Jakarta. Lagi
Saya senang bertandang ke pasar tradisional dinihari saat orang-orang terlelap dalam mimpi. Meskipun aroma tak karuan bercampur, antara sayuran busuk, ikan asin, amis daging, dan seruap otak-otak mentah, saya masih tetap bisa menikmati kopi berjam-jam dan bergelas-gelas di salah sebuah warung, menyendiri dan mendengarkan kesibukan. Namun saya nggak tahan sama premannya. Di lorong masuk ke kamar kecil, oleh seorang preman gondrong-dekil-sok-galak-dan-kerempeng saya dikomentari sebagai pembawa tanda akhir zaman karena berlagak seperti laki-laki dengan rambut pendek dan rokok di tangan. Saya berbalik dan menantang matanya, kemudian menyumpal telinga saya dengan Muhammad Marxianus Samsul Al-Ramadhani keras-keras sambil menunggu Jin Laknat selesai berhajat. Oh, sambil tetap mengepulkan asap, tentu. Jangan lupa. Dengan gaya Bitchy. Haha! (Anjing lah! Untung gwa nggak digebugin!)
Karena iseng Sabtu Malam tidak bisa tidur, pukul dua pagi saya sudah berada di Pasar Minggu, melarut bersama orang-orang optimis yang mengais hidup saat yang lain nyenyak tertidur. Saya suka auranya, meskipun pasar yang menyatu dengan terminal itu tidak pernah dingin dan selalu ribut dengan hiruk pikuk orang dan motor dan pick-up mengepulkan asap yang membuat sesak.
Beberapa jam sebelumnya saya (terpaksa) harus mendengarkan kisah seorang ABG dari Menado yang sudah dua hari terlunta-lunta di Jakarta setelah dua minggu berlibur di hostel murah lalu ditinggal pulang ketiga temannya karena dia janjian dengan seorang cewek di Blok M. Malam pertama dia menangis dan tidur di emperan pinggir kolam Plaza Indonesia, berbaur bersama kere dan gembel yang menganggap granit dingin hitam itu kasur terempuk yang disediakan untuk publik. Puji Tuhan, saya masih bertemu orang-orang baik yang memberi saya uang dua puluh ribu hanya untuk menunjukkan tempat membeli voucher pulsa atau membantu menyeberangkan seorang nenek, katanya. Namun dia rindu kampungnya di Tondano, kangen rumah yang berisi Papa kandung dan Mama Tiri jahat seperti di sinetron, ingin bertemu kembali dengan Cici yang sudah menikah dan tinggal di kontrakan karena tidak setuju Papa menikah lagi. Pulang ke kehidupan nyaman karena disini, di Jakarta, tidaklah seindah di televisi dimana Ibukota adalah tempat teduh dan bersih dengan gedung-gedung pencakar langit megah tinggi menjulang. Dengan jujur dia mengaku sedikit sebal karena harus menabung setahun hanya untuk melihat tempat brengsek namun tidak pernah tidur ini. Well, then. Join the club, gumam saya dalam hati.
Kembali ke pasar, saya dapati ketan bakar gurih mengepul bersama taburan serundeng dan sedikit gula pasir, kopi pahit dan kental, serta kawan baik sesama vampir yang hanya 'menyala' ketika matahari tergelincir di horison. Berbincang akrab dengan Mang Warung dan bapak penjual rokok diseling para pembeli yang minta dibikinkan mi instan atau susu panas. Saya merasa seperti milyuner dengan celana khaki, kemeja lapangan, sepatu trekking dan topi rimba, bertualang di kedalaman hutan hujan Amazon maupun mengembara di atas Hummer pada sebuah savana di Afrika, menikmati keindahan eksotis yang tidak didapatkan di penthouse pucuk gedung bertingkat tujuh puluh. Tidak, saya tidak bangga. Saya merasa bersalah karena saya bisa pulang kapanpun ke dunia kotak milik saya, mengetikkan entri ini, dan merasa senang karena sudah berhasil berbaur bersama rakyat kecil. Padahal saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat tempat jualan mereka jadi lebih bersih dan tertib. Padahal uang sedikit yang mereka terima masih harus dipalak anggota-anggota FBR dan Forkabi--preman berkedok organisasi. Padahal mereka berhak mendapatkan penerangan namun masih harus membayar pada sang monopolis penyewaan neon. Padahal saya pernah kuliah. Padahal saya lebih punya ilmu dibanding mereka. Padahal, padahal, padahal.
Shit. Kesenangan sederhana pun masih juga mengendapkan lara disini. I wonder apa kata Adinda Bakrie setelah resepsi supermahalnya kalau harus nyemplung ke lumpur yang dibuat sang paman, jika di Jakarta saja banyak yang seperti ini...
Karena iseng Sabtu Malam tidak bisa tidur, pukul dua pagi saya sudah berada di Pasar Minggu, melarut bersama orang-orang optimis yang mengais hidup saat yang lain nyenyak tertidur. Saya suka auranya, meskipun pasar yang menyatu dengan terminal itu tidak pernah dingin dan selalu ribut dengan hiruk pikuk orang dan motor dan pick-up mengepulkan asap yang membuat sesak.
Beberapa jam sebelumnya saya (terpaksa) harus mendengarkan kisah seorang ABG dari Menado yang sudah dua hari terlunta-lunta di Jakarta setelah dua minggu berlibur di hostel murah lalu ditinggal pulang ketiga temannya karena dia janjian dengan seorang cewek di Blok M. Malam pertama dia menangis dan tidur di emperan pinggir kolam Plaza Indonesia, berbaur bersama kere dan gembel yang menganggap granit dingin hitam itu kasur terempuk yang disediakan untuk publik. Puji Tuhan, saya masih bertemu orang-orang baik yang memberi saya uang dua puluh ribu hanya untuk menunjukkan tempat membeli voucher pulsa atau membantu menyeberangkan seorang nenek, katanya. Namun dia rindu kampungnya di Tondano, kangen rumah yang berisi Papa kandung dan Mama Tiri jahat seperti di sinetron, ingin bertemu kembali dengan Cici yang sudah menikah dan tinggal di kontrakan karena tidak setuju Papa menikah lagi. Pulang ke kehidupan nyaman karena disini, di Jakarta, tidaklah seindah di televisi dimana Ibukota adalah tempat teduh dan bersih dengan gedung-gedung pencakar langit megah tinggi menjulang. Dengan jujur dia mengaku sedikit sebal karena harus menabung setahun hanya untuk melihat tempat brengsek namun tidak pernah tidur ini. Well, then. Join the club, gumam saya dalam hati.
Kembali ke pasar, saya dapati ketan bakar gurih mengepul bersama taburan serundeng dan sedikit gula pasir, kopi pahit dan kental, serta kawan baik sesama vampir yang hanya 'menyala' ketika matahari tergelincir di horison. Berbincang akrab dengan Mang Warung dan bapak penjual rokok diseling para pembeli yang minta dibikinkan mi instan atau susu panas. Saya merasa seperti milyuner dengan celana khaki, kemeja lapangan, sepatu trekking dan topi rimba, bertualang di kedalaman hutan hujan Amazon maupun mengembara di atas Hummer pada sebuah savana di Afrika, menikmati keindahan eksotis yang tidak didapatkan di penthouse pucuk gedung bertingkat tujuh puluh. Tidak, saya tidak bangga. Saya merasa bersalah karena saya bisa pulang kapanpun ke dunia kotak milik saya, mengetikkan entri ini, dan merasa senang karena sudah berhasil berbaur bersama rakyat kecil. Padahal saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat tempat jualan mereka jadi lebih bersih dan tertib. Padahal uang sedikit yang mereka terima masih harus dipalak anggota-anggota FBR dan Forkabi--preman berkedok organisasi. Padahal mereka berhak mendapatkan penerangan namun masih harus membayar pada sang monopolis penyewaan neon. Padahal saya pernah kuliah. Padahal saya lebih punya ilmu dibanding mereka. Padahal, padahal, padahal.
Shit. Kesenangan sederhana pun masih juga mengendapkan lara disini. I wonder apa kata Adinda Bakrie setelah resepsi supermahalnya kalau harus nyemplung ke lumpur yang dibuat sang paman, jika di Jakarta saja banyak yang seperti ini...
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?