Don't Hope, Don't Expect

Ibu saya sudah lama berhenti berharap saya pulang meskipun jarak antara kos dan rumah masih lebih dekat ketimbang Jogja-Semarang. 'Inget sukur... nggak inget ya udah,' ujarnya. Tapi saya nggak pernah alpa melihat sekilas binar matanya dan pelukan yang makin hangat menyambut di depan pintu, serta ciuman yang dihujankan pada pipi dan kening (dan biasanya Icha cengengesan melihat saya tidak berdaya. Dia bosan jadi satu-satunya obyek afeksi ibunda). Meskipun di ujung ritual itu ada kesan sedih terlontar, 'Tambah santer aja bau rokokmu'.

Ibu saya juga nggak pernah berharap angka-angka saya di atas rata-rata setiap rapor dibagikan. Saya juga nggak punya jadwal belajar khusus setiap malam, kecuali belajar membaca kelas 1 dulu. Jika saya sedang 'lempeng' dan pingin tau, saya bawa buku pelajaran dan duduk di sebelah beliau.

Kelas 5 SD, sekali saya mendapat angka 5 untuk Matematika. Saya ingat betul bagaimana saya berjalan dalam diam sepulang mengambil rapor, tidak berani bahkan untuk menggandeng tangan Ibu karena benak saya sibuk menyerap cerita-cerita teman sekelas. Mereka harus menerima pukulan gagang sapu, gayung, dan tongkat rotan saat hasil evaluasi memburuk. Mengingat Ibu saya yang juga tidak segan melakukan hal yang sama, perjalanan pulang lima menit itu seperti lima hari (Hail Einstein for his Relativity!). Sesampai kami di rumah saya mempersiapkan fisik dan mental menghadapi apa yang akan terjadi nanti. Hingga sore semua berjalan seperti biasa dan masalah nilai rapor merah sama sekali tidak diungkit-ungkit. Mungkin nunggu Babab pulang, pikir saya.

Benar saja. Ketika Bapak yang Lucu dan Santai itu 'mendarat' di teras bersama motor RX-nya, lalu nge-teh dan mandi dan siap makan malam, Ibu melapor. Saya tegang mengantisipasi bagaimana makan malam ini akan jadi salah satu hal paling traumatis setelah hukuman kamar mandi. Ternyata Babab cuma nyengir, dan Ibu santai menggendong Icha yang waktu itu belum balita sambil berceloteh apa yang beliau dan Pak Dharma, wali kelas/guru ngaji/guru agama saya, gosipkan. Karena bingung, dengan bodoh saya bertanya, "Jadi... Pit nggak dipukul nih? Nggak papa, nih?"

"Lho? Kenapa? Ibu tau kok kamu nggak bisa matematika. Belajar aja males gitu. Capek Ibu oprak-oprak kamu nyuruh belajar, wong yang sekolah juga kamu. Tadi Ibu ketemu guru matematikamu dan dia bilang sendiri kalo kelas 5 ini susah-susahnya pelajaran SD karena buat ujian akhir nanti. Wajar kalo nilainya pada jatoh semua," jawab Ibu.

Detik itu saya seperti mendengar malaikat riuh bernyanyi Haleluya diiringi sinar cemerlang yang memancar dari atas langit menyoroti senyum di wajah saya yang menengadah menerima berkat dengan tangan terentang. Ya, ya, ya. Saya terlalu banyak nonton film bertema Natal sewaktu kecil.

Mungkin yang membuat Ibu berhenti berharap pada saya adalah karena saya ndablek nggak ketulungan. Nggak bisa dibilangin, makanya dibiarin aja. Seperti yang terjadi pada Tragedi Pos Ronda di depan komplek waktu itu. Dan beberapa peristiwa memaksa saya belajar untuk tidak 'ngarep' pada apapun, meski proses denial-nya amat sangat panjang dan lama.

Karena itulah saya terganggu dengan omongan-omongan 'ngarep' yang tertuju ke muka saya. "Oh, aku kira kamu jago gambar, Pit. Wong kamu nyeniman gitu," komentar mandor saya waktu saya terkagum-kagum pada lukisan putri Big Boss yang terpampang di ruangannya dan berandai-andai bisa melukis sebagus dia. Atau omongan teman saya kemarin siang yang menohok tepat di ulu hati: "Untuk ukuran orang se-egaliter elu, gwa ga nyangka lo mau cabut gitu aja padahal anak-anak mau makan." Atau setelah sesi curhat dimana teman saya yang ketiban sampur berkata, "Nggak nyangka yah... untuk urusan kayak gini elu lebih cewek daripada cewek."

Well, then. Karena saya nggak bisa hidup sendirian; karena saya nggak mampu bertahan tanpa orang-orang sekeliling (meski mereka cuma pelengkap); karena saya masih perlu second, third, fourth, and fifth opinion dari para bajingan dan begundal dalam lingkaran sempit saya; dengan berat hati saya menghela nafas dalam-dalam dan harus berkompromi ketika my most basic rule hanya meluncur satu arah dari saya tanpa memantul kembali. Ah, saya tinggal menggeser mindset aja kok. Gampang.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women