Posts

Showing posts from 2011

I've Got The Power!

Kamu tahu nggak bahwa tirani kekuasaan bisa didapat dari mikrofon kancing? Kalo nggak percaya, pantengin televisi dan cari program talk show yang berbalut lawakan atau minimal yang presenternya pelawak kelas dua. Atau untuk lebih jelasnya, cari deh berita tentang keplesetnya salah satu pembawa acara merangkap penghibur--entah siapa yang dihibur--yang menjadikan perkosaan sebagai bahan tertawaan. Nggak hanya itu. Di acara-acara offline yang ada MC-nya saya sering mendapati si pemegang mikrofon ini menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengolok-olok penonton yang harus naik ke atas panggung. Misalnya dengan mengatakan "Wah, pegangan. Gempa nih!" waktu yang dipanggil ternyata bertubuh besar. Atau "Cieee... baju masa kini, muka masa gitu?!" ketika si 'korban' ternyata dandanannya oke banget tapi giginya tonggos. Dan ini salah satu alasan saya untuk males ikut games di acara-acara kayak gitu meskipun hadiahnya bikin liur menitik. I'm through being a laughings

Surat Untuk Yang Wafat

I don't think you trust in my self-righteous suicide ... and I cry when angel deserves to die. -   Chop Suey, SOAD Hey Lae, Gue kenal elu dari berita, waktu elu ikut jejak Thich Quang Duc si biksu Vietnam Selatan yang laku obong karena memprotes kebijakan pemerintah tentang penyiksaan rekan-rekannya taun '63. Nggak lama, Berita tentang elu lalu tergusur hal-hal lain yang nggak menyenangkan, yang beberapa diantaranya mungkin jadi salah satu alasan protes lu di depan istana itu. Seminggu kemudian gue denger elu mati, juga dari portal-portal berita, dari tulisan orang-orang yang nyinyir, yang sok tau dan sok asik ngebahas elu pake gaya komentator sepak bola. Elu rame jadi omongan orang, online dan offline. Lu nggak tau sih, gimana mereka yang bahkan nggak kenal elu bisa mati-matian belain apa yang lu lakukan. Sementara yang otaknya kerasukan Tuhan menuduh elu nggak menghargai hidup dan menyia-nyiakan berkah berbentuk otak encer dan muka g

Re: defined

Define Marriage: the ever-improving art of bullshitting the girls to walk into a deathtrap to ease the boys when they're hungry or horny in the middle of the night. Define wedding: the event where you can smell the flowers of your own funeral. Define wedding ring: the smallest handcuffs in the world to tie down and box up the whole aspects of your life. Define wedding vow: the sweetest words of the serpent's tongue in your Garden of Eden that will make you lose your innocence. And I haven't gone to the bed time part. Define husband: The One Who Holds Your World, Your Life, Your Decision; The Almighty, The Ruler, The Breadwinner, The Righteous, The One Who Must Be Obeyed, The Smartest, The Highest. Okay, are we done? Define in-laws: the additional problems you desperately need. Like a bullethole to your head and a bicycle to a fish. Define household: 21st century slaughterhouse for your dream and the most sophisticated, legalized and institutionalized sweatshop e

Immi Sayang…

Halo, Immi! Aku denger kamu mau sekolah ya? Aku jadi inget waktu pertama kali aku pakai seragam putih-merah. Cupu abis. Aku kayak bayi besar. Aku nggak TK, jadi langsung masuk SD. Kata ibuku, di TK cuma diajarin makan sama nyanyi. Di rumah juga bisa. Dan waktu ibu sadar semua teman sepermainanku—yang rata-rata lebih tua—sudah mau masuk sekolah, ibuku rada panik aku nggak punya teman. Makanya aku disekolahin aja, jadi murid paling bongsor dengan umur paling muda di kelas. Immi udah bisa baca? Waaah. Keren. Mommy dan Daddymu hebat banget tuh, kamu kecil-kecil udah bisa baca. Aku kenal Daddymu lho dari blognya. Dulu banget aku suka baca. Terus berenti gara-gara aku suka sirik, haha! Abis Daddy kamu kalo nulis bisa bagus banget gitu, pake bahasa Indonesia maupun Inggris. Dari tulisannya juga aku tau kalo Daddymu orangnya jujur, tegas dan baik. Makanya dia bilang kalo dia sakit di calon sekolah kamu. Sayangnya calon sekolah kamu nggak sebaik dan sejujur Daddy kamu. Immi, Aku sedih k

Tentang Menjadi (Pemberontak) Perempuan

This summary is not available. Please click here to view the post.

Yo, Bro! Don't Get SickO!

Image
Ruang tunggu. Menunggu mati. Bayangkan: negara dengan jaringan rumah sakit yang satu sama lain terhubung melalui asuransi dari penduduk yang membayar premi. Sebagaimana iklan-iklan yang sering kita dengar dan lihat di televisi (atau ketiban apes menanggap agen berprospek), kita tidak pernah tahu kapan kesialan melanda. Misalnya, sudah terlanjur menjalani hidup sehat, olah raga secara teratur, asupan makanan pun diperhatikan, tidak merokok atau minum minuman yang mengandung alkohol dan soda, tapi mendadak dua jarimu putus terkena gergaji kayu. Atau ternyata dokter bilang kamu kena kanker stadium awal dan harus segera dilakukan tindakan agar penyakit tidak menyebar ke mana-mana. Asuransi menjawab semuanya, menyediakan pelayanan medis dan membayar pengobatan yang dibutuhkan. Kedengarannya keren ya. Namun bagaimana jika semua itu tak lebih dari satu bentuk penipuan besar-besaran dan terorganisir? Michael Moore membedah semua busuk layanan kesehatan dan asuransi di Amerika di film

Tentang Hantu di Sudut Pikir

Ia meringkuk di pojok, lutut sejajar dengan telinga. Sepasang tangannya memeluk betis dan wajahnya nyaris tak terlihat tertutup rambut. Namun aku tahu ada sepasang mata menatap galak menghunjam punggungku yang duduk membelakanginya. Sudah tiga jam terakhir ini dia ada di situ, tak bergerak. Tapi matanya mengikutiku ke manapun. Menonton, membaca, menyeduh kopi, hingga aku masturbasi. "Kau tak lelah begitu terus sedari tadi?" Aku bertanya dengan suara yang-sebenarnya-tidak kuusahakan bernada keras. Entah mengapa malah menggelegar mengisi ruangan dengan frekuensi kemurkaan meruap hingga ke langit-langit.  Seonggok sosok yang tidak penting-penting amat itu akhirnya bergerak dengan bunyi gemerisik halus. Mungkin merasa tak nyaman atau bosan. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu," ia menjawab. Suaranya sedikit menggema dan jauh, seperti datang dari sumur kering tak berdasar. Dudukku menegak. Berani sekali! Tanpa pikir panjang kuhampiri dia, sepucuk kehin

Mbak Yani

Mbak-mbak cantik depan kamar saya yang suka sekali gonta-ganti pacar akhirnya pindah karena "lakinya" yang sekarang nggak sreg dengan kamar 3x3 tanpa AC-nya itu. Saya melihat dia melintas dari warung tempat saya makan malam, menggeret koper pink sebesar lemari ke sebelah gang tak jauh dari kost saya. Akhirnya! Malam-malam saya terbebas dari looping lagu rohani-yang saya curiga sebagai alat pelet mendapatkan pacar baru-yang biasa dia setel dari malam hingga pagi! Haleluya! Beberapa hari kemudian kamar itu kembali terisi. Bukan oleh anak kost baru melainkan oleh seorang perempuan muda bersahaja usia dua-dua. Mbak Yani, begitu kami memanggilnya. Dia asli Pemalang, kerabat penjaga warteg sebelah. Tante Krista dan Om Jon, pasangan sepuh tanpa anak yang juga induk semang saya, akhirnya memutuskan untuk menggaji asisten rumah tangga karena kebun dan rumahnya yang luas sudah tak mampu mereka tangani hanya berdua. Tante harus menyerah pada sakit yang mengharuskan beliau rajin check

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Ini cerita tentang kejadian dua hari lalu. Maaf, bukan cerita jorok seperti judulnya. Malah kebalikannya. Jadi begini… Saat itu siang gerah di pojokan Jakarta dan sayangnya saya harus keluar kamar menyelusur aspal demi menyambung napas ketemu klien--satu hal yang paling dihindari mahluk nokturnal berkaki dua seperti saya. Beberapa mbak-mbak dan siswi SMU yang semuanya berjilbab menaruh pantat di sebelah saya pada jok Metromini 72, di deretan kursi paling belakang. Mereka lumayan berisik, cicit-cuwit cekikikan nggak penting, menafikan kemacetan lengas yang meresap masuk dari celah jendela dan pintu terbuka. Lalu seorang penjual stiker melompat naik, membagikan dagangan yang dia sebut "murah meriah", yaitu dua lembar kalimah suci tentang nama dan kebesaran Tuhan. Tak lama kemudian bis terguncang-guncang memasuki mulut terminal yang aspalnya berantakan kayak muka saya. Penjual stiker yang selesai memunguti kembali dagangannya dari para penumpang berdiri di depan saya. Bib

Semacam Acak

Ini pagi melankoli sekali seusai kemarin menjadi saksi ketika seorang teman baik akhirnya berlabuh dan berjanji hanya pada satu Larashati. Tidak, bukan masalah patah hati dan semacamnya. Tapi bagaimana keyakinan dan keteguhan terhampar secara sederhana, melampaui semua ketakutan yang termaktub dalam teori kaum urban pengecut yang tak berani ambil resiko berbagi tentang segala "what if".  Sementara sang ratu sehari merasa semua hanya seremoni tak berarti dengan berbagai konon dan harus yang digelembungkan hingga sebesar menara gading tingkat delapan. Lagi-lagi ini hanya masalah geser pantat: akhirnya semua hanya berakhir sebagai panggung pertunjukan. Hal itu akan membuat segalanya lebih gampang diurus. Dingin dan profesional, meskipun sebenarnya dia sangat hangat. Ini pagi melankoli sekali, karena satu-satu rekan "seperjuangan" pergi. Tapi semua memang hanya tinggal menunggu hari. Hari dimana kita tak lagi bisa mengelak dari keharusan karena tak ada pintu terbuka

M E R D E K A ( ? )

Merdeka adalah nyaman makan siang di bulan Ramadhan tanpa was-was warungnya digrebek ormas "beragama". Merdeka adalah bebas mencintai dan menghabiskan hidup dengan siapapun tanpa sekat agama, ke(tidak)percayaan, jenis kelamin, ras, dan terutama KUA. Merdeka adalah menggenggam tangan mereka yang dicap difabel, ODHA, pecandu, LGBT, Cina, Arab, kafir, lonthe, perempuan dan anak korban perkosaan dan KDRT, kemudian berkata pada mereka "kamu nggak sendirian". Merdeka adalah mendorong dan mendengar pendapat anak-anak kecil agar berani bicara supaya tumbuh jadi manusia yang nggak minder dan nggak gampang ditindas. Merdeka adalah bebas untuk mengosongkan kolom agama di KTP atau mengisinya dengan Samin, Sunda Wiwitan, Animisme, Kejawen, atau apapun yang asalnya dari Indonesia. Merdeka adalah berani membaca buku-buku Darwin-Dawkins-Dennet, Das Kapital, Descartes dan Foucault selain membaca Al Quran, King James' Bible maupun Torah. Merdeka adalah membuka mata se

Tentang Tas dan Mas-mas

PENYANGKALAN : Ini adalah penghakiman, bukan apresiasi. Watch it. Sejak saya sekolah saya jarang punya teman perempuan. Well, frankly speaking, saya memang jarang punya teman. Saya-you may say-cupu abis. Tanpa TK saya langsung masuk SD, jadi nerd yang buta baca-tulis, badan paling bongsor tapi umur paling muda, dan jadi sasaran bullying teman sekelas dan guru pertama. Tapi saya percaya what doesn't kill me makes me stronger (though it does feel like a major, fucking hell). What I've gone through shaped me what I am now. So here I am, a bitch and all. Or at least that's the word people stamp on my forehead that I bear indifferently. Yet, being a bitch, I have my own value. One of those is to be able to depend on myself. Dan ke-bitch-an saya terusik pertama kali saat saya masuk SMP. Dalam perjalanan pulang-pergi sekolah menggunakan angkot, bis atau KRL sering saya dapati mas-mas menenteng tas pacar mereka. Itu tas perempuan. Modelnya feminin sekali. Kebayang nggak sih ada c

Series of Random Thought: At Dawn

So here's the thought: Somebody's been thinking to screw my mind and failed successfully. But that's alright. There will be tomorrow, Buddy. So keep trying. Dan pagi buta begini saya mengais-ngais sisa semangat yang sempat hilang lama sekali. Tapi saya nggak yakin. Benarkah hilang, terselip di dompet siapa, atau hanya plesiran sementara? Jadi, saya hanya bengong menatap langit-langit kamar yang masih saja terlalu gelap. Suara Dr. Lightman menemani saya sebagai latar, dimana benak saya mengembara bersama entah. Relationship. Kadang bikin nyaman, kadang bikin kuat, namun lebih sering menorehkan gurat luka pada ego yang sebelumnya tak pernah terjamah. Baiklah. Tiap orang butuh ironi dan tragedi untuk bikin dirinya merasa lebih baik. Termasuk saya. Jadi, mari kita bicarakan cerita orang lain ini. Tersebutlah seorang perempuan urban kosmopolit nan cantik, terlalu matang dan tak lagi muda. Dia melek politisasi tubuh perempuan, vokal menyuarakan hak-haknya sebagai mahluk berv

Tentang Maaf dan Ramadhan

Sudah mulai penuh inbox kalian dengan basa-basi-busuk pra-Ramadhan berupa permintaan maaf? Untuk yang belum menyampahi kerabat dan kolega dengan broadcasted messages penuh kepalsuan, here's the thought: Mengapa tak minta maaf pada orang-orang berbeda agama karena nantinya akan membuat tidur mereka terganggu akibat kesupersibukan masjid dan mushola dinihari? Mengapa tak minta maaf pada para PSK yang harus menganggur di "bulan suci"? Mengapa tak minta maaf pada para pemilik warung makan yang dilarang jualan siang-siang? Mengapa tak minta maaf pada para keluarga miskin yang akan kesulitan makan karena harga-harga melambung tinggi? Mengapa tak minta maaf pada semua pekerja hiburan malam yang juga menganggur padahal sebagian besar juga ikut Lebaran? Mengapa tak minta maaf pada orang-orang sakit yang ingin ikut puasa tapi dilarang dokter? Mengapa tak minta maaf pada anak-anak kecil yang (dipaksa) belajar lapar? Mengapa tak minta maaf pada para gembel musiman yang berha

Series of Random Thought: Confession

Start (menurut jam di Pektay): 7.23 Finish : 7.30 Ini semacam pengakuan. Beberapa bulan ini saya tidak lagi jadi procrastinator kelas wahid tapi jadi tumbuhan. Hidup asal hidup. Keinginan jalan-jalan, baca, nonton, apalagi menulis, sama sekali nggak ada. Saya nggak tau kenapa. Padahal saya merasa nggak ada masalah. Kecuali masalah laten yang dari dulu sampai sekarang ya begitu-begitu saja. Jadi, saya mencoba lagi cara lama, menulis apa yang ada di benak saya dalam waktu yang saya tentukan sendiri. Entah menulis apa. Yang penting menulis. Tadi pagi saya nonton Biutiful, film besutan sutradara Innaritu. Ceritanya anjing. Tentang seorang ayah (yang entah kenapa waktu saya lihat mukanya dari samping saya teringat film animasi Disney yang lokasinya di Peru) preman yang kerjanya jadi mediator antara kontraktor dan para imigran gelap, punya istri rada gila tapi seksi, beranak dua perempuan dan laki-laki, dan di tengah kericuhan antara kondisi rumah t

Energi itu Bernama C I N T A

Image
Malam Minggu kemarin saya dapat "tugas" menyenangkan: disuruh nonton Konser Ulang Tahun Langit Musik sambil angon beberapa blogger yang berhasil saya provokasi untuk ikut. Setelah riweuh ngurus ID card, nongkrong sebentar sambil nodong Bang Ichank mbayarin Kalosi enak, nonton Om Iksa jeprat-jepret yang lagi nunggu open gate, nungguin adik-berkakak Puspa dan Luvie yang dateng beda-beda, nyela-nyelain El , endeswei-endesbrei, akhirnya kami mencar di dalam venue, bolak-balik di antara dua panggung, indoor dan outdoor. Untungnya kuping saya perek. Musik apapun ya masuk-masuk aja. Dari yang cukup "gubrag" semacam Metallica dan Soulfly sampai yang mendayu-dayu macam P. Ramlee atau Lilis Suryani . Dan saya punya jagoan baru gara-gara nonton konser ini: Bottlesmoker , grup tekno cowok Bandung lucu dan sopan, Angkuy dan Nobie, yang suka banget sama seaweed rasa wasabi (karena nyetrum-nyetrum di lidah) dan punya imajinasi bebunyian seluas angkasa tanpa batas (tsaa

Tentang Ibu

Image
Ini adalah tentang Ibu, yang tak pernah habis dibahas, yang seperti tak mengenal kata lelah, yang dijunjung lebih tinggi dari kepala sendiri nyaris seperti Tuhan, Google dan Wikipedia berjalan dari darah-daging-tulang dalam masa-masa awal saya hidup, yang bahunya jadi tempat bersandar paling nyaman saat lutut atau hati saya terluka. Mirip manusia super. Syahdan beberapa kata memuliakannya sebagai mahluk suci-semuci. Ibu pertiwi atau ibu alam yang berasal dari kata mother nature sebagai tanah tempat manusia hidup dan perlambang kebijaksanaan alam; kata ganti perempuan "she" dan "her" untuk menamakan kapal karena nakhoda diasumsikan sebagai lelaki dan kapalnya adalah ibunya (atau istrinya, pilih saja); ibu jari, karena tanpanya ke empat jari lainnya akan kesulitan memegang apapun. Silahkan tambahkan sendiri jika suka. Dan sama seperti semua anak di seluruh dunia, saya dan Ibu juga mengalami fase love-hate relationship pada alur kehidupan kami. Ibu saya keras. Bagi