Surat Untuk Yang Wafat



I don't think you trust in my self-righteous suicide
... and I cry when angel deserves to die.
-  Chop Suey, SOAD

Hey Lae,

Gue kenal elu dari berita, waktu elu ikut jejak Thich Quang Duc si biksu Vietnam Selatan yang laku obong karena memprotes kebijakan pemerintah tentang penyiksaan rekan-rekannya taun '63. Nggak lama, Berita tentang elu lalu tergusur hal-hal lain yang nggak menyenangkan, yang beberapa diantaranya mungkin jadi salah satu alasan protes lu di depan istana itu.

Seminggu kemudian gue denger elu mati, juga dari portal-portal berita, dari tulisan orang-orang yang nyinyir, yang sok tau dan sok asik ngebahas elu pake gaya komentator sepak bola. Elu rame jadi omongan orang, online dan offline. Lu nggak tau sih, gimana mereka yang bahkan nggak kenal elu bisa mati-matian belain apa yang lu lakukan. Sementara yang otaknya kerasukan Tuhan menuduh elu nggak menghargai hidup dan menyia-nyiakan berkah berbentuk otak encer dan muka ganteng yang berujung pada 98% luka bakar di sekujur tubuh. Gue malah aneh liat mereka ngotot nggak jelas. Karena yang sebenarnya terjadi adalah elu gila, seminggu lebih nahan sakit, di ambang hidup dan mati. What did you feel? What did you see? And where did you go?

Gue rada sebel nggak sempet kenal elu waktu elu masih ada. Padahal kalo aja kita pernah duduk semeja adep-adepan sambil ngopi, kalo aja kita sempet ngobrol ampe pagi, mungkin gue bisa jadi perawi lu. Gue bisa nyeritain lagi apa yang ada di dalam batok kepala lu seperti Matius, Lukas, Markus dan Yohanes menuliskan kisah Yesus, karena gue nggak bisa nemuin tulisan elu di mana pun. Mungkin lu akan batal obong kalo gue kenalin ke temen-temen gue yang kadar kesintingannya sama ama elu. Atau mungkin elu bakal gue paksa jadi salah satu piaraan gue kayak cowok-cowok keren lainnya demi obsesi gue jadi mucikari bermartabat. Tapi yang lebih menyebalkan adalah sejak berita kematian lu sampe sekarang gue nggak bisa berenti mikirin elu, brondong yummy yang sama sekali nggak gue kenal. Gue penasaran apa lu suka coli waktu mandi; suka JAV, Vivid atau bokep home-made yang ada mbak-mbak berjilbabnya. Gue nggak bisa berenti bertanya-tanya apa alasan dibalik tindakan lu di depan istana. Gue penasaran apa lu sempet ngewe sebelum mati-mencicipi sedikit potongan surga buat jaga-jaga kalo ternyata di "sana" nggak ada surga. Dan satu pertanyaan besar gue... apakah benar elu itu cuma manusia biasa? Karena buat gue yang namanya manusia itu seringnya ogah mengorbankan miliknya untuk orang lain meskipun dia punya banyak. Nggak kayak elu yang cuma punya nyawa selembar juga malah lu persembahkan dengan gagah perkasa di depan presiden lu yang layu, cupu dan nggak tau malu. Lu cari deh orang yang punya rumah di Pondok Indah, yang garasinya aja luasnya bisa 10 kali kamar kosan gue dan mobilnya ada lima. Lu minta aja atu. Gue bonusin kelingking kanan gue yang biasa buat ngupil kalo tuh mobil dia kasih ke elu.

Lae...

Sebenernya gue malu ngakuin ini ke elu. Tapi gue lebih seneng seharian maenan Angry Birds pake ponsel yang prosesornya gue perkosa tapi tetep aja lambat itu. Gue bete pembokat ibu kos gue nggak mau nyuci piring bekas makan gue dan temen-temen nggak ada yang inget ulang taun gue. Gue ada di golongan orang yang nggak pengen idupnya susah, yang menyepi dalam dunia kotak gue sendiri, yang berpaling dari kehidupan jalanan nan tidak menyenangkan, yang setiap gue liat berita sepet di kepala gue seperti ada yang ngomong "untung itu bukan gue." Semua pilihan-pilihan yang gue buat nggak lebih penting daripada kepretan sempak. Yang gue kejar adalah kemapanan gue sendiri supaya suatu saat nanti gue bisa istirahat dan liburan. Padahal tanpa sadar gue udah diperbudak dengan pepatah lawas yang looping ad infinitum "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian" (dan gue kasih tau ya, gue nggak bisa berenang!).

Gue nggak bebas, Lae. Seperti beberapa orang yang nggak bebas menghilangkan kesenjangan sosial; nggak bebas melakukan pemerataan kesejahteraan yang nggak cuma sekadar slogan gede-gede di poster para caleg tersenyum palsu dan najis. Semua orang-dan elu-sama-sama terbentur pilihan-pilihan sulit, tata cara dan aturan-aturan. Kita nggak bebas menghilangkan pengaruh buruk pasar bebas dan modal asing yang diagung-agungkan para penguasa tanah ini. Kita nggak bebas melenyapkan budak-budak korporasi multinasional raksasa, yaitu mereka yang membeli kesejahteraan keluarga setelah mengabdi pada kapitalisme dan sadar bahwa kesejahteraan masyarakat banyak telah mereka rampas. Kita nggak bebas menghilangkan kemiskinan dan pembodohan struktural. Nggak bebas dari pemerintah pembohong yang selalu ingkar janji nggak kayak merpati. Nggak bebas memilih beragama atau tidak, nggak bebas memilih menderita atau bahagia aja, nggak bebas milih apes atau bejo, nggak bebas milih punya titid atau meki, nggak bebas milih kapan dan dimana kita lahir dan siapa orangtua kita. Kita bahkan nggak bebas dari membuat pilihan yang salah! Bahkan mungkin nyadar ada kayak gitu-gituan juga kagak.

Kita digembok dan nggak bisa ngapa-ngapain. Atau mungkin lebih aman untuk kami menganggapnya begitu. Tapi elu bertindak demi kebebasan elu dan nggak cuma nunggu. Elu ngebongkar kunci belenggu itu dengan memilih bagaimana elu mati, membakar tubuh di depan simbol kepongahan negara yang melarang rakyatnya-orang yang membayar pajak, yang mempekerjakan mereka demi kepentingan kita, majikan mereka-untuk bahkan jalan kaki di trotoarnya. Gue nggak tau gimana perasaan nyokap lo ngeliat anak laki-laki kesayangannya meregang nyawa demi sesuatu yang dia perjuangkan. Yang gue tau semua ibu dari para kombatan dibekali fitur hati baja meskipun punya tangan pengasih selembut bulu angsa dan setiap ingat masakannya bikin kangen pulang.

Dan elu berjuang, Lae. Elu gerak. Nggak kayak gue yang cuma berani nulis. Elu turun ke jalan. Nyali lu dihajar edan-edanan oleh semua demo yang pernah lo ikutin. Dan lo yang udah berkalang tanah jadi makanan cacing-bareng Christopher Hitchens yang juga mati hari ini-nggak sendirian. Banyak orang yang juga gerak buat perubahan meskipun namanya nggak sampe ke kuping kita. Elu mungkin udah tau beberapa diantaranya: para pengajar muda yang rela blusukan ke tempat-tempat terpencil demi menyebarkan ilmu; bidan-bidan yang mengabdi demi kesehatan reproduksi para ibu pedalaman yang mungkin liat kondom aja belom pernah makanya anaknya udah enam (padahal umurnya belum genap tiga puluh); mereka yang bikin ruang belajar alternatif supaya anak-anak usia sekolah nggak keleleran di pinggir jalan sambil teler ngisep lem; mahasiswa dan mahasiswi yang bikin perpustakaan kecil-kecilan di kampung-kampung; mereka yang bikin swadaya listrik karena pemda di tempat mereka terlalu repot ngurusin syahwat; yang mati-matian mengadvokasi korban perkosaan dan KDRT; babak bundas bikin pelatihan dan penyuluhan AIDS. Mungkin mereka juga putus asa karena gerak mereka nggak segendang sepenarian dengan kepentingan-kepentingan yang ada. Tapi harusnya nggak ada lagi cowok cakep yang harus hangus terbakar hanya supaya suaranya didengar. Di saat ketika sisa napas lo lepas, harusnya itu jadi momen seperti Phoenix yang bangkit dari abu bakarannya sendiri. Gue sedih kalo mereka yang juga berjuang malah saling gontok-gontokan dengan sesamanya bukannya manfaatin kesempatan ini buat saling sinergi (dan revolusi? Haha!).

Lae,
Gue nggak setuju orang-orang ngecap elu sebagai martir. Gue lebih suka menganggap elu sebagai manusia bebas yang sudah merasa cukup menikmati hidup dan tetap melawan hingga di titik nadir. Elu hidup sehidup-hidupnya hidup. Sebagaimana insting mahluk untuk bertahan hidup, gue percaya juga pada insting mahluk untuk mati. Dan elu hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang sempat mengalami evolusi dalam pemikiran dan tindakan. Elu supernova dalam sistem lo sendiri.

Dan mungkin gue juga akan jadi supernova dengan cara gue sendiri.

ps. Jika reinkarnasi itu ada, mari kita ngegaple bareng Nietzsche, Marx, Pol Pot dan Aristotle kalo mereka belom dapet jatah. Sambil kita nongkrong di lapo dan ngobrol ngalor-ngidul tentang bagaimana kita menggulingkan kuasa absolut bernama Tuhan--itu juga kalo Dia ada.


Turut berdukacita yang sedalam-dalamnya untuk keluarga Sondang Hutagalung. His memory remains.

Beberapa frase dicomot dari komik karya Jati yang disebarkan untuk kalangan terbatas. Karya-karyanya yang lain bisa dilihat di sini. Agar membacanya tanpa peci, jilbab atau apapun yang sempat nangkring di kepala.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women