Iseng

Minggu sore saya kedatangan tamu istimewa. Teman senasib sepergadangan dulu. Duo maupun trio bersama seorang gadis manis berjilbab yang bakal bikin nyali lelaki manapun jadi ciut ketika dia menyentak galak namun cerdas dalam forum diskusi manapun.

Tamu ini masih sama seperti dulu. Berbahasa santun, dengan kerudung Aceh dan logat Melayu kental mengingat asalnya dari Kalimantan, berwajah mirip Cina namun sesungguhnya mengalir darah dari leluhur Haddramaut dengan nama fam bertradisi kental. Hanya wajahnya yang tambah tirus dan badannya bertambah lurus serta kulit menggelap mengingat mobilitas tinggi sebagai penyuluh dan researcher pertanian memaksanya bolak-balik Telok Betung-Ketapang-Pontianak mengendarai motor cicilan. Kami berusaha merangkum setahun setelah pertemuan terakhir dalam waktu beberapa jam saja, disela dua cangkir Kopi Aroma Arabika Moccha, cucian pakaian dalam seember kecil (milik saya), dan berbatang-batang rokok tanpa henti (yang juga milik saya). Dengan teknis dan jangka waktu berbeda ternyata kami mengalami beberapa hal yang sama dalam menjalin hubungan.

Sayangnya dia tidak bisa menginap karena kepergiannya ke Jakarta adalah untuk memenuhi panggilan wawancara dengan salah satu departemen besok paginya. Jadilah saya mengantarnya pulang jam sepuluh malam ke kediaman kakaknya di seputaran Pasar Minggu.

Ngobrol sebentar lalu saya pamit kembali ke kandang sendiri. Celakanya, saya sudah terlanjur pasang Homicide, lagu pengantar jalan kaki. Dari sepasang headset penyumpal telinga dentamannya saya nikmati sambil merokok, menyusuri jalan Pasar Minggu hingga berkeringat kelelahan dan harus ngebis di dekat rental Mobilindo. Niat saya untuk langsung pulang jadi batal karena kelaparan. Sebelumnya, ketika harus turun di terminal sekaligus pasar, saya sudah mengincar mie ayam yang masih buka selarut itu. Tapi ketika saya melewati tempat yang sama sejam setengah setelahnya, ternyata gerobak itu raib. Dan mata saya tertumbuk pada warung kopi dengan jajaran benda bujursangkar putih rada hitam pada sisinya. Jadah bakar. Yay!

Lapar saya terobati dengan dua buah jadah (atau ketan dalam Bahasa Indonesia. Tapi saya lebih senang menggunakan jadah mengingat artinya jika di depannya terletak kata 'haram'). Saya diberi tatakan gelas warna biru berisi serundeng dan gula pasir. Dengan air jeruk hangat dan pemandangan jual-beli di depan dan kanan-kiri saya, entah kenapa rasanya nikmat sekali.

Total 2 jam 39 menit saya nongkrong, ditemani 17 SMS dan 34 menit telepon oleh teman-teman saya di Temanggung dan Bali. Saya seperti larut dalam bebauan jengkol dan sampah sayuran busuk, teriakan para penjual yang memesan kopi atau mie goreng instan pada si mang tukang warung, dan tawar-menawar harga oleh pembeli dan tukang jamur. Disini semua orang bangun dan bekerja. Tidak (atau belum?) ada tanda kelelahan atau raut wajah menyerah yang saya temukan. Beberapa menit lewat tengah malam hingga saya mengangkat pantat saya dari kursi panjang depan gerobak kopi, mas-mas asal Wates di sebelah kanan saya masih cekatan memilah kangkung dan mengikatnya dengan bilah bambu tipis. Penjual jamur, bakso, tempura, dan telur puyuh di sebelah kiri saya masih tangkas menghitung dagangan dan memasukkannya ke dalam plastik kecil-kecil. Si mang warung juga giat menerima panggilan telepon delivery service yang meminta kopi susu atau teh hangat diantarkan ke lapak berjarak 200-an meter dari gerobak. Orang-orang datang-pergi, membawa tas plastik berisi sarat belanjaan. Beberapa motor mengangkuti sawi dan bayam dan wortel hingga semua tempat di kendaraannya penuh sekali. Saya jadi teringat masa-masa ketika Ibu usaha katering kecil-kecilan dulu. Jam 12 berangkat, pulang jam 2, lalu masak sementara saya baru saja tidur. Yang paling unik adalah beberapa bocah tanggung dan brondong dekil dengan bot setengah betis, jins skinny, ikat pinggang berpaku, kaos hitam bertuliskan RANCID dan SEX PISTOLS didobel kemeja flanel serta bertindik heboh di wajah dan gaya rambut mohawk terlihat wira-wiri membawa tentengan plastik berisi jamur kuping dan sayuran.

Setengah tiga lebih sedikit dan saya membayar 2 jadah bakar, 2 gelas kopi pahit dan segelas jeruk hangat yang totalnya sembilan ribu. Saya beranjak dan berjalan pelan menikmati suasana kerja dini hari sebelum saya masuk Metro Mini jurusan Blok M. Malam itu saya membawa pulang gerak dinamis manusia-manusia pekerja dan suasana yang tidak terbeli di riuh Starbucks maupun sejuknya Plaza Indonesia.

Comments

  1. Anonymous4:22 PM

    */
    [massmessage] yg mo nyampah, pitopoenya.blogspot sudah bisa disampahi. sok sana nyampah sepuwasnya!
    */

    crut-crut ...

    aaaah legaaaa ... :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women