gitu lagi, Pak. Tapi jangan nyalahin perempuan ya, kalo Bapak pulang tinggal nama."
Saya akui tindakan saya ini kepreman-premanan. Tapi saya muak jadi korban pelecehan. Dan saya bosan diam. Beberapa kali saya diraba penumpang lelaki di sebelah saya di bus antar kota. Saya tak berani berteriak karena kendaraan sedang membelah jalan yang kanan-kirinya hutan dalam pekatnya malam. Saat itu saya juga menghitung kemungkinan backfire, ketika reaksi para lelaki jahanam itu adalah "eh, anjing! Ngapain juga gue grepe-grepe cewek karung goni macem elu?!" (Saya pernah mendengar cerita perempuan korban pelecehan yang pelakunya berteriak balik seperti ini. Walhasil, dia hanya menjadi bahan olok-olok penumpang satu bus dan mentalnya jatuh, lama setelah kejadian itu berselang). Saya juga pernah diraba oleh pengendara motor yang berhenti di samping saya yang sedang berjalan pulang di suatu dinihari dan tancap gas meninggalkan saya yang terlalu kaget hingga memakipun saya tak sanggup.
Belakangan ini santer terdengar berita tentang pelecehan seksual di angkutan umum. Dan orang-orang menyalahkan pakaian yang dikenakan si perempuan karena dianggap terlalu "mengundang". Mari saya beritahu: dalam semua kejadian yang saya alami, saya bahkan mengenakan jins dan sweater panjang tertutup. Jadi, bukan salah perempuan jika dia diraba. Tapi salahkan otak lelaki yang tak bisa mengendalikan syahwat.
Saya sadar benar bahwa di Indonesia--meskipun bayar pajak tak pernah telat, meskipun hapal Pancasila, UUD dan Perda dan mematuhi setiap butirnya, meskipun mengamalkan semua sila di Pancasila, Dasa Dharma dan Trisatya--kita tak bisa mengharapkan siapapun untuk bisa melindungi kita, tidak juga polisi, aparat pemerintah atau TNI (eh?). Mereka sudah terlampau sibuk mengurusi dan menjaga kepentingan-kepentingan yang mbayar. Jadi, yang bisa kita lakukan adalah melindungi diri sendiri.
Saya punya satu cerita (atau aib, terserah mau disebut apa) lagi.
Saya bertemu orang yang saya kira baik. Dia mengajari saya menulis melalui balas-balasan email sampai akhirnya kami janjian ketemuan. Saya ke tempatnya sekalian liburan, dan bukan di Jakarta. Hampir tengah malam waktu dia menjemput saya, padahal saya datang dengan kereta pagi-pagi. Tanpa prasangka apapun saya masuk ke mobilnya. Saya pikir, well, dia nggak bakal ngapa-ngapain saya karena dia abang dari seorang teman yang saya kenal baik. Gap kami terlalu jauh. Dia lelaki keren-matang-mapan sementara saya hanya cewek lusuh-gendut yang sedari kemarin belum mandi. Ternyata saya dibawa ke hotel jam-jaman (yang baru saya tahu kemudian). Saya masih tak punya firasat apapun.
Selesai melakukan pembayaran, pintu dikunci. Saya mengeluarkan Pektay, memunggunginya, sambil cerewet menceritakan tulisan saya. Ketika saya berbalik, ternyata dia sudah meloloskan jinsnya hingga hanya mengenakan kaos dan celana dalam.
Saya kaget, tapi saya nggak mau dia tau. Ini juga show of force dan saya nggak mau kalah. Saya juga nggak mau rugi jauh-jauh datang tapi nggak dapet ilmu. Jadi, saya lemparkan handuk. Begitulah. Selama mengoreksi tulisan saya, dia hanya mengenakan kaos dan berhanduk.
Tulisan kelar diedit, dan saya mulai jiper. Benar saja, dia meraba punggung saya dan melepaskan kaitan bra saya dengan sekali sentuhan ringan (padahal saya pakai sports bra yang mantap dan kencang. Edan!). Saya muntab, amarah saya menggelegak diperlakukan sebegitu kurang ajar. Tapi logika saya masih berkuasa untuk menggerakkan kaki dan berlari masuk kamar mandi, mengaitkan kembali bra saya dan mengumpulkan nyali. Sekeluarnya saya dari kamar mandi yang tidak bisa terkunci dari dalam, saya acungkan pisau lipat yang selalu saya simpan di saku belakang. Saya minta dia pergi "secara baik-baik" atau saya tak ragu menancapkan pisau itu di lambungnya. Di benak saya cuma ada dia yang mati, atau saya yang mati. Dan dia pergi sementara saya gemetar sepanjang malam hingga pagi.
Belakangan baru saya tau dari cerita adiknya bahwa abangnya memang selalu "menjebak" perempuan-perempuan yang dia anggap pintar, dingin, dan galak (meskipun saya nggak yakin saya masuk dalam tiga kategori itu). Dan apa yang saya alami sebenarnya tak lebih dari politik penguasaan dan penindasan antara lelaki ke perempuan, yang kuat terhadap yang lemah.
Dari kejadian-kejadian tersebut, saya berkesimpulan bahwa selama ini kami, para korban... Bukan. Kami, para survivor, tak bisa bicara dan membela diri karena semua itu mungkin dianggap wajar dan orang-orang seperti kami dianggap terlalu lebay, reaktif. Tak ada satupun yang mau berkata "elu tuh salah!" pada orang-orang seperti bapak penjual stiker atau abangnya teman saya itu. Padahal, ketahuilah, saat kita berada dalam posisi dirugikan dan kita tak bisa membalas, kita sedang dilecehkan. Ketika situasi berubah menjadi tindakan memaksa, hal itu sudah menjadi perkosaan. Dan saya pikir perempuan perlu berani (tapi nggak konyol ya) bertindak dan bersuara. Tegur para lelaki-lelaki bajingan itu dengan "elu salah, Njing! Nggak begini cara mainnya!". Mereka, para pelaku itu, adalah mahluk-mahluk menyedihkan yang tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang benar dan bisa dikompromi. Karena itulah, siapapun yang menyaksikan terjadinya pelecehan, di manapun, harus reaktif, harus taktis bertindak. Karena diam adalah kejahatan.
Statistik selalu menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki. Jadi, tidak seharusnya kita takut pada mereka. Dan terlepas dari beberapa bajingan yang pernah saya temui, bagi saya lelaki adalah pelengkap saya menjadi manusia seutuhnya.
Dan bagi kalian, para lelaki, berhati-hatilah. Kami sudah paham lho, cara main kalian. Jadi, jangan salahkan kami jika kami terlalu pintar dan menang bermain di lapangan kalian, dengan cara kalian.
Ya! Benar sekali! Diam adalah kejahatan. Bravo!
ReplyDeleteTerima kasih atas tulisan berani dan terus terang ini. Benar: Diam adalah kejahatan.
ReplyDeletesedia pisau lipat di kantong belakang ky'nya penting tuh...
ReplyDeletethanks kk share-nya..
Birokrasi komen disini rumit juga ya...
ReplyDeleteSekedar menambahkan, selain pisau lipat perlu juga pengetahuan dasar bela diri. Sekedar tahu titik2 mematikan.
Karena tidak semua bapak2 peleceh akan minta maaf. Apalagi jika korban tipe "karung goni" yang kemungkinan tak akan mendapat dukungan dari orang-orang di TKP, justru si bapak bakal bentak balik dan memutarbalikkan fakta. Untuk kasus begitu lebih baik tak perlu banyak kata-kata, langsung saja bikin si pelaku tak bisa bersuara baru kemudian minta bantuan untuk menyeretnya ke polwan terdekat.
Rekomendasi:
Basic Self Defence Anyone Can Do: http://goo.gl/dr6uG
Mbak Helga dan Mbak Mawar
ReplyDeletekeberanian kalian inspiring. terima kasih (=
Yustha
kalo piso lipet kelamaan, coba pake cutter.
Guh
pake hp ya? iya, emang riweuh. sori. setting leotnya kek gitu. tapi gw ogah utak-atik =P
makasih rekomendasinya. dan makasih urun suaranya. i feel honored. hihi.
tulisan yang lugas, salut sama keberanian sampeyan. jarang perempuan yang berani lantang di depan, apalagi yang mau memperpanjang urusan sampe ke belakang, karena memang ruwet dan melelahkan.
ReplyDeletesaya tau, karena orang terdekat saya pernah jadi korban pelecehan yang memperpanjang urusan sampe ke belakang. dan sampeyan tau, saat si pelaku dihukum, banyak yang memandang seolah-olah kami ini raja tega dan pelaku beralih status menjadi korban.
Pakdhe Stein
ReplyDeletenah, bagian pendampingan itu yg harus banyak2 tarik napas panjang. diperlukan kesabaran dan ketelatenan mahahebat untuk nyadarin survivor kalo itu bukan salahnya, kalo dia bisa bangkit lagi, dan dia tetap manusia yg sama dengan manusia lainnya, bernilai, berguna bagi sesama.
peluk sayang buat orang terdekatnya Pakdhe. sampaikan pesan: apa yg tidak membunuhnya akan menjadikannya kokoh, meskipun rasanya seperti mencabuti tulang sendiri satu-persatu.
Saya terharu membaca tulisan ini.. semacam manifestasi R.A Kartini dalam tradisi Jawa Pesisir.. bukan Jawanya Jogja..
ReplyDeleteLoe pasti bingung baca komen gw.. ojo takon2 via Twitter :)
=========
ReplyDeleteBelakangan ini santer terdengar berita tentang pelecehan seksual di angkutan umum. Dan orang-orang menyalahkan pakaian yang dikenakan si perempuan karena dianggap terlalu "mengundang". Mari saya beritahu: dalam semua kejadian yang saya alami, saya bahkan mengenakan jins dan sweater panjang tertutup. Jadi, bukan salah perempuan jika dia diraba. Tapi salahkan otak lelaki yang tak bisa mengendalikan syahwat.
==========
Menggarisbawahi yang mBak tulis diatas, saya teranat sangat setuju sekali tentang "bukan salah perempuan" itu. Itu semua adalah lebih pada kondisi "otak kotor" buat yang memandanginya.
Dan yang memnadangi disini tak hanya laki-laki, melainkan perempuan juga, atau bahkan mereka yang mengaku sebagai "gay" pun "waria"
Nah,
Berkaca pada kondisi seperti itu saya lebih mau memposisikan mereka para "otak kotor" pun yang otaknya sudah ketutupan "selangkangan" itulah pihak yang semestinya "wajib dikeramasi..!" Bukan hanya para Laki-Laki saja..!
Kenapa begitu...?
Jawabannya ya karena kalo kita bicara "perkosaan" itu sepertinya tak hanya sebatas antara perempuan yang dipecundangi lelaki. Namun lebih dari itu adalah "Tentang kekuasaan/kekuatan.
Either in male-by-male, or female-by-male, or male-by-female for all that matters, rape is mostly about power. In pedophilia rape case, well, you have to be a real pervert to even consider a child sexy, let alone to rape her or him.
Maaf panjang kali lebar nulise aku mbakkk...
#baruminumobat jadinya ya waras :D
wah, iya banget tuh. perkosaan emang ga terjadi pada perempuan oleh laki2. tapi semua kemungkinan ya mungkin aja, pada pasangan lesbian atau gay sekalipun. dan gw setuju banget kalo perkosaan itu merely about power game. biasa. orang2 dengan tipe tertentu cuma bisa "naik ke atas dengan menginjak kepala lain". dalam kasus ini, eksistensinya cuma bisa mengejewantah dengan menindas eksistensi lain. cupu lah.
ReplyDeletenama lu aj the bitch,
ReplyDeleteg heran deh klo nulis artikel kyk ginian . .
so? masalah lu apa?
ReplyDeleteBetul sekali, saya merasa makin berani untuk melawan pria-ria kurang ajar seperti yang igambarkan cerita anda dia atas. kejadiannya baru saja tadi siang saya alami di kopaja jurusan kalideres- slipi. pria usia 40an sambil merokok tiba"dia pindah posisi duduk disamping saya (saya di pojok menempel jendela), padahal bangku di seberang kosong sama sekali, trnyaa dia punya niat busuk untuk menyentuh bokong saya ketika saya hendak berdiri dan melewatinya. saya sudah paham gelagatnya dari awal, saya cuma istigfar ddalam hati dan tersu berdoa, alhasil tanpa saya sengaja ketika saya melewatinya saya memnag merasa tgnnya sprti mnyentuh bokong saya tapi seketika itu juga sikut saya mengenai kepalanya. dan itu sangat keras! dia sampai berteriak Aduh, lalu saya hanya berkata lantang dgn nada sinis, 'maaf pak, makanya jd orang jangan kurang ajar dan semua penumpang kopaja melongok ke arah saya. saya tidak perduli. walau kesal tp dlm hati saya puas bisa membalas kelakuan menjijikan pria itu.
ReplyDeleteDan bisa ditekankan, pakaian saya benar-benar tertutup, memakai jaket tgn panjang, celana jeans, dan saya berdandan layaknya anak plg kuliah yg kucel dan berantakan.
dan banyak kejadian-kejadian kurng ajar lainnya yg pernah sya alami, tp saya slalu marah dan yang terpenting tatap matanya dan jgn merasaa takut!
jika ditempat ramai seperti antrian busway injak kakinya kuat-kuat jika ia mengaduh katakan alasan anda melakukan hal itu biar semua orang tahu kelakuan dia.
Woooho! Salut!
ReplyDeleteBanyak cingcong doang lu smua.
ReplyDelete. Senggol bacok ae lah!
Cool. Asli ini tulisan keren. Sy percaya, mbak penulis adalah sosok yg kuat, tangguh dan percaya diri. Memang butuh nyali utk menghadapi setan dalam bentuk manusia semacam itu. Diam berarti kalah. Jangan merasa lemah dan jangan mau dilemahkan. Perlawanan memang tak harus selalu dengan perkelahian. Mampu menunjukkan energi ketidaksukaan adalah sebuah bentuk perlawanan yg harus ditumbuhkan kepada setiap perempuan. Jika diam, mereka akan merasa jumawa, tapi jika perempuan-perempuan berani melawan maka sejatinya ia telah memutuskan mata rantai dari aksi setan mereka. Sudah saatnya, setiap perempuan memang memiliki bekal konsep beladiri yang utuh, yakni memahami konsep yang kami sebut konsep 4P (PRAY, PREDICT, PREVENT, PROTECT). Yang jelas, apa yg mbak penulis lakukan, sy mengapresiasi betul. Karena begitulah perempuan harus bersikap ketika harga diri dan kehormatan diinjak2. Salam tangguh. @wsdkid | wsdk.or.id
ReplyDeleteinspiratif...yang takut akan kalah
ReplyDeleteketemu lagi di blog baru saya
saya bangga dulu kenal anda