Quo Vadis, Polisi Indonesia?

Belum ada sepuluh menit yang lalu saya menyaksikan kejadian menyedihkan setelah saya mengantar Jo hingga ke taksi. Waktu saya menyebrang jalan Radiodalam yang padat merayap untuk beli rokok di koperasi, dua motor hitam, besar dan keren berhenti dan parkir mendadak dengan satu motor matic biru-putih di belakangnya. Pengendara motor-motor keren itu adalah dua orang identik dan gagah berhelm a la pembalap dan celana lapangan warna coklat, sepatu lars, dan jaket hitam dengan badge 'Fighting Falcon' dan beberapa aksesori berbau angkatan. Sementara pengendara motor matic adalah pemuda remaja dengan sneaker, jumper, tas selempang dan helm setengah.

Dua mas-mas ganteng dan bertampang garang itu bicara dengan nada kasar namun suara tetap ditekan hingga saya yang berjarak tidak lebih dari lima meter hampir tidak bisa mendengarnya. Sesayup mereka membentak tentang 'lampu merah' dan 'macet' dan 'menerobos' sambil bergegas mendekati si mas matic yang sepertinya gemetar dengan sorot mata khawatir. Salah satu mas gagah itu mendekati--amat dekat sekali--si mas matic, bicara dengan nada mengintimidasi dan... Plak! Tamparan melayang di pipi si matic yang belum sempat menjejakkan standar pada motornya. Saya sontak kaget. Dan ketika saya menoleh ke pintu koperasi, saya baru ngeh bahwa hampir semua orang di dalamnya keluar menyaksikan 'pertunjukan' itu.

Saya mencoba tidak peduli, bahwa ada seorang warga diperlakukan semena-mena oleh orang berseragam yang katanya bermoto 'Melindungi dan Mengayomi', yang gajinya juga dikutip dari pajak yang dibayar penduduk sipil, yang dilatih menggunakan senjata dan tampil gagah untuk dapat bekerja sesuai dengan fungsi dan profesinya. Sungguh, saya berusaha keras. Namun saya nggak bisa konsen menghitung kembalian dari mbak kasir karena ekor mata saya melihat orang-orang yang berjumlah tidak seberapa tetap berkerumun di pintu keluar koperasi yang mirip mini market itu.

Akhirnya saya nggak sabar. Saya titipkan kembalian pada kasir dan saya keluar. Saya dekati 'TKP', bermaksud memprovokasi tanpa suara dengan bersandar pada dinding tidak sampai 5 meter dari tempat kejadian. Saya tatap lekat-lekat si mas celana coklat yang tadi menampar mas matic. Edan! Dia bergeming tidak bergerak, masih dengan lagak sok berkuasa, menengarai dengan sebal ke arah si mas matic dari kepala sampai kaki (apakah kamu mengira-ngira berapa puluh ribu bagian yang kamu dapat dari seorang remaja sembilan belas tahun mengingat rekanmu bertanya usia, STNK, SIM dan KTP?). Saya nyalakan rokok se-bitchy mungkin, dan mata saya masih lekat pada salah satu celana coklat. Saya hisap rokok dan menghembuskan asapnya dengan gaya belagu. It didn't work. Mereka masih berkutat dengan urusan geblek itu.

Saya berharap diusir dari tempat saya bersandar, berharap bahwa setidaknya dua orang yang tidak terlihat lebih tua dari mas matic itu masih memiliki sedikit rasa malu karena aksi tersebut ditonton orang banyak--yang juga tidak mampu berbuat apa-apa. Saya menunggu-nunggu episode Memindahkan Isi Kepalan dari Penduduk Sipil untuk Makan Malam Bapak Berseragam. Dan... Voila! Terjadilah! Tepat di depan mata saya. Kurang dari 5 meter dari tempat saya berdiri.

Sungguh, saya heran. Mungkin saya agak sedikit lebih pengertian jika yang melakukan praktek seperti itu adalah bapak-bapak gendut yang mungkin kekurangan uang untuk belanja dan biaya sekolah anak istrinya di asrama polisi. Namun ini mas-mas yang saya yakin berusia awal duapuluhan, terlihat dari betapa hausdarahnya mereka--meskipun tampang masih cupu--menghadapi mas matic yang gentar, menemukan banyak kesamaan pada raut mereka dengan sepupu saya yang masih dua satu. Apa yang diajarkan di tempat latihan kalian hingga harus bertebal muka mendulang kejadian seperti ini, duhai yang katanya pengayom masyarakat?! Tepat di depan puluhan mata warga sipil lainnya. Mengapa harus seperti ini, bertingkah layaknya preman kehabisan uang untuk beli minuman, sementara seharusnya kalian memberantas kelakuan seperti itu? Sungguh, saya nggak ngerti. Kalian masih sangat muda namun begitu tidak punya nyali, berlindung di balik seragam dan tubuh kekar hasil latihan. Padahal seragam itu juga dibeli dari uang rakyat.

Pertunjukan usai sudah, menyisakan senyum getir pada bibir saya dan sedikit huruf dan angka yang tertera pada salah satu plat Suzuki RGR Hitam keren itu. Saya ketikkan nomer platnya pada ponsel butut saya: B6379SLH.

ps: ya. quo vadis nurani Polisi Indonesia? Terlalu hebatkah beberapa lembar sepuluh ribu rupiah sekali tilang hingga menutup kemaluan dan teriakan kecil dari lubuk hati terdalam?

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women