A Cup of Coffee and A Good Friend
Him: I need a shoulder...Saya nggak tau mau terharu atau ketawa ketika membaca kembali archive SMS pada ponsel hitam butut yang saya tenteng kemana-mana. Dia, yang biasanya selalu jadi tempat saya bersandar, ternyata juga perlu bahu imajiner dari saya. Yah, meskipun dia membayangkan Tuhan saat melakukannya. Dan semua berawal ketika saya sedang memasak kopi. Kebetulan? Rasanya tidak jika dalam satu kesempatan dua hal pahit bercampur menjadi sesuatu yang manis untuk dikenang: Kopi tanpa gula dan teman yang gulana.
Me: Got a pair of cold ones. Shoot, Beib. S'up? R U allrite?
Him: I will, later. Thanx to those pair of yours
Me: May I know what's it all about? U won't be like diz if it isn't sumthing big dat bothers U much. But it's fine if U jez need 2 lay Ur weary head in my imaginery shoulder. Dun 4get 2 smile, plz (=
Him: :)
Him: Dun laugh but I pretend dat I'm texting God when I send U my SMS
Me: Well, I'm the closest thing 2 God considering my insom habit and all ((= Take a deep breath & let go, Beib. Things'll be fine 4 U and all dat makes U worry 2 much
Him: I'm picturing God's shoulder in the shape of yours, actually. Tengkyu bertubi-tubi
Me: Anytime, Hun. Anytime. Dat's what being a belahan biji is all about. Sumthing way closer than Ur own penis. Shit. I aint good in making analogy. I'm trying lah tapinya
Him: Dat's a great one! Lebih membumi :))
Me: So, R U gonna keep texting God and give Her a chance 2 show how fluent Her English is or U jez wanna lay in bed picturing Pito's shoulder in Ur head?
Him: :) Carry on w/ what U do now. Yes, I'll be fine. Thanx again
Me: Seneng deh. Akhirnya gwa berguna juga buat lo. U always have God's shoulders in anyone cuz U always provide yours for everyone *bows* U're very fuckin' welcome, anyway
Manis? Ya, karena satu hal yang sangat menonjok mesra di uluhati adalah sebuah gentle reminder: Bagaimanapun manusia tetap perlu manusia lain. Memang, selalu ada harga yang harus dibayar untuk apapun. Begitu juga pertemanan. Banyak friksi yang akan terjadi saat proses yang akan melekatkan dua orang berbeda karakter dan latar belakang sedang berlangsung. Saya dan dia seperti surga dan neraka. Dia kalem, pendiam, tenang, pintar, santai, ganteng (ehm...), dan amat sangat peduli pada teman-temannya. Saya? Yah... tau sendiri lah. Semua kebalikannya, kecuali bagian ganteng dan pintar (HAH!). Udah bisa ketebak kan mana surga mana neraka?
Yang menyatukan kami adalah semua perbedaan itu ditambah kecenderungan insom, kesukaan kami untuk nongkrong, dan menjadi pemerhati. Saya ingat betul pertama kali kami bertemu di Jogja. Betapa pendiam dan pemaklum bapak satu itu. Di tengah asap rokok saya yang tanpa henti dan beberapa cangkir kopi tanpa gula yang saya pesan, dia tetap tenang dan senyum menghadapi semua letupan dan muntahan lahar yang membuncah dari mulut saya. Merespon seadanya dan menatap mata saya dengan penuh perhatian. Tidak sedikitpun terganggu pada kabut kelabu yang mengambang di atas kepala meskipun dia tidak merokok, atau sok perhatian dan meminta saya berhenti sebentar. Dia bahkan menurut ketika saya memesankan kopi untuknya, meskipun di gelas kedua tangannya tremor sementara saya baik-baik saja pada gelas ketiga. Detik itu saya segera tau bahwa saya akan terjerat pada semua kebaikannya. Celakanya, saya jadi frigid. Jenis seperti dia adalah spesies yang saya nggak tega menjadikannya pacar. Dem! Akan sangat sulit bagi saya untuk menutup diri dari orang berkarakter seperti itu, dan hampir tiga tahun ini semua teori saya terbukti.
Pernah saya marah karena harapan saya terlalu tinggi, menganggapnya tidak pernah melakukan kesalahan. Saya hampir lupa bahwa dia bukan malaikat. Dia sangat ksatria, mengakui perbuatannya meskipun tau itu akan membuat saya muntab ke ubun-ubun dan rasanya seperti tertusuk belati di punggung. Saya sempat mencoret namanya dari daftar 'belahan biji'. Hanya dua puluh lima menit, ketika hampir tiga batang rokok mengabu dan amarah saya mereda. Saya malu karena apa yang saya lakukan mungkin lebih banyak melukainya ketimbang dia ke saya.
Saya pernah jumawa, merasa bisa mengatasi semua masalah sendiri, merasa kuat dan mampu menyangga beban apapun yang tertimpa di sepanjang dua puluh tahun lebih saya menyesaki bumi, merasa rebel karena tidak seorang pun tau bagaimana menghadapi saya. Bahkan kedua orangtua saya sendiri. Namun sebagaimana kesombongan-kesombongan saya yang lain, yang ini pun patah dan luruh. Ternyata saya tidak seistimewa itu. Terbukti bahwa saya tidak se-chaos itu untuk tidak bisa dimengerti. Bahkan di rentang pulau Jawa pun saya masih menemukan beberapa serpihan jiwa yang membentuk saya menjadi utuh. Saya hanya harus memahami jika ingin dipahami. So very fuckin' simple.
Proses kami memerlukan waktu, energi, dan kompromi. Sungguh, tidak semuanya menyenangkan. Karena bahkan pertemanan pun memiliki durasi, saya harus siap jika suatu hari dia menghilang. Dengan alasan apapun. Lebih dari lima kali saya mengalaminya dan akhirnya saya harus belajar menerima jika yang datang pasti harus pergi ketika saatnya tiba. Saya juga belajar untuk berani menunjukkan siapa saya tanpa baju zirah dan topeng berlapis pada mereka-mereka yang layak saya percaya, alih-alih selalu kembali menarik diri ke dalam benteng kesunyian.
Entah dia harus bersyukur atau mengutuk karena seleksi alam membuat saya mempertahankan sosoknya dalam lingkaran kecil yang saya bikin di sekeliling saya. Tidak berlebihan untuk menyebut dia sebagai salah satu penyangga yang mampu membuat saya berani menghadapi dunia luar, dan di saat yang sama, dia adalah atap tebal yang melindungi saya dari hujan kesedihan.
Kamu adalah salah satu bukti bahwa Tuhan dan The Great Plan itu ada. Terima kasih (=
ps: seiring saya merunduk rendah pada kalian yang sempat dan masih meluangkan hidup untuk saling mengiringi. saya sayang kalian.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?