Senandika

Han,
Sini duduk dekatku. Maaf, aku belum mandi. Kalah deh wanginya sama Kamu. Tapi aku ngebet pengen cerita. Tentang manusia-manusia dan bumi yang pernah Kamu cipta. Tentang derita yang ditimpakan saudara sesama. Tentang satu sifat turunan bernama acuh yang terpelihara karena keadaan. Tentang memuaskan dahaga bernama serakah yang layaknya mereguk air sesamudera. Tentang berkasihsayang, tentang ego, tentang eksistensi.

Biar kuhirup dalam-dalam wangi rambutMu, Han. Biar aromanya merangsek masuk hingga ke tulang sumsum, sampai ke tiap nano darah yang mengalir pada pembuluhku terpompa dalam jantung untuk kemudian menyebar dari kepala hingga kaki, memberi tenaga pada bibirku saat kubisikkan kontroversi Theresa pada telingaMu. Dia, yang seumur hidup mengasihi sesama layaknya Santa, menghabiskan jiwanya dalam kemiskinan pelosok India, pada penghujung hari pun ternyata mempertanyakan benarkah Kamu ada.

Mari letakkan tanganMu dalam genggamanku. Akan kukecup lembut telapakMu dan kutanyakan bagaimana Yesus mengerang pada kayu salib, memanggilMu kembali untuk memberinya kekuatan. Dia, yang konon adalah anakMu, buah kasih yang Kau titipkan pada Perawan Suci Maria, yang bertugas memanggul dosa semua orang, yang tidak pernah punya pilihan selain patuh.

Tolong ceritakan padaku bagaimana tangis Fatimah yang harus membuka pintu bagi Sang Maut dan betapa berat derita Muhammad saat nyawa terpisah dari raga hingga Jibril pun menangis haru, sementara yang diingat dan terulang tiga kali dari mulut agung itu hanya umatnya dan bagaimana nasib mereka kelak.

Izinkan kupangku tungkaiMu, Han. Biar kupijat sirna pegal yang menghambat jalanMu dari ujung jari hingga ke betis. Aku ingin dengar bagaimana Musa menggigil setelah dilihatnya semak terbakar, dan bagaimana jumawanya dia berteriak memanggil keberadaanmu demi keberlangsungan budak-budak Firaun yang percaya pada tuntunannya.

Aku tau, kita sungguh berbeda. Kamu sudah hapal bagaimana kelakuan mahluk primata berkaki dua yang pernah Kamu plot sebagai rahmat bagi alam semesta sementara Kamu hanya bisa kukira-kira dan kubentuk semauku. Pilihan bebas yang Kamu beri pada kami sebenarnya adalah semu, sebagaimana layout halaman bermainku ini yang sesungguhnya hanya deretan berbaris-baris string pada skrip yang dituliskan di notepad. Mungkin aku harus menerima bulat-bulat bahwa ada beberapa gelintir manusia yang senyap tersurat kere sementara yang lain riuh dalam gelimang harta, dan apapun yang mereka lakukan tidak akan pernah membuat keadaan jadi berbalik.

Ya, kami memang semesta-semesta kecil yang sadar, bergerak menuruti insting dan naluri dan berbagai pilihan. Kamu beri kami lebih dari cukup--panca indera, hati, otak, dan kebebasan memilih--hingga Iblis pun iri. Namun kami hanya anak-anak manja yang tidak pernah merasa cukup, selalu ingin lebih, selalu cemburu pada milik orang lain, selalu ingin menguasai, selalu ingin terlihat.

Han,
Mungkin aku tidak sehebat Theresa, Musa, Muhammad dan Isa. Aku juga belum mampu seperti Pakdhe dan Mas Greenpeace; atau Ndoro dan Paman. Mereka adalah orang-orang bijak, menyesap semua peristiwa dan mengejewantahkannya ke dalam bahasa santun. Mungkin mereka manusia-manusia anggur, beraroma mantap dan fermentasi matang seiring berjalannya waktu. Sementara aku hanya mangga karbitan, sok tua padahal kecut luar biasa.

Namun aku lelah memunguti serpihan-serpihan hati yang terserak di sepanjang jalan tak berujung. Menatapi mata-mata hampa tanpa harapan. Menjalani hidup dengan insting primitif layaknya hewan. Mendengar keluh dan desah nafas yang berat terhela di jeda sikap bersabar. Meresapi tangis tertahan di bangsal-bangsal rumah sakit. Mendapati anak-anak kelaparan.

Aku nggak tau, Han, seberapa lama Kamu biarkan aku menghirup udara di tempat bernama dunia. Aku rindu Kamu, ingin menatap wajahMu penuh-penuh. Meskipun nanti hanya siksa yang menyambutku karena laranganMu kerap kuabaikan.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?