Mbak Yani
Mbak-mbak cantik depan kamar saya yang suka sekali gonta-ganti pacar akhirnya pindah karena "lakinya" yang sekarang nggak sreg dengan kamar 3x3 tanpa AC-nya itu. Saya melihat dia melintas dari warung tempat saya makan malam, menggeret koper pink sebesar lemari ke sebelah gang tak jauh dari kost saya. Akhirnya! Malam-malam saya terbebas dari looping lagu rohani-yang saya curiga sebagai alat pelet mendapatkan pacar baru-yang biasa dia setel dari malam hingga pagi! Haleluya!
Beberapa hari kemudian kamar itu kembali terisi. Bukan oleh anak kost baru melainkan oleh seorang perempuan muda bersahaja usia dua-dua. Mbak Yani, begitu kami memanggilnya. Dia asli Pemalang, kerabat penjaga warteg sebelah. Tante Krista dan Om Jon, pasangan sepuh tanpa anak yang juga induk semang saya, akhirnya memutuskan untuk menggaji asisten rumah tangga karena kebun dan rumahnya yang luas sudah tak mampu mereka tangani hanya berdua. Tante harus menyerah pada sakit yang mengharuskan beliau rajin check up berkala ke Singapura, karenanya ia juga perlu orang yang bisa dipercaya menjaga rumah.
Dari sekilas info yang saya dapat, di usia yang masih begitu muda Mbak Yani sudah beranak satu, umur tiga. Dan dia kabur ke Jakarta karena suami pemarah ternyata juga suka memukul.
Perempuan pendiam itu tak punya ponsel maupun perangkat elektronik lain. Hiburannya hanya menonton televisi bareng Tante di rumah induk. Pagi-pagi sekali, kadang sebelum suara adzan lantang mengagetkan seisi kampung, Mbak Yani sudah bangun dan bersiap mencuci. Dia seperti tidur dengan satu mata membuka dan lampu menyala, karena jam berapapun saya pulang dia hampir selalu membuka pintu dan menyapa. Terkadang menyerahkan pakaian saya yang sudah rapi tersetrika berikut beberapa lembar duapuluhribuan yang dia temukan dalam saku jins, atau titipan USB hub dari Agok tadi siang. Padahal saya sudah latihan bergerak tanpa suara sejak masih berseragam sekolah saking seringnya mengendap-endap masuk rumah akibat pulang kemalaman.
Saya agak gagap menghadapi asisten rumah tangga, karena seumur-umur keluarga saya hampir selalu mengerjakan segalanya sendiri. Kecuali waktu adik saya lahir dan saya masih terlalu kecil dimintai tolong Ibu mencuci popok bayi. Sering Mbak Yani saya ajak ngobrol selintas jika saya sedang ada di kost. Dari beberapa percakapan yang tak lebih dari sepuluh menit itulah saya tahu kalau dia sering sekali merindukan anaknya semata wayang sampai-sampai makanpun tak enak karena terbayang-bayang (lalu saya teringat Babab yang sering sekali menggumamkan nama saya jika sedang menghadap pecak bandeng ketika saya harus "terbuang" di Jogja). Dan dari balik pintu tertutup di seberang kamar seringkali saya dengar dia mengigau.
Ketika saya ceritakan hal ini pada seorang teman, kepalanya yang selalu dingin dan rasional membuatnya berkomentar "harusnya dia bisa ngasih tau ciri-ciri laki-laki suka mukul, biar perempuan bisa menghindar kalo dideketin cowok macam itu." Dan saya suka inisiatifnya sebagai lelaki. Sayangnya saya sudah cukup sok tau dengan memprofilkan sosok perawan belasan dari sudut desa di Jawa Tengah yang ditekan keluarga dan lingkungan untuk segera menikah kemudian beranak-pinak hanya untuk menyadari beberapa tahun berselang bahwa ia terjebak dan jalan satu-satunya adalah pergi.
Saya tak berharap apa-apa kecuali untuk kemaslahatan induk semang saya. Karena jika induk semang senang maka asupan makanan ke anak kost akan selalu lancar jaya. Mungkin beberapa bulan ke depan saya akan tahu ciri-ciri lelaki dengan ego sebesar gunung tapi nyali semungil ujung titit mengkerut. Tunggu saja.
Beberapa hari kemudian kamar itu kembali terisi. Bukan oleh anak kost baru melainkan oleh seorang perempuan muda bersahaja usia dua-dua. Mbak Yani, begitu kami memanggilnya. Dia asli Pemalang, kerabat penjaga warteg sebelah. Tante Krista dan Om Jon, pasangan sepuh tanpa anak yang juga induk semang saya, akhirnya memutuskan untuk menggaji asisten rumah tangga karena kebun dan rumahnya yang luas sudah tak mampu mereka tangani hanya berdua. Tante harus menyerah pada sakit yang mengharuskan beliau rajin check up berkala ke Singapura, karenanya ia juga perlu orang yang bisa dipercaya menjaga rumah.
Dari sekilas info yang saya dapat, di usia yang masih begitu muda Mbak Yani sudah beranak satu, umur tiga. Dan dia kabur ke Jakarta karena suami pemarah ternyata juga suka memukul.
Perempuan pendiam itu tak punya ponsel maupun perangkat elektronik lain. Hiburannya hanya menonton televisi bareng Tante di rumah induk. Pagi-pagi sekali, kadang sebelum suara adzan lantang mengagetkan seisi kampung, Mbak Yani sudah bangun dan bersiap mencuci. Dia seperti tidur dengan satu mata membuka dan lampu menyala, karena jam berapapun saya pulang dia hampir selalu membuka pintu dan menyapa. Terkadang menyerahkan pakaian saya yang sudah rapi tersetrika berikut beberapa lembar duapuluhribuan yang dia temukan dalam saku jins, atau titipan USB hub dari Agok tadi siang. Padahal saya sudah latihan bergerak tanpa suara sejak masih berseragam sekolah saking seringnya mengendap-endap masuk rumah akibat pulang kemalaman.
Saya agak gagap menghadapi asisten rumah tangga, karena seumur-umur keluarga saya hampir selalu mengerjakan segalanya sendiri. Kecuali waktu adik saya lahir dan saya masih terlalu kecil dimintai tolong Ibu mencuci popok bayi. Sering Mbak Yani saya ajak ngobrol selintas jika saya sedang ada di kost. Dari beberapa percakapan yang tak lebih dari sepuluh menit itulah saya tahu kalau dia sering sekali merindukan anaknya semata wayang sampai-sampai makanpun tak enak karena terbayang-bayang (lalu saya teringat Babab yang sering sekali menggumamkan nama saya jika sedang menghadap pecak bandeng ketika saya harus "terbuang" di Jogja). Dan dari balik pintu tertutup di seberang kamar seringkali saya dengar dia mengigau.
Ketika saya ceritakan hal ini pada seorang teman, kepalanya yang selalu dingin dan rasional membuatnya berkomentar "harusnya dia bisa ngasih tau ciri-ciri laki-laki suka mukul, biar perempuan bisa menghindar kalo dideketin cowok macam itu." Dan saya suka inisiatifnya sebagai lelaki. Sayangnya saya sudah cukup sok tau dengan memprofilkan sosok perawan belasan dari sudut desa di Jawa Tengah yang ditekan keluarga dan lingkungan untuk segera menikah kemudian beranak-pinak hanya untuk menyadari beberapa tahun berselang bahwa ia terjebak dan jalan satu-satunya adalah pergi.
Saya tak berharap apa-apa kecuali untuk kemaslahatan induk semang saya. Karena jika induk semang senang maka asupan makanan ke anak kost akan selalu lancar jaya. Mungkin beberapa bulan ke depan saya akan tahu ciri-ciri lelaki dengan ego sebesar gunung tapi nyali semungil ujung titit mengkerut. Tunggu saja.
Yaaa...
ReplyDeletesaya akan tetap setia menunggu reportase si nyali mungil seujung titit mengkerut itu wis....
Siap kerjakan...!
#balikkanan
Haaaik!
ReplyDelete