Yo, Bro! Don't Get SickO!
Ruang tunggu. Menunggu mati. |
Bayangkan: negara dengan jaringan rumah sakit yang satu sama lain terhubung melalui asuransi dari penduduk yang membayar premi. Sebagaimana iklan-iklan yang sering kita dengar dan lihat di televisi (atau ketiban apes menanggap agen berprospek), kita tidak pernah tahu kapan kesialan melanda. Misalnya, sudah terlanjur menjalani hidup sehat, olah raga secara teratur, asupan makanan pun diperhatikan, tidak merokok atau minum minuman yang mengandung alkohol dan soda, tapi mendadak dua jarimu putus terkena gergaji kayu. Atau ternyata dokter bilang kamu kena kanker stadium awal dan harus segera dilakukan tindakan agar penyakit tidak menyebar ke mana-mana. Asuransi menjawab semuanya, menyediakan pelayanan medis dan membayar pengobatan yang dibutuhkan. Kedengarannya keren ya. Namun bagaimana jika semua itu tak lebih dari satu bentuk penipuan besar-besaran dan terorganisir?
Michael Moore membedah semua busuk layanan kesehatan dan asuransi di Amerika di film berdurasi dua jam lebih sedikit berjudul SiCKO. Termasuk bagaimana ide asuransi komersial dijalankan, yang ternyata ada di dalam rencana para pemimpin negara. Pemimpin yang, artinya pemegang kendali para pembuat kebijakan. Mereka yang memiliki modal. The men behind the gun, the masterminds behind bandit penangguk duit dari orang sakit. Bandingkan dengan Kanada, Perancis, Inggris (bahkan Kuba!) yang menggratiskan layanan kesehatan bagi semua penduduknya.
Seorang kakek hobi golf yang otot lengannya putus di Amerika harus membayar US$24.000 untuk perawatan. Maka ia lebih baik pulang ke Kanada karena di sana seluruh layanan kesehatan dan pengobatan didapat gratis. Dan orang-orang hanya perlu menunggu--paling lama--45 menit untuk mendapatkan layanan medis di seluruh rumah sakit Kanada. Semua ini karena seorang Tommy Douglas memperkenalkan layanan kesehatan universal yang mengutamakan kebutuhan penduduk terhadap layanan medis dan didanai dari pajak. Dengan pemikiran "tidak semua orang seberuntung mereka yang punya uang dalam mendapatkan perawatan," kebijakan tentang kemaslahatan pribadi--yang ditanggung bersama--itu pun direalisasikan. Setidaknya sampai Michael Moore mengendap-endap mencuri gambar "petualangan" seorang ibu muda berputri satu warga negara Amerika yang mencari pengobatan untuk kanker serviknya di negara Celine Dion itu (Semoga Adrian Campbell--mbak cantik tapi kanker itu--sudah sembuh sekarang).
Di Inggris sendiri seorang wisatawan Amerika tidak dikenakan biaya apapun untuk mendapatkan perawatan akibat bahunya geser sehabis sok-sokan berjalan dengan tangan menyeberangi Abbey Road yang terkenal itu. Kecuali untuk obat-obatan yang seluruhnya tidak lebih dari US$10 atau £6.65. Itu adalah harga akumulasi obat tertinggi di seluruh Inggris, baik obat kanker, asma, koktail AIDS, apapun, berapapun jumlah satuannya. Untuk anak-anak dan manula bahkan tidak perlu membayar sama sekali. Dan lebih asyik lagi--silakan konfirmasi dengan rekan atau kenalan di Inggris. Saya sudah, dengan warga negara Indonesia yang pernah kuliah di Manchester, dan konfirmasi positif--jika rumahmu jauh dari rumah sakit maka kamu bakal diongkosi pulang. Di rumah sakit negeri yang dijalankan NHS--National Health Service--Om Michael bertemu seorang calon ibu yang sedang hamil 7 bulan. Ia bercerita bagaimana cuti 6 bulan dengan gaji dan 6 bulan berikut tanpa gaji masih membuat dia bisa dipekerjakan di kantor yang sama. Dan itu sudah menjadi hak seluruh warga negara. Wow.
Di Perancis semua orang bisa dapat cuti tak terbatas karena "bagaimana kamu bisa tahu sampai kapan kamu sakit?". Masuk akal. Dan dokter akan datang ke rumah kurang dari setengah jam kapanpun kamu telepon. Bahkan saat orang-orang sedang nyenyak tidur atau baru pulang dugem. Pelayanan rumah sakitnya juga tak ada yang membayar, apalagi minta uang muka, karena semua--lagi-lagi--tertanggung pajak.
Daftar kemewahan gratis yang didapat bule-bule penyakitan ini akan panjang sekali karena saya belum sampai ke Kuba, negara penghasil cerutu dan freedom fighter terbaik di dunia yang juga musuh bebuyutan Amerika itu.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Dua minggu lalu, 11 Nopember malam, sebelum entri ini dibuat, teman saya ketiban apes. Sebuah mobil bak terbuka nyelonong belok dari arah berlawanan tanpa memberi tanda di depan motornya yang melaju. Hasilnya? Robekan melintang dalam hingga putih tulang terlihat, dari pangkal paha luar hingga lutut sepanjang 37 cm. Semua orang baru tahu tiga hari kemudian ketika perbannya diganti (setelah malam sebelumnya darahnya rembes hingga ke seprai), karena staf rumah sakit bilang "cuma 11 x 5 x 2.5 cm kok". Foto X-ray menunjukkan tidak ada tulang yang retak atau patah, namun pasien masih harus terbelit perban berkayu penunjang dari pantat hingga telapak kaki yang membuat istirahatnya gelisah. 3 x 24 jam kemudian ketika Pak Dokter datang barulah penunjangnya dibongkar. Itu membuat bokongnya--yang sama sekali tidak padat-mengkal-kenyal--jadi tidak indah karena ketambahan luka gesek hingga melepuh.
Diperlukan dokter spesialis bedah yang absen di akhir pekan karena seminar (seriously?) untuk menangani robek dalam tersebut. Mungkin karena staf paramedis UGD tidak berwenang menanganinya. Padahal mereka bisa melakukannya begitu pasien tiba di ruangan. Saya rasa Florence Nightingale akan murka dalam kuburnya jika ada staf paramedis yang tidak bisa membersihkan dan menjahit luka dengan bersih dan rapi. Oh, jangan tanya biaya. Sementara pasien sedang diproses di UGD, keluarganya pontang-panting menyetor uang muka yang tidak sedikit untuk urusan administrasi. Untung saja dia cukup berpunya meskipun tidak berlebih. Tapi saya tak habis pikir. Bagaimana jika yang apes itu kebetulan sebatangkara, cicilan motornya belum lunas, dan profesinya hanya sebagai buruh pabrik yang UMRnya pas-pasan tak bisa menabung.
Lupakan istirahat. Dua kali saya berkunjung, hanya kali pertama teman saya bisa lumayan tenang karena kamar berisi 3 tempat tidur hanya ada dia dan keluarganya yang bicara sambil berbisik. Itu pun masih diganggu mas dan mbak yang bersih-bersih. Itu masih lumayan. Yang paling parah adalah kedatangan bapak berpeci yang mak bedunduk ujug-ujug berdakwah bahwa cobaan adalah kehendak Tuhan dan manusia harus bisa bersabar dan bertawakal menghadapinya. Lalu si bapak ini memantra-mantrai teman saya dengan doa-doa berbahasa asing. Lupakan tidur malam dengan damai yang berguna bagi proses penyembuhan. Ada tiga neon panjang sebesar dosa tak terampuni berjejer di tengah langit-langit kamar bernoda lembab. Semuanya tak bisa dimatikan karena satu-satunya saklar hanya untuk lampu di kamar mandi yang letak toiletnya tinggi dan dindingnya tanpa pegangan untuk pasien. Itu membuat saya hampir berniat membawa kamar mandi kos saya ke sana supaya teman saya dan keluarganya bisa lebih nyaman berhajat. Dan sebelum dokter berkunjung pagi-pagi, Pak Satpam akan datang menyapa ramah sambil membawa kantong plastik berisi makanan sarapan. Jika kamu punya uang, tak peduli kamu pasien yang sedang berpantang, kamu bisa membeli apapun yang ada di tentengannya. Jadi, lupakan diet rumah sakit. Meskipun kamu pasien yang selama beberapa tahun terakhir memilih tidak makan daging, akan selalu ada sepotong bagian tubuh binatang tergeletak di piring yang rutin diantarkan tiga kali dalam sehari.
Pasien yang malang itu... Semoga kita dihindarkan dari hal-hal yang demikian. |
Bagaimana dengan edukasi penyakit dan obat bagi pasien dan keluarga? Kali kedua saya berkunjung kebetulan saya bertemu dokter yang santai mengenakan jeans dan kemeja. Masih muda, mungkin pertengahan atau akhir tigapuluhan. Sayangnya tidak begitu pintar "membaca". Ketika saya bertanya mengapa luka separah itu dibiarkan tiga hari dan bagaimana kemungkinan infeksi, jawabannya, "itu nggak papa. Biar daya tahan tubuhnya bekerja. Jadi biar badannya ngelawan penyebab infeksinya dulu. Itu nggak papa dilama-lamain." Ketika saya teruskan jawabannya ke teman lain yang paramedis UGD, dia malah gusar. Panjang lebar dia menjelaskan melalui telepon interlokal bagaimana mekanisme pertahanan tubuh menimbulkan bengkak dan semakin besarnya resiko infeksi akibat keterlambatan penanganan luka yang "jelek" karena perawatan tidak bersih. Semuanya berkebalikan dengan omongan dokter spesialis bedah tersebut.
Lalu obat? Saya berdukacita sedalam-dalamnya bagi para pasien yang tak punya akses untuk memberdayakan pengetahuannya sendiri. Antibiotik Ciprofloxacin paten yang diresepkan ternyata masuk daftar FDA black box warning menurut Wikipedia karena beresiko merusak jaringan otot. Dan selama teman saya di rumah sakit, semua obat yang diresepkan adalah obat paten, dengan nominal terkecil Rp. 700.000 tiap jenisnya. Dan obatnya banyak sekali. Sementara saat rawat jalan kemarin, dia menebus obat generik dengan kandungan dan jumlah yang sama dan total hanya Rp. 70.000! Jangan tanyakan infus. Berkali-kali keluarga harus mengingatkan staf perawat karena gelembung udara dalam selang banyak sekali dan mengkhawatirkan. Sekali sempat mereka missed karena pasien dan penunggunya sama-sama tertidur sementara saya sudah pulang ketika botol infus kosong melompong dan darah sudah naik.
Saya tak hendak menyamaratakan layanan rumah sakit di Indonesia. Saya masih menemukan mereka yang bertanggungjawab dan lekas melepas pasien untuk dirawat di rumah. "Karena ini rumah sakit, tempat orang sakit. Kalo di sini terus nanti pasiennya bisa tambah sakit mikirin biaya," begitu seloroh dokter swasta di rumah sakit mahal tempat sepupu saya operasi usus buntu dulu. Agak-agak sakit hati sih, mengalami sendiri baiknya layanan rumah sakit swasta mahal dengan rumah sakit yang bangunannya dicurigai diperuntukkan sebagai mini market tersebut (menurut teman saya yang pahanya robek itu).
Tapi di pelosok juga masih ada dokter yang mengerahkan semua kemampuan untuk menyelamatkan nyawa dengan peralatan seadanya padahal dibayar hanya dengan sepikul singkong. Dan masih ada paramedis tulus yang mementingkan kebutuhan pasien untuk tetap hidup dan sembuh ketimbang ngobrol cekikikan di tempat jaga. Tidak banyak, memang, orang-orang yang melayani dari hati ini dibandingkan dengan gempuran iming-iming pesiar atau naik haji dari korporasi farmasi terkemuka. Tapi setidaknya bisnis rumah sakit yang basisnya adalah layanan bisa menjadi Public Relation yang baik bagi "perusahaan"nya sendiri: melalui reputasi tak bercacat dan dokter serta staf cekatan tanpa perlu muluk-muluk menjembreng jargon "health care with care". Mungkin nanti jika suatu hari saya punya rumah sakit sendiri. Ada yang mau jadi investor? Haha.
Sementara menunggu saya punya rumah sakit, sepertinya akan lebih baik untuk mengevaluasi sistem bisnis layanan kesehatan agar lebih beretika dan benar-benar menyasar kebutuhan konsumennya. Mungkin bisa bermula dari pemberdayaan garda depan industri ini: pendidikan dokter dan paramedis. Menurut mata saya pribadi, calon-calon dokter itu biasanya sengak karena merasa mampu bayar mahal untuk kuliah nan panjang dan lama dan berat. Ini sikap nggak bagus untuk dimiliki mereka yang nantinya akan berkutat di bisnis pelayanan. Humbleness is achieved, not given. Mereka harus madep-mantep-mantep seperti kaulnya para frater seminari, bukan ABL--Asal Bisa Lulus. Apalagi membayar untuk nilai bagus. Calon dokter nantinya akan sering berhadapan dengan malaikat maut, entah dalam bentuk pasien gagal ginjal, korban kecelakaan, atau demam tinggi. Mereka sakit, mempertaruhkan nyawa yang cuma selembar, bukan sekadar onggokan daging bicara yang bisa pipis. Mereka sama seperti si dokter dan stafnya, sama-sama manusia. Obat yang diberikan ke mereka bisa menjadi pisau jagal atau air kehidupan. Ini tidak main-main. Nyawa siapapun adalah berharga, tak bisa dianggap remeh. Jangan sekali-sekali menganggap enteng manusia yang telah mempercayakan garis hidupnya di tangan dokter (atau tidak punya pilihan lain). Karena itu sebaiknya pendidikan kedokteran TIDAK DIPERJUALBELIKAN. Begitu pula dengan staf paramedis. Mereka bekerjasama, tidak berada di bawah dokter. Kemampuan mereka bisa jadi setara, kecuali untuk ranah-ranah kewenangan tertentu saja yang berbeda. Seperti, menulis resep dan menentukan tindakan operasi. Akan lebih baik jika pendidikan dan ketrampilan paramedis ini diberdayakan--termasuk meningkatkan kepercayaan diri mereka dengan "menampar" dokter-dokter belagu yang memperlakukan staf seperti pembantu.
Pelayanan kesehatan universal yang menyamankan pasien dan keluarganya masih sangat jauh untuk kita rasakan di Indonesia, selama presidennya memilih meliburkan anak-anak sekolah ketika sedang berhajat besar senilai 12 milyar. Pajak untuk kemaslahatan rakyat juga tak bisa diharapkan di sini karena penjahat masih bisa naik jadi calon pejabat. Makanya, mari menghindar dari kesialan dan keapesan bernama sakit. Jika sudah terlanjur, tarik napas dalam-dalam, kuatkan tekad dan jangan mau kalah dengan birokrasi. Semoga kuasa Darwin dan teori bertahan hidup-nya akan selalu bersamamu!
Gambar poster SiCKO diambil dari http://bit.ly/dcDlft, sementara gambar orang sakit adalah koleksi colongan pribadi, diunggah dengan seizin pasien.
Mungkin ada sedikit terminologi yang perlu sedikit diganti. Paramedis itu berasal dari dua kata: para(artinya samping atau sekitar) dan medis (medical/dokter). Jadi paramedis itu arti sebenarnya adalah tenaga ahli yang mendukung proses pelayanan kesehatan, tetapi bukan dokter. Belakangan, kata paramedis mengalami penyempitan makna. Yakni orang-orang yang dengan keterampilan khusus yang menangani kasus-kasus kegawatdaruratan dan critical care, tapi bukan dokter.
ReplyDeletehey, my favorite narsum/paramedic/tukang pegang setrikaan! makasih koreksiannya. biasa, penulis amatiran. males buka KBBI ((=
ReplyDeleteDi Indonesia, jangankan ORANG MISKIN DILARANG SAKIT, orang mampupun akan kehabisan uang dan tetap modar.
ReplyDeleteSekedar sharing saja akan kwalitas yang namanya medical service di Indonesia.
Iparnya teman saya, seorang yang berkecukupan setelah 2 hari demam tinggi akhirnya dibawa ke sebuah RS yang cukup besar di Jakarta Barat. Dokter specialis internis yang menangani mendiagnosa sebagai gejala tipes, dan disuruh menginap. Malamnya orangnya terbangun dengan nyeri perut. OLEH SUSTERNYA ALIH ALIH MANGGIL DOKTER, MALAH DIBERIKAN OBAT PENENANG supaya tidak merasa sakit. Besok paginya modar karena USUS BUNTU PECAH.
Saya bilang sih mati konyol namanya. Bukan mati di ugd karena engak ada biaya untuk bayar DP. Bukan mati di puskesmas karena ngantri Jamkesmas. Bukan mati karena penyakit keren kayak gagal jantung. Tapi mati konyol oleh penyakit simple karena suster tidak mau menghubungi sang dokter spesialist di tengah malam, atau mau gampangnya saja memberikan obat pereda sakit.
Masih banyak lagi cerita2 horror dari Rumah Sakit itu. Bukan cerita dari internet, tapi kejadian yang dialami oleh pihak2 yang saya kenal.
Jadi, ever wonder why a lot of people now go to Penang or Thailand for medical purpose???
Singapore punya Mount E juga udah parah tuh. Udah matre apa lagi kalo tau kita dari Indonesia. Horror story juga banyak... hahahaha..
nah, kasus2 salah diagnosa itu emang buwanyak banget tu, bro. udah sering banget deh denger cerita diagnosed as tifus ga taunya usus buntu. gw ga ngerti mereka, dokter2 itu, gagal ngeraba penyakit dari mana. dokter2 kek gitu itu yg sepaham, sebentuk & sebangun ama yg garap temen gw, yg bilang kalo luka dalem ampe tulang keliatan itu emang dilama2in dioperasinya supaya imunnya kerja.
ReplyDeletebuat amannya, kalo ada kerabat yg sakit atau kecelakaan bawa aja ke RS pendidikan, RS yg afiliasi sama fakultas kedokteran. at least akan ada dokter yg lagi residensi pas weekend dan kalo kenapa2 bisa dipanggil. dan jangan males ngerewelin dokter. pasien dan keluarga berhak tau informasi penyakitnya.