Tentang Kehilangan
Nduk,
Aku begadang lagi, mengabaikan lelehan ingus yang makin mendera hidung dan membuat susah bernafas tanpa mengindahkan pening di kepala. Berteman seorang penyendiri, meniada diantara jejeran rak pemancar radiasi ribuan kwh, mencoba mengisi lowong yang mendadak terasa sesak sementara telinga terhantam dentam dan nyalak yang bikin pekak. Ini adalah salah satu malam dimana aura sewarna kembang sepatu pada pagar sekolah dasar pinggir Jakarta saat langit menjelang senja di Sabtu malam. Familier, menyamankan, namun tetap ditinggalkan.
Baru kemarin rasanya aku kembali belajar menjalani multitasking tergila, bergerak antara waktu publik dan waktu langit dalam alur simultan, melatih seluruh indra bagaimana merasakan lagi sedikit asketisme dalam kadarnya yang paling sederhana, melakukan perjalanan ulang-alik dalam setiap detak jantung. Namun yang paling gila adalah di saat yang sama itu pun aku merasakan uforia luar biasa atas suatu kejadian semu dimana penindasan kembali terjadi dalam kondisi maya yang enggan kuakui ada, uforia yang sensasinya masih membekas manis meski telah kuperas habis.
Yang ada di penghujung hari, saat malam menjauh menanti pagi, adalah pilihan. Satu kata dimana tiga dimensi berhamburan melesak masuk ke dalam wadah mampat bernama otak manusia, ketika waktu lalu dan yang ada di depan nanti menjadi pertimbangan demi tercapainya konsensus kini yang teramat urjen untuk dianggap lenyap.
Ya, kamu tau akhirnya. Hanya aku yang tertatih sendirian, merasa bodoh dan lemah dan sok martir dengan membiarkannya berlalu dan masih menyediakan savana tempatnya beristirahat nanti. Ya, kamu benar, karena saat itu mendadak sontak suara renyah Vanessa Carlton dan Adam Duritz terngiang-ngiang di kepalaku. Don't it always seem to go that you don't know what you got 'til it's gone. Ya, kamu tepat sekali menjuluki aku pahlawan kesiangan. Sudah, sudah. Cukup. Aku sudah tau. Ini bukan kali pertama.
Kamu pernah bilang bahwa kelemahan terbesarmu adalah tidak pernah bisa bersabar dan mengikhlaskan semua kembali pada apa yang telah tergariskan. Ternyata aku juga begitu. Dan kamu juga pernah bilang bahwa melankoli hanya bisa terhapus dengan tidur semalam, menunggu fajar bergerak natural dalam ketidaksadaran, melelap bersama mahluk-mahluk bernyawa di radius zona waktu yang sama, mensyukuri berkah Tuhan terbesar dengan menggunakannya sesuai porsi.
Rasanya aku ingin tidur...
Aku begadang lagi, mengabaikan lelehan ingus yang makin mendera hidung dan membuat susah bernafas tanpa mengindahkan pening di kepala. Berteman seorang penyendiri, meniada diantara jejeran rak pemancar radiasi ribuan kwh, mencoba mengisi lowong yang mendadak terasa sesak sementara telinga terhantam dentam dan nyalak yang bikin pekak. Ini adalah salah satu malam dimana aura sewarna kembang sepatu pada pagar sekolah dasar pinggir Jakarta saat langit menjelang senja di Sabtu malam. Familier, menyamankan, namun tetap ditinggalkan.
Baru kemarin rasanya aku kembali belajar menjalani multitasking tergila, bergerak antara waktu publik dan waktu langit dalam alur simultan, melatih seluruh indra bagaimana merasakan lagi sedikit asketisme dalam kadarnya yang paling sederhana, melakukan perjalanan ulang-alik dalam setiap detak jantung. Namun yang paling gila adalah di saat yang sama itu pun aku merasakan uforia luar biasa atas suatu kejadian semu dimana penindasan kembali terjadi dalam kondisi maya yang enggan kuakui ada, uforia yang sensasinya masih membekas manis meski telah kuperas habis.
Yang ada di penghujung hari, saat malam menjauh menanti pagi, adalah pilihan. Satu kata dimana tiga dimensi berhamburan melesak masuk ke dalam wadah mampat bernama otak manusia, ketika waktu lalu dan yang ada di depan nanti menjadi pertimbangan demi tercapainya konsensus kini yang teramat urjen untuk dianggap lenyap.
Ya, kamu tau akhirnya. Hanya aku yang tertatih sendirian, merasa bodoh dan lemah dan sok martir dengan membiarkannya berlalu dan masih menyediakan savana tempatnya beristirahat nanti. Ya, kamu benar, karena saat itu mendadak sontak suara renyah Vanessa Carlton dan Adam Duritz terngiang-ngiang di kepalaku. Don't it always seem to go that you don't know what you got 'til it's gone. Ya, kamu tepat sekali menjuluki aku pahlawan kesiangan. Sudah, sudah. Cukup. Aku sudah tau. Ini bukan kali pertama.
Kamu pernah bilang bahwa kelemahan terbesarmu adalah tidak pernah bisa bersabar dan mengikhlaskan semua kembali pada apa yang telah tergariskan. Ternyata aku juga begitu. Dan kamu juga pernah bilang bahwa melankoli hanya bisa terhapus dengan tidur semalam, menunggu fajar bergerak natural dalam ketidaksadaran, melelap bersama mahluk-mahluk bernyawa di radius zona waktu yang sama, mensyukuri berkah Tuhan terbesar dengan menggunakannya sesuai porsi.
Rasanya aku ingin tidur...
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?