La Vita è Bella

Berteman satu karton susu full cream dingin seliteran (yang saya tenggak langsung tanpa gelas) dan suara seksi Jonathan Davis menyumpal telinga sambil menunggu telepon dari Jin Laknat, saya mensyukuri hidup yang menurut saya amat sangat indah tak tergantikan. Tidak, saya tidak membandingkan dua puluh tahun sekian hidup saya dengan penjual angkringan yang tadi saya sambangi dan bercerita tentang pekerjaan barunya sebagai pesuruh kantor. Atau dengan tukang parkir asli Malang berwajah mirip Sujiwo Tejo yang saya pancing ngobrol dan berakhir dengan pembicaraan mengenai syariat-tarikat-hakikat-makrifat dan bagaimana akhirat sebagai hidup setelah mati (dan saya babak bundas mengikutinya). Atau dengan senyum di muka lelah mbak-mbak pelayan resto fastfood tempat saya mengganjal perut dengan nugget dan rootbeer di detik-detik menjelang tutup (dan saya santai merokok 3 batang sambil membaca). Atau dengan bapak supir taksi pendiam yang saya tumpangi dari pelataran Melawai hingga Radio Dalam dan menunggu saya dengan sabar bersandar pada tangan di balik kuduk ketika saya memintanya berhenti di pelataran parkir warung 24 jam. Sama sekali tidak. Meski UMR saya sedikiiiiiiiiit di atas rata-rata. Meski tiap tengah bulan harus kukur-kukur ndas karena tidak bisa membeli rokok. Meski harus menghela nafas karena tidak bisa mengganti V3 hitam butut yang selalu hang. Meski harus puas dengan mesin tik kelurahan berklitoris merah. Meski harus cengar-cengir tanpa daya ketika Ibu memarahi saya yang tidak pernah punya tabungan. Meski sering ditodong orang serumah untuk ngempanin ponsel mereka. Meski harus menelan ludah mengidamkan hard disk eksternal sebagai penyimpan file musik pembangkit mayat dan koleksi manga dan hentai bondage dan monster. Meski sering dimarahi Bu Mandor karena hobi bercelana buntung ke pabrik. Meski sering merasa sepi di tengah keramaian. Saya bersyukur tak habis-habis.

Dimensi kesusahan 'orang-orang kurang beruntung' yang saya sebut di atas-sebagaimana disebut masyarakat mid-high class sok tau-adalah jauh berbeda dengan kesulitan hidup saya. Paralel, gak sama. Just... different. Namun yang bisa saya rasakan, cewek mapan-modis-halus-terawat yang kemana-mana nyetir mobil sendiri, saat menemukan satu jerawat di hidung atau SMS ke pacarnya tidak berbalas, memiliki stress dengan level dan kadar yang sama dengan istri pekerja bangunan beranak lima dan tinggal di bantaran sungai Ciliwung ketika upah dari suami tinggal dua puluh ribu sementara gajian masih tiga hari lagi dan beras telah tandas. Tingginya tingkat sosial seseorang akan berbanding lurus dengan kebutuhan-kebutuhannya. Dus, makin tinggi pendapatan, makin banyak kebutuhan dan prioritas utama yang harus dipenuhi. Makin tinggi status sosial seseorang maka akan semakin banyak tuntutan sok-sial tersebut terhadapnya, dan mau nggak mau harus dia penuhi jika masih ingin hidup lebih lama dalam lingkungan tersebut. Masing-masing orang punya kesusahan dan kesulitannya sendiri-sendiri, hanya secara teknis dan bagaimana menghadapinya saja yang berbeda, tergantung tingkat kedewasaan dan bagaimana cara berpikir. Lagipula, kesulitan itu sebenarnya mahluk apa sih? Keterbatasan? Ketiadaan fasilitas? Rendah diri? Use your brain, loosers!

Saya nggak percaya pada masalah yang tidak terpecahkan, pada keterbatasan, pada ketidakberdayaan. Seperti slogan salah satu produk olahraga, impossible is nothing, meski diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai apapun itu yang ingin diraih. Saya nggak pernah baca yang namanya buku-buku bullshit tentang pengembangan diri. Saya hanya punya ibu yang who had been through hell and back dan menceritakan pengalaman-pengalamannya pada saya. Beberapa disertai tangis namun sering dengan mata membara menyimpan api. Nggak ada yang nggak bisa. Adanya cuma nggak mau, tegasnya. Karena itu saya percaya untuk push to the limit, to go beyond the boundary. Still, wejangan itu selalu diakhiri secara implisit dengan 'know how to start and when to stop' sebagaimana konsep nrimo ing pandum. Fair enough. (Ibukku jik Jowo, Cuk! )

Dan Sabtu sore hingga dini hari kemarin beranda kamar kos saya dipenuhi empat orang mbak-mbak Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut--atau begitulah cita-cita mereka. Sumpah, saya nggak!). Mereka berbagi kisah dan resah tentang cowok, pekerjaan, masa depan, kehidupan yang akan mereka alami setelah masa lajang terlepas, dan siapa diantara selebriti ganteng pujaan perempuan penyuka sinetron yang suka semburit sesama jenis. Saya sengaja melupakan tumpukan cucian dua minggu yang siang tadi sudah saya rendam deterjen, abai pada dunia kotak yang sudah lama tidak tersentuh sapu apalagi kain pel, amnesia pada kondisi kasur dengan seprai burai dan selimut tercampak, dan cuek pada buku terbuka di atas bantal dengan asbak dan serpihan abu rokok layaknya keping salju pertama, dan kukuh bertahan pada aroma babi sekandang karena Jumat pagi kemarin saya terakhir mandi (itu mah default!). Di waktu yang sama ponsel butut saya layarnya menyala hampir tanpa henti saat pesan-pesan pendek masuk dari jiwa kesepian di salah satu sudut negeri meminta waktu dan telinga saya sekaligus. Dan semua-di depan, di samping, dan di layar telepon-menyedot perhatian saya secara simultan.

Sungguh, saya bersyukur untuk makan siang yang setiap hari terpampang di tempat saya memburuh karena teman-teman perempuan saya berlambung kecil namun bernafsu besar. Saya bersyukur untuk jam memburuh nggak jelas yang membuat saya bisa nyomot Bleach dan beberapa gambar provokatif Tante Bellucci atau Dek Dizon (dan ngarep bisa berbodi kayak mereka. Huahahaha!). Saya bersyukur dengan sekolah saya yang Dancing Out tapi membuat saya bisa membaca dalam bahasa lain. Saya bersyukur untuk pekerjaan sampingan tak terduga dan bisa bayar utang. Saya bersyukur punya teman-teman yang rajin menghubungi saya, memanfaatkan promo gratisan provider GSM lepas tengah malam. Saya bersyukur untuk teman-teman yang mempercayakan masalah-masalah mereka pada saya sebagai kuping 24 jam walau solusi yang saya beri kacau balau (dan ahirnya harus bayar tagihan telepon lebih dari biasa).

I couldn't ask for more. Thank you, all. You make me feel alive and kicking (=

ps: so, Papa Vajra, sudah bersyukur hari ini? Fuck Gurdjieff jika kamu hanya masturbasi dengan pikiran-pikiranmu. Anyway, ganbatte for your Battle for Insanity! I made this entry to kick your balls. Haha!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women