A Journey, Anyone?
Kamu tidak memilih perjalanan, namun perjalanan yang memilihmu
Zen si Pejalan Jauh
Senin sore kembali saya jejak Stasiun Jatinegara. Melangkah mantap diantara kerumunan penumpang KRL Jabotabek yang berdiri menunggu kereta di peron. Berbaur bersama copet dan pengemis dan anak-anak dekil memanggul karung besar berisi gelas plastik bekas wadah air mineral. Menghirup kembali campuran aroma keringat, parfum merek abal-abal, dan asap knalpot yang melindap dari luar. Senyap dalam riuh halo-halo bapak petugas informasi dan pedagang asongan dan wajah penuh harap pengemudi taksi dan ojek dan bajay menawarkan jasa. Pada satu warung Sate Padang berornamen lalat di seberang saya labuhkan pantat, ransel padat dan tas hitam dengan logo salah satu provider GSM nyata tercetak di bagian muka berisi boots hitam setengah betis, salah satu 'perlengkapan perang' yang saya bawa dalam perjalanan. Fuck the flies, karena lapar adalah bumbu ternikmat untuk makanan apapun. Apalagi sedari dini hari menunggu, perut saya hanya terisi bergelas-gelas kopi pahit, pecel kereta satu pincuk, dan berbatang-batang rokok. Saat itu lalat hijau gemuk yang berenang dalam bumbu kacang pekat terlarut maizena pun akan terasa enak.
Langit hampir kesumba dan orang-orang bermuka lelah sepulang kerja memadati bis dan Mikrolet. Absen memburuh sehari, saya pulang lagi ke Jakarta setelah hampir tiga hari berada di jalan demi menghadiri upacara berawalnya siklus baru dua orang manusia dalam satu ikatan suci: pernikahan--satu kata benda yang bagi saya memuat konsep absurd tentang persatuan dua individu lain kelamin, berharap dapat menyambung garis keturunan lelaki yang akan repot mengurus mereka kelak di hari tua demi satu kata yang nggak kalah absurd yaitu bakti.
Kali ini saya tidak hendak bicara tentang betapa memuakkannya kehidupan berpasangan yang disahkan negara melalui dua buku mungil berwarna merah dan hijau. Tidak. Saya akan menceracau tentang betapa menyenangkannya pertemuan saat proses perjalanan telah terlampaui.
Pernah suatu kali seseorang (yang merasa-entah takut entah khawatir-punya hubungan lebih dari sekedar teman ke saya) berkata-dengan personifikasi dirinya sendiri-bahwa pemandangan indah yang ditatap melalui jendela bis tidak ada tai-tainya ketimbang apa yang didapat ketika sampai ke tujuan. Bagi saya, apapun yang saya lalui di perjalanan, dari bapak-bapak pengantuk di sebelah, mas tukang sambat di kanan depan dan lelaki dingin berwajah sumringah di sebelahnya; banci berbisep keren menenteng 4-string bas kotak dengan gincu tebal terlalu merah dan mata turun karena koplo; segarnya bunga Honje di puncak gunungan sayuran rebus dan rangkaian tahu-bakwan-lontong tertata rapi bagai canang sesaji pada bakul mbok-mbok pedagang pecel; perspektif rel mundur dari jendela gerbong paling belakang saat kereta melaju bertambah cepat; semua seperti terekam dan tersimpan rapi dalam memori kepala saya.
Begitu juga dengan muka bantal penjemput saya di Stasiun Tawang yang tersentak bangun karena fajar hampir terang sementara kereta saya tiba dinihari. Celakanya, sebagai perekam dan pengenang yang baik, ingatan akan Kota Lama, Java Mall, Peterongan, Sompok, Gombel, dan Banyumanik bertemperasan keluar seperti isi kotak yang dibuka Pandora. Fuck!
Dengan dress selutut berbelahan dada rendah dan boots hitam setengah betis (yang-anjrit!-disangka penyanyi organ tunggal gwa!), ditambah tas hitam mengilat berisi kado, menenteng cowok tinggi besar sebagai pengawal, malam itu saya blusukan di daerah Purworejo. Saya berhasil membuat para perempuan disana--yang HAMPIR SEMUA BERJILBAB--jadi bertambah tua karena kernyit pada alis mereka yang bertaut akan berhasil membuat satu kerutan tegas. Sementara bapak-bapaknya mungkin ngaceng nggak jelas sementara mulut mereka bergunjing tentang pasangan geblek yang duduk rapat cekikikan dengan gestur hampir berciuman. Namun yang paling menyenangkan adalah demi melihat wajah pengantin pria yang malam itu resmi menjadi suami seseorang. Raut yang tadinya tegang dan hampir tanpa ekspresi sontak takjub karena saya cengar-cengir sambil dadah-dadah ketika matanya bertumbukan dengan mata saya. Ternyata saya berhasil membuat syarafnya kendur karena dia bisa senyum di depan kamera. Yay!
Jujur saja, perjalanan kali ini memiliki banyak sekali agenda. Bertemu sahabat yang serasa puluhan tahun tidak bersua. Menyapa pusara paman saya. Melagukan liris, nyeri, dan (ehm!) cinta pada ruas jalan Semarang-Jogja bertahun-tahun ke belakang. Mencerca kemajuan Kota Pelajar yang sekarang sudah banyak taksi berseliweran. Menyambangi warung kopi (yang celakanya sudah nggak asik lagi). Dan bertemu perempuan kritis pembaca setia omelan saya. Namun inti utamanya adalah membuat kejutan bagi si mempelai pria yang apatis saya tidak bisa datang. Padahal saya sudah warning, jangan buat saya merasa tertantang atau dia akan malu. Jadilah. Entah sampai keturunan keberapa dia akan digunjingkan orang sekampung karena 'tamu tak diundang' yang nggak umum ini. Hihihi.
Dan, bicara tentang tujuan perjalanan, muka kagetmu nggak akan terlupakan. Haha!
Selamat berjibaku membangun keluarga sakinah-mawadah-warahmah-umbah-umbah-dan-asah-asah ya, Juz! Have a nice fuckin' life!
ps: Ka, kamu baru tau kalo aku keren? KEMANA AJA?!
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?