The Mother

Masih dalam rangka safari kondangan, saya berhasil menyasarkan diri ke pelosok Klaten dengan rok batik sematakaki dan blus putih tanpa lengan. Stupid memang, jauh-jauh dari Jakarta ke Klaten hanya untuk kondangan, apalagi mengenakan 'perabotan lenong' berupa rok dan blus. Tapi begitulah kode etik saya demi menghormati yang punya hajat.

Namun (mungkin) karakter saya memang tidak terhormat. Pada pesta yang telah usai itu, pada hamparan makanan yang tertutup perabot metal, di depan panggung pelaminan terpampang megah di halaman rumah, di depan sepasang mempelai yang telah berganti baju rumahan beserta kerabat-kerabatnya, di hadapan seorang ibu berwajah bijak-bestari, saya yang hanya tentengan dan cuma kenal si wali nikah yang kebetulan teman saya mulai merasakan candu nikotin merambat perlahan dari urat nadi dan menggedor syaraf motorik untuk segera memasukkan asap jahanam ke dalam paru. Saya reflek menjangkau sekotak rokok dalam tas dan meminta izin sekedarnya. Dikasih atau nggak, saya bakal tetap menyulut. Yang menenteng saya, cowok tinggi besar dan agak sok perhatian itu, sebenarnya agak kaget. Begitu juga ibu mempelai perempuan. Namun saya cuek saja menyalakan dan menghisap dengan nikmat sambil menunggu bapak wali yang sedang mengantar abangnya ke terminal.

Sudah saya duga sebelumnya. Si Ibu langsung mengeluarkan petuah bijak tentang bahaya merokok bagi perempuan dan bagaimana trik mengurangi asupan nikotin dalam darah untuk mengikis candu dan telah berhasil diterapkan pada almarhum ayah yang telah tiada karena gagal ginjal. Saya hanya manggut-manggut dengan sedikit ngeyel di sana-sini sambil bersyukur dalam hati karena ibu saya sendiri hanya bisa menghela nafas tanpa bisa melarang saya merokok.

Tidak lama kemudian teman saya datang, tidak jadi mengantar si abang karena tau cowok yang menenteng saya ada di rumah ibunya. Ternyata si abang ini nggak kalah 'bocor' dari saya. Dan kita pindah lokasi, dari kursi-kursi tamu turun derajat jadi lesehan di panggung pelaminan. Cela-celaan, ketawa-ketiwi tanpa ujung pangkal, lempar-melempar rangkaian melati dan kotak rokok seperti pelawak Srimulat berhasil membuat penonton ger-geran. Bahkan dia sampai berani memiting dan menjitak kepala saya, entah karena sebal atau gemas, sambil tertawa-tawa (keanehan kesekian yang kerap saya jumpai pada orang-orang yang lebih tua karena entah sudah keberapa kali saya diperlakukan seperti ini). Dan saya melupakan sang ibu.

Hari beranjak sore, perut sudah kaku karena terlalu banyak tertawa dan es krim sudah tandas kami bantai. Saatnya saya pulang ke Jogja. Setelah berpamitan dan meminta maaf karena keributan yang kami perbuat, kami pun kembali menyusuri aspal dengan bapak wali tertinggal di belakang. Dan cowok yang menenteng saya itu masih membahas betapa saya sungguh-sungguh membuat syaraf tawanya tak bisa diam karena kelakuan saya.

"Elu mungkin cewek paling gila yang pernah ditemui ibunya T****. Lo ngeh nggak? Selama lo cekikikan tadi si ibu masih ada di belakang lo sambil ngelus dada prihatin," kata teman saya.

"Hah?! Lu kok nggak ngomong sih?! Edan ah! Gwa kan nggak enak jadinya..."

Mampus!

Kembali ke Jakarta dan saya online lewat layanan Instant Messenger gratisan. Saya masih penasaran dengan sang ibu dan apa yang ada di pikirannya mengenai saya.

Saya: Eh, nyokap lo shock ya liat gwa?
Dia: :D
Saya: Nggak menjawab pertanyaan >:P beliau komen apa pas gwa pulang?
Dia: Nggak komen apa-apa kok, cuma bilang 'Temen kamu itu tomboi banget ya. Temennya pasti laki-laki semua...'
Saya: Beneran? Nggak komen apa-apa lagi?
Dia: Iya, bener. Cuma bilang itu aja
Saya: Lo nggak dilarang deket-deket ama gwa?
Dia: Nggak. Tenang aja

Habislah saya. Apa jadinya kalau beliau tau anak lelaki satu-satunya itu sedang saya target untuk jadi 'tentengan tetap' saya yang ke sekian? Blah! Saya lupa jaim!

Nasibmu, Nduk. Huahahaha!!!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women