Protes
Melalui 'Tuhan Sembilan Senti'-nya Taufik Ismail lagi-lagi saya 'ditegur sayang' oleh seorang kawan lama karena dia paling antipati pada kebiasaan saya merokok. Ya, saya mencoba berprasangka baik bahwa apa yang dia lakukan adalah demi kebaikan saya dan karena dia peduli pada saya. Sebagaimana pejalan kaki di sekitaran Bundaran Senayan yang memandang simpati pada pengemis tua di pintu masuk STC dan melemparkan sekeping limaratusan padahal bapak itu amat sangat lemahnya hingga berjalan membeli makan pun dia tidak kuat. Iya, persis seperti itu.
Saya berusaha memahami puisi penyair senior ini dengan amat sangat lapang dada (meskipun sekarang memang sedang sesak karena terlalu banyak merokok dan flu dua minggu yang belum sembuh juga). Begini. Sama halnya dengan seluruh ciptaan manusia di dunia, rokok memiliki dua sifat baik dan buruk. Misalnya, pisau yang tercipta untuk memotong makanan (dan berakhir di dada seorang istri bersimbah darah ketika sang suami kalap memergokinya selingkuh dan menancapkan benda pertama di dapur yang tertangkap tangan). Atau pacul untuk membolak-balik tanah (dan tertanam dalam-dalam di batok kepala seorang tua yang dituduh dukun santet). Atau sekop untuk menggali (dan terhunjam ke pinggang seorang adik oleh kakak yang iri berebut warisan). Oke, saya berlebihan. Mari kita ambil satu benda yang sama sekali tidak berbahaya: sendok makan (dan di otak teman saya tetap menjadi alat untuk menyodok bola mata keluar dari rongganya). Fine. Salah lagi. Sumpit? (yang ditusuk ke lubang hidung musuh Bruce Lee dan tembus ke sinus?! Aw, come on!)
Dan apakah fungsi utama dari rokok sesungguhnya selain menjadi alat pembunuh pelan-pelan yang membuat paru-parumu terbakar hitam dan tenggorokanmu sekering Sahara? Oh, dan juga selain jadi penyumbang pajak dan cukai terbesar negeri ini serta penyerap jutaan tenaga kerja yang bahkan sudah tidak produktif?
(Kali ini saya membakar batang rokok kedua sebelum mulai mengetik paragraf baru)
Dulu saya berpendapat bahwa orang yang merokok dengan alasan kalut adalah bodoh. Mereka tidak mampu membangun kepercayaan diri dan keteguhan sikap hingga memerlukan medium untuk memaklumi tindakan-tindakan salah mereka. Namun setelah saya menjadi perokok saya baru sadar bahwa tembakau dan berbagai campuran yang digulung dalam kertas sepanjang sembilan senti itulah yang perlu dijepit diantara jari tengah dan telunjuk. Dan gerakan menghisap dan menghembus itulah yang diperlukan, bukan nikotin, yang sesungguhnya malah memperlambat proses otak untuk berpikir. Intinya: saat orang sedang berpikir keras, harus ada sesuatu yang dilakukan dengan santai, tanpa perhitungan dan aturan, dan agak-agak membuat diri tidak nyaman. Berdzikir atau membaca Novena? Tidak akan membantu karena kepala akan dipenuhi dengan bacaan-bacaan yang harus diulang sehingga apa yang mengganggu pikiran malah tidak mengemuka. Joging? Perlu tempat dan sepatu dan tidak semua orang suka berlari. Coitus? Perlu dua orang untuk melakukannya, ditambah ruang yang sangat pribadi jika tidak ingin digerebek FBR atau Forkabi atau induk semang kos-kosan.
(Sekarang saya mulai menyulut batang rokok ketiga dari sebungkus LA Light Menthol isi 16 yang baru saja saya robek hymennya)
Saya selalu kagum dengan tradisi Indian menghisap pipa perdamaian ketika dua atau lebih kepala suku sedang berkumpul dan musyawarah dimulai. Sebagaimana suku-suku primitif terdahulu yang cinta pada alam dan kedamaian, mereka juga saling menguliti kepala dan melempar kampak ke punggung dan torso anggota suku lainnya ketika terjadi perebutan wilayah atau perempuan. Jadi, rokok itu menurut saya memiliki sejarah panjang dan indah dimana suku-suku yang berbeda itu mencoba menghindari perselisihan dan mencapai kesepakatan.
Lalu bagaimana dengan keberatan Bapak Taufik Ismail tentang Indonesia sebagai surga perokok? Menurut saya larik-larik kata disitu malah menembak pembawa pesan dan tidak mengena pada pesannya sendiri (terjemahan bebas dari shoot the message, not the messenger). Mungkin beliau juga belum pernah bertemu saya, Jin Laknat, dan beberapa orang teman perokok yang peduli para mereka yang bukan perokok. Kami selalu membawa-bawa asbak portabel kemana-mana, jadi tidak ada alasan untuk siapapun menuduh kami pembuat sampah. Kami juga tidak pernah merokok dalam ruangan ber-AC, kecuali di gudang tempat dia bekerja karena semua orang disana juga ahli hisap dan beberapa yang bukan ahli hisap memerlukan pendingin ruangan agar sirkuit dan drive penyimpan data sebesar lemari itu tidak kepanasan. Kami sering menegur orang-orang yang sembarangan menyalakan rokok mereka di dalam bis pengap penuh orang. Kami sadar betul bahwa bukan hanya perokok yang menggunakan transportasi umum ini. Dan kami selalu berusaha menghindar dari para anti-rokok jika sakaw nikotin melanda.
Di pabrik tempat saya memburuh yang ibu mandornya sangat antipati pada perokok, saya membuat Smokers United alih-alih Serikat Pekerja. Setiap jeda, saya panggil anggota-anggota saya ke beranda dan beriang-riang dalam gemulung asap Class Mild, Djarum Black, Marlboro dan LA Menthol. Jika mak bedunduk Bu Mandor nongol di pintu, saya terima 'disetrap' dan meneruskan merokok di seberang pabrik sambil bermain-main dengan ponsel butut saya, menikmati buku yang saya bawa dari kos, atau menunggu Mala si Siberian cantik yang sedang hamil itu lewat. Saya juga e'ek sambil merokok dan membaca. Di rumah, di kos, di pabrik. Tapi kebetulan kamar mandi di ketiga tempat itu sangat nyaman buat perokok karena ventilasinya besar dan tidak pengap. Call me a damned filthy lucky smoker bitch, tapi maaf buat kalian yang tidak memiliki privilege seperti saya. Go find your luck in some other place, but stay away from mine. Tee hee hee.
Tentang penularan penyakit yang lebih ganas dari HIV-AIDS? Ah, berlebihan. Jangan tinggal di Jakarta jika tidak ingin menghirup udara yang kotor oleh buangan knalpot bis dan mobil dan pick-up yang tidak lulus emisi. Asap rokok yang kamu hisap dari perokok yang berjarak lima meter tidak sejahat udara Jakarta yang kamu hirup tiap detik. Kecuali jika kamu berniat merokok tanpa modal dengan menghisap dalam-dalam asap yang dihembuskan perokok yang duduk di sebelah.
Dan ada kalanya apa yang menjadi prioritas utama bagi seseorang belum tentu mendapat tempat yang sama pada orang lain. Sebagaimana orang kebanyakan perlu makan, saya, sebagai perokok, lebih memilih untuk membeli sebungkus nikotin ketimbang nasi. Sungguh, nggak sedikit orang yang menegur saya karena kebiasaan yang menurut mereka menyakiti diri sendiri ini. Padahal akan jauh lebih menyakitkan bagi saya membiarkan tubuh mendamba nikotin daripada 'membuatnya sehat' dengan merepresi kebutuhannya. Masalah penyakit dan sebagainya yang menyebabkan kematian? Well, masalah mati adalah hak prerogatif Dia yang Menciptakan. Entah nanti saya tewas dengan paru bolong atau tergencet molen Holcim yang supirnya lupa menarik rem tangan, tidak ada yang tau. Dan buat saya amat sangat percuma memperingatkan para perokok tentang bahaya dan sakit yang akan mereka derita. Saya sendiri juga sudah khatam bahasan penyakit-penyakit yang dapat timbul karena rokok. Jadi, terima saja lah ketika semua bermuara pada satu hal: pilihan.
Dan saya sangat berterimakasih pada orang yang punya ide jenius membuat produksi masal tembakau lintingan dan filter di ujungnya serta penambahan menthol di dalamnya yang disebut rokok karena ketidakmampuan saya melinting apapun selain uang kertas yang akan saya berikan ke kondektur bis maupun mbak-mbak kasir di supermarket atau bapak penjual rokok. Jadi, saya tidak perlu menggunakan pipa atau meracik sendiri seberapa takaran yang nikmat untuk dihisap.
Bagi para ulama dan mereka yang terlihat cerdas di dalam gedung parlemen sambil petantang-petenteng dengan rokok di tangan, mungkin perlu dibuat buku atau peraturan tata cara merokok yang baik. Terutama agar para ulama itu tidak terlalu memikirkan agama dan kitab kuning sambil merokok dan meracuni santri-santrinya, dan anggota dewan bisa menghargai sesama anggota yang tidak merokok. Saya sendiri sedang belajar mengurangi carbon guilt dengan berjalan kaki ke kos sepulang mburuh dan sebisa mungkin menggunakan kaki sebagai alat transportasi, meskipun belum bisa mengurangi rokok. Namun saya juga menggiatkan gerakan Reuse-Recycle-Refill (dan Reduce) secara Spartan dan saya kampanyekan pada orang-orang terdekat. Salah satunya adalah dengan mengumpulkan kotak rokok bekas dan saya berikan pada para penjual rokok agar mereka tidak perlu menggunakan plastik jika ada yang membeli rokok ketengan. Jadi, jangan pernah sekalipun berani menyebut saya perokok tidak bertanggungjawab!!!
(Dan ketika menengok asbak lucu berbentuk kucing di sebelah kiri mesin tik saya dapati enam puntung tergeletak dengan kumuhnya)
Saya berusaha memahami puisi penyair senior ini dengan amat sangat lapang dada (meskipun sekarang memang sedang sesak karena terlalu banyak merokok dan flu dua minggu yang belum sembuh juga). Begini. Sama halnya dengan seluruh ciptaan manusia di dunia, rokok memiliki dua sifat baik dan buruk. Misalnya, pisau yang tercipta untuk memotong makanan (dan berakhir di dada seorang istri bersimbah darah ketika sang suami kalap memergokinya selingkuh dan menancapkan benda pertama di dapur yang tertangkap tangan). Atau pacul untuk membolak-balik tanah (dan tertanam dalam-dalam di batok kepala seorang tua yang dituduh dukun santet). Atau sekop untuk menggali (dan terhunjam ke pinggang seorang adik oleh kakak yang iri berebut warisan). Oke, saya berlebihan. Mari kita ambil satu benda yang sama sekali tidak berbahaya: sendok makan (dan di otak teman saya tetap menjadi alat untuk menyodok bola mata keluar dari rongganya). Fine. Salah lagi. Sumpit? (yang ditusuk ke lubang hidung musuh Bruce Lee dan tembus ke sinus?! Aw, come on!)
Dan apakah fungsi utama dari rokok sesungguhnya selain menjadi alat pembunuh pelan-pelan yang membuat paru-parumu terbakar hitam dan tenggorokanmu sekering Sahara? Oh, dan juga selain jadi penyumbang pajak dan cukai terbesar negeri ini serta penyerap jutaan tenaga kerja yang bahkan sudah tidak produktif?
(Kali ini saya membakar batang rokok kedua sebelum mulai mengetik paragraf baru)
Dulu saya berpendapat bahwa orang yang merokok dengan alasan kalut adalah bodoh. Mereka tidak mampu membangun kepercayaan diri dan keteguhan sikap hingga memerlukan medium untuk memaklumi tindakan-tindakan salah mereka. Namun setelah saya menjadi perokok saya baru sadar bahwa tembakau dan berbagai campuran yang digulung dalam kertas sepanjang sembilan senti itulah yang perlu dijepit diantara jari tengah dan telunjuk. Dan gerakan menghisap dan menghembus itulah yang diperlukan, bukan nikotin, yang sesungguhnya malah memperlambat proses otak untuk berpikir. Intinya: saat orang sedang berpikir keras, harus ada sesuatu yang dilakukan dengan santai, tanpa perhitungan dan aturan, dan agak-agak membuat diri tidak nyaman. Berdzikir atau membaca Novena? Tidak akan membantu karena kepala akan dipenuhi dengan bacaan-bacaan yang harus diulang sehingga apa yang mengganggu pikiran malah tidak mengemuka. Joging? Perlu tempat dan sepatu dan tidak semua orang suka berlari. Coitus? Perlu dua orang untuk melakukannya, ditambah ruang yang sangat pribadi jika tidak ingin digerebek FBR atau Forkabi atau induk semang kos-kosan.
(Sekarang saya mulai menyulut batang rokok ketiga dari sebungkus LA Light Menthol isi 16 yang baru saja saya robek hymennya)
Saya selalu kagum dengan tradisi Indian menghisap pipa perdamaian ketika dua atau lebih kepala suku sedang berkumpul dan musyawarah dimulai. Sebagaimana suku-suku primitif terdahulu yang cinta pada alam dan kedamaian, mereka juga saling menguliti kepala dan melempar kampak ke punggung dan torso anggota suku lainnya ketika terjadi perebutan wilayah atau perempuan. Jadi, rokok itu menurut saya memiliki sejarah panjang dan indah dimana suku-suku yang berbeda itu mencoba menghindari perselisihan dan mencapai kesepakatan.
Lalu bagaimana dengan keberatan Bapak Taufik Ismail tentang Indonesia sebagai surga perokok? Menurut saya larik-larik kata disitu malah menembak pembawa pesan dan tidak mengena pada pesannya sendiri (terjemahan bebas dari shoot the message, not the messenger). Mungkin beliau juga belum pernah bertemu saya, Jin Laknat, dan beberapa orang teman perokok yang peduli para mereka yang bukan perokok. Kami selalu membawa-bawa asbak portabel kemana-mana, jadi tidak ada alasan untuk siapapun menuduh kami pembuat sampah. Kami juga tidak pernah merokok dalam ruangan ber-AC, kecuali di gudang tempat dia bekerja karena semua orang disana juga ahli hisap dan beberapa yang bukan ahli hisap memerlukan pendingin ruangan agar sirkuit dan drive penyimpan data sebesar lemari itu tidak kepanasan. Kami sering menegur orang-orang yang sembarangan menyalakan rokok mereka di dalam bis pengap penuh orang. Kami sadar betul bahwa bukan hanya perokok yang menggunakan transportasi umum ini. Dan kami selalu berusaha menghindar dari para anti-rokok jika sakaw nikotin melanda.
Di pabrik tempat saya memburuh yang ibu mandornya sangat antipati pada perokok, saya membuat Smokers United alih-alih Serikat Pekerja. Setiap jeda, saya panggil anggota-anggota saya ke beranda dan beriang-riang dalam gemulung asap Class Mild, Djarum Black, Marlboro dan LA Menthol. Jika mak bedunduk Bu Mandor nongol di pintu, saya terima 'disetrap' dan meneruskan merokok di seberang pabrik sambil bermain-main dengan ponsel butut saya, menikmati buku yang saya bawa dari kos, atau menunggu Mala si Siberian cantik yang sedang hamil itu lewat. Saya juga e'ek sambil merokok dan membaca. Di rumah, di kos, di pabrik. Tapi kebetulan kamar mandi di ketiga tempat itu sangat nyaman buat perokok karena ventilasinya besar dan tidak pengap. Call me a damned filthy lucky smoker bitch, tapi maaf buat kalian yang tidak memiliki privilege seperti saya. Go find your luck in some other place, but stay away from mine. Tee hee hee.
Tentang penularan penyakit yang lebih ganas dari HIV-AIDS? Ah, berlebihan. Jangan tinggal di Jakarta jika tidak ingin menghirup udara yang kotor oleh buangan knalpot bis dan mobil dan pick-up yang tidak lulus emisi. Asap rokok yang kamu hisap dari perokok yang berjarak lima meter tidak sejahat udara Jakarta yang kamu hirup tiap detik. Kecuali jika kamu berniat merokok tanpa modal dengan menghisap dalam-dalam asap yang dihembuskan perokok yang duduk di sebelah.
Dan ada kalanya apa yang menjadi prioritas utama bagi seseorang belum tentu mendapat tempat yang sama pada orang lain. Sebagaimana orang kebanyakan perlu makan, saya, sebagai perokok, lebih memilih untuk membeli sebungkus nikotin ketimbang nasi. Sungguh, nggak sedikit orang yang menegur saya karena kebiasaan yang menurut mereka menyakiti diri sendiri ini. Padahal akan jauh lebih menyakitkan bagi saya membiarkan tubuh mendamba nikotin daripada 'membuatnya sehat' dengan merepresi kebutuhannya. Masalah penyakit dan sebagainya yang menyebabkan kematian? Well, masalah mati adalah hak prerogatif Dia yang Menciptakan. Entah nanti saya tewas dengan paru bolong atau tergencet molen Holcim yang supirnya lupa menarik rem tangan, tidak ada yang tau. Dan buat saya amat sangat percuma memperingatkan para perokok tentang bahaya dan sakit yang akan mereka derita. Saya sendiri juga sudah khatam bahasan penyakit-penyakit yang dapat timbul karena rokok. Jadi, terima saja lah ketika semua bermuara pada satu hal: pilihan.
Dan saya sangat berterimakasih pada orang yang punya ide jenius membuat produksi masal tembakau lintingan dan filter di ujungnya serta penambahan menthol di dalamnya yang disebut rokok karena ketidakmampuan saya melinting apapun selain uang kertas yang akan saya berikan ke kondektur bis maupun mbak-mbak kasir di supermarket atau bapak penjual rokok. Jadi, saya tidak perlu menggunakan pipa atau meracik sendiri seberapa takaran yang nikmat untuk dihisap.
Bagi para ulama dan mereka yang terlihat cerdas di dalam gedung parlemen sambil petantang-petenteng dengan rokok di tangan, mungkin perlu dibuat buku atau peraturan tata cara merokok yang baik. Terutama agar para ulama itu tidak terlalu memikirkan agama dan kitab kuning sambil merokok dan meracuni santri-santrinya, dan anggota dewan bisa menghargai sesama anggota yang tidak merokok. Saya sendiri sedang belajar mengurangi carbon guilt dengan berjalan kaki ke kos sepulang mburuh dan sebisa mungkin menggunakan kaki sebagai alat transportasi, meskipun belum bisa mengurangi rokok. Namun saya juga menggiatkan gerakan Reuse-Recycle-Refill (dan Reduce) secara Spartan dan saya kampanyekan pada orang-orang terdekat. Salah satunya adalah dengan mengumpulkan kotak rokok bekas dan saya berikan pada para penjual rokok agar mereka tidak perlu menggunakan plastik jika ada yang membeli rokok ketengan. Jadi, jangan pernah sekalipun berani menyebut saya perokok tidak bertanggungjawab!!!
(Dan ketika menengok asbak lucu berbentuk kucing di sebelah kiri mesin tik saya dapati enam puntung tergeletak dengan kumuhnya)
P E R T A M A X....
ReplyDeleteaku iso komen....hurray....!!!
cinta? ribet!
ReplyDeletetumben nih ada peristiwa apa kok dibuka komennya.
layak dirayakan. :)
Peace !
ReplyDeleteeh kalo dipikir2 kok aku pernah nulis hampir kaya gini juga nih http://ekpurosis.wordpress.com/2007/06/19/smoker-manifesto/
ReplyDelete