Vote, Anyone?
Keluarga saya nggak ada yang fanatik pada ajaran agama maupun partai tertentu. Tapi kami memilih. Saya pun akhirnya harus rela menodai kelingking dengan tinta murahan warna biru gelap beberapa bulan kemarin, lebih karena sabda kedua orangtua yang mengingatkan saya agar menjadi warganegara yang baik.
Ya. I voted.
Namun benarkah saya menggunakan hak suara sebagaimana lazimnya orang memilih? Tidak.
Pada empat lembar kertas selebar koran, saya tuliskan besar-besar dengan spidol ‘MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH’ (dan misteri pemilih kurang ajar itu terungkap beberapa minggu kemudian ketika saya pulang dan mengaku. Ibu dan Babab hanya nyengir tengil. Untungnya). Setelah itu saya roadtrip, liburan singkat. Terlempar di terminal Lebak Bulus sore hari untuk larut dalam obrolan bersama tukang ojek di penghujung malam menunggu jemputan pada pinggiran Semarang.
Jujur saja, saya muak dengan nama-nama yang tercantum di lembaran kertas pemilih. Itu adalah nama yang menghiasi jalan protokol dan gang tikus di kampung-kampung dengan wajah sumringah artifisial a la sampul majalah ABG. Nama jumawa yang rela merogoh ratusan juta dari kocek orang lain hanya demi kursi kekuasaan yang belum tentu dia dapat. Nama yang sosoknya terlihat bodoh ketika bicara namun mesum saat bernyanyi. Nama yang pongah digotong orang-orang menyesaki Metromini dan angkutan umum dengan supir menggerutu karena setoran tak terkejar, memacetkan bulevar, menghambat lalu-lintas dan melambatkan ritme segala elemen kerja dan hidup.
Saya sayangkan tinta, kertas, lembaran sablonan plastik, dan cagak-cagak bambu yang harus terbuang ketika gaung perayaan demokrasi mereda.
Namun pesta belum usai.
Dan saya mulai serius menengarai para Goliath yang berdebat. Saya tidak harus melihat mereka. Perut saya tidak cukup kuat untuk itu. Saya pun tidak harus melawan mereka karena saya bukan David. Mendengarnya dari televisi tetangga kamar atau menyimak reaksi teman-teman pada entri mailing list sudah membuat saya kebanjiran informasi. Dan saya tidak akan melupakan informasi-informasi itu.
Satu-satunya perempuan yang pernah memimpin negara ini melukai saya. Bukan saya seksis, namun bernaung pada bayang proklamator besar tidak menjadikan beliau mampu menggenjot prestasi dan kepemimpinan. Tante itu, menurut saya, malah menjadikan semua orang yang melihatnya seperti harus menurutinya. Blah!
Kandidat lain yang namanya masih resmi sebagai pucuk tertinggi dengan plat mobil RI1 pun sama. Saya tidak rela mengakuinya sebagai pemimpin berikutnya jika korban di Porong masih harus bersedih menderita kehilangan tak terganti, jika kasus-kasus yang ‘terpaksa’ dilupakan tak lagi digali, jika barometer leadership tak lebih dari sekedar ganteng dan ‘terlihat’ punya wibawa. Diperparah dengan mutungan, dan meminta rakyat untuk maklum karena pekerjaan sebagai pemimpin bukanlah hal mudah. Hei! Apa yang Bapak tentukan dalam hidup membuat Bapak harus berdiri di podium sebagai pemimpin negara! Jangan merajuk seperti bayi!
Satu Goliath lain adalah pengusaha. Dia, yang unggul dalam debat-debat sebelumnya dan gemilang pada adu mulut terakhir tak lebih dari seorang makelar, menggampangkan segala urusan dengan sorotan kamera sekali pun dan menganggap rakyat adalah liability. Huh?!
Dan kita lelap dalam buai abab mereka.
Hingga obrolan suatu sore bersama Emak Mandor di pabrik tempat saya memburuh menggugah tidur lasak saya: KPK hendak dihapuskan. Padahal personel-personelnya terlatih khusus, bukan sekedar mereka yang uplek menangani kriminal perdata dan pidana. Padahal, meskipun terseok, tanpa KPK tidak akan nama Indonesia terangkat, melesat meninggalkan negara-negara Afrika yang pemimpinnya rakus nggak ketulungan dan kerjanya perang melulu. Namun adakah salah satu calon presiden dengan nama-nama agung itu berpikir untuk melestarikan KPK? Akankah tikus menyetujui kucing yang ingin tinggal diantara mereka?
Saya subjektif. Akan sangat sulit meminta saya memilih diantara ketiganya, bahkan ketika pelipis saya tertempel Glock. Untuk masalah ini saya jauh dari oportunis. Saya tidak akan menunjuk bangkai yang tidak terlalu busuk diantara tumpukan bangkai-bangkai dengan lalat berkerumun. Akan lebih baik jika saya makan gado-gado. Tapi lagi-lagi itu pilihan saya. Saya tidak meminta siapapun untuk turut bersama saya.
Masalah saya adalah saya tidak kenal mereka secara personal, dan saya juga tidak merasa perlu. Apalagi mereka. Siapa sih saya? Saya pun mengakui bahwa saya cenderung anti pada aturan. Apapun yang diwajibkan, saya lakukan kebalikannya. Tapi saya sadar sesadar-sadarnya bahwa kelompok besar yang terdiri dari ratusan juta manusia perlu hukum dan pemimpin yang mengatur. Di sisi lain saya juga sadar bahwa order bisa tercapai jika ada chaos, dan semua adalah lingkaran setan tak sudah dan tak lekas.
Namun saya kenal sepasang suami-istri yang bekerjasama sebagai ketua RW di rumah orangtua saya. Mereka anggota partai berlambang beringin yang sempat melesakkan kita selama 32 tahun pada ninabobo swasembada pangan dan program inpres dan ikan mas besar-besar pada Laporan Khusus usai berita pukul sembilan malam. Tapi kerja nyata mereka membuat RW tempat saya tinggal menjadi tempat percontohan se-Jawa Barat karena semua program yang mereka tangani selalu berhasil. Meskipun ibu-ibu dan bapak-bapak ‘bawahan’ mereka selalu ngambek dimintai nota dan bon setiap ada LPJ. Meskipun uang kas sempat diraibkan bendaharanya untuk mempercantik rumah. Meskipun dana koperasi didepositokan oleh yang bertanggungjawab dan peminjam harus bersabar menunggu jatuh tempo walau suaminya wajib segera operasi jantung.
Saya kenal orang-orang muda yang gerilya mengadakan program pendidikan, menyekolahkan anak-anak tidak mampu dan mendampingi mereka belajar di tengah kesibukan mereka yang padat luar biasa. Saya kenal manusia tak kenal lelah yang menyebrangi dua benua hanya untuk menyebarkan informasi agar rekan sebangsanya tidak amnesia terhadap kelakuan pemimpinnya. Saya kenal sekelompok mahasiswa yang babak bundas tak punya-punya pacar karena lebih mementingkan pelatihan ketrampilan bagi anak-anak jalanan yang tiap hari kerjanya hanya ngamen dan nongkrong. Meskipun skripsinya tak juga selesai. Saya kenal David lain yang berjuang di Aceh melawan Goliath-Goliath lokal karena mimpi sovereignty yang hampir sama dengan Joan d’Arc. Untuk mereka, saya punya suara.
Jika suatu hari nanti semesta mengizinkan, saya hanya akan memilih Bang Aip atau Buya Alex sebagai presiden. Hanya pada mereka saya pasrah jadi pengikut.
Maaf. Otak saya sedang gatal.
Ya. I voted.
Namun benarkah saya menggunakan hak suara sebagaimana lazimnya orang memilih? Tidak.
Pada empat lembar kertas selebar koran, saya tuliskan besar-besar dengan spidol ‘MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH’ (dan misteri pemilih kurang ajar itu terungkap beberapa minggu kemudian ketika saya pulang dan mengaku. Ibu dan Babab hanya nyengir tengil. Untungnya). Setelah itu saya roadtrip, liburan singkat. Terlempar di terminal Lebak Bulus sore hari untuk larut dalam obrolan bersama tukang ojek di penghujung malam menunggu jemputan pada pinggiran Semarang.
Jujur saja, saya muak dengan nama-nama yang tercantum di lembaran kertas pemilih. Itu adalah nama yang menghiasi jalan protokol dan gang tikus di kampung-kampung dengan wajah sumringah artifisial a la sampul majalah ABG. Nama jumawa yang rela merogoh ratusan juta dari kocek orang lain hanya demi kursi kekuasaan yang belum tentu dia dapat. Nama yang sosoknya terlihat bodoh ketika bicara namun mesum saat bernyanyi. Nama yang pongah digotong orang-orang menyesaki Metromini dan angkutan umum dengan supir menggerutu karena setoran tak terkejar, memacetkan bulevar, menghambat lalu-lintas dan melambatkan ritme segala elemen kerja dan hidup.
Saya sayangkan tinta, kertas, lembaran sablonan plastik, dan cagak-cagak bambu yang harus terbuang ketika gaung perayaan demokrasi mereda.
Namun pesta belum usai.
Dan saya mulai serius menengarai para Goliath yang berdebat. Saya tidak harus melihat mereka. Perut saya tidak cukup kuat untuk itu. Saya pun tidak harus melawan mereka karena saya bukan David. Mendengarnya dari televisi tetangga kamar atau menyimak reaksi teman-teman pada entri mailing list sudah membuat saya kebanjiran informasi. Dan saya tidak akan melupakan informasi-informasi itu.
Satu-satunya perempuan yang pernah memimpin negara ini melukai saya. Bukan saya seksis, namun bernaung pada bayang proklamator besar tidak menjadikan beliau mampu menggenjot prestasi dan kepemimpinan. Tante itu, menurut saya, malah menjadikan semua orang yang melihatnya seperti harus menurutinya. Blah!
Kandidat lain yang namanya masih resmi sebagai pucuk tertinggi dengan plat mobil RI1 pun sama. Saya tidak rela mengakuinya sebagai pemimpin berikutnya jika korban di Porong masih harus bersedih menderita kehilangan tak terganti, jika kasus-kasus yang ‘terpaksa’ dilupakan tak lagi digali, jika barometer leadership tak lebih dari sekedar ganteng dan ‘terlihat’ punya wibawa. Diperparah dengan mutungan, dan meminta rakyat untuk maklum karena pekerjaan sebagai pemimpin bukanlah hal mudah. Hei! Apa yang Bapak tentukan dalam hidup membuat Bapak harus berdiri di podium sebagai pemimpin negara! Jangan merajuk seperti bayi!
Satu Goliath lain adalah pengusaha. Dia, yang unggul dalam debat-debat sebelumnya dan gemilang pada adu mulut terakhir tak lebih dari seorang makelar, menggampangkan segala urusan dengan sorotan kamera sekali pun dan menganggap rakyat adalah liability. Huh?!
Dan kita lelap dalam buai abab mereka.
Hingga obrolan suatu sore bersama Emak Mandor di pabrik tempat saya memburuh menggugah tidur lasak saya: KPK hendak dihapuskan. Padahal personel-personelnya terlatih khusus, bukan sekedar mereka yang uplek menangani kriminal perdata dan pidana. Padahal, meskipun terseok, tanpa KPK tidak akan nama Indonesia terangkat, melesat meninggalkan negara-negara Afrika yang pemimpinnya rakus nggak ketulungan dan kerjanya perang melulu. Namun adakah salah satu calon presiden dengan nama-nama agung itu berpikir untuk melestarikan KPK? Akankah tikus menyetujui kucing yang ingin tinggal diantara mereka?
Saya subjektif. Akan sangat sulit meminta saya memilih diantara ketiganya, bahkan ketika pelipis saya tertempel Glock. Untuk masalah ini saya jauh dari oportunis. Saya tidak akan menunjuk bangkai yang tidak terlalu busuk diantara tumpukan bangkai-bangkai dengan lalat berkerumun. Akan lebih baik jika saya makan gado-gado. Tapi lagi-lagi itu pilihan saya. Saya tidak meminta siapapun untuk turut bersama saya.
Masalah saya adalah saya tidak kenal mereka secara personal, dan saya juga tidak merasa perlu. Apalagi mereka. Siapa sih saya? Saya pun mengakui bahwa saya cenderung anti pada aturan. Apapun yang diwajibkan, saya lakukan kebalikannya. Tapi saya sadar sesadar-sadarnya bahwa kelompok besar yang terdiri dari ratusan juta manusia perlu hukum dan pemimpin yang mengatur. Di sisi lain saya juga sadar bahwa order bisa tercapai jika ada chaos, dan semua adalah lingkaran setan tak sudah dan tak lekas.
Namun saya kenal sepasang suami-istri yang bekerjasama sebagai ketua RW di rumah orangtua saya. Mereka anggota partai berlambang beringin yang sempat melesakkan kita selama 32 tahun pada ninabobo swasembada pangan dan program inpres dan ikan mas besar-besar pada Laporan Khusus usai berita pukul sembilan malam. Tapi kerja nyata mereka membuat RW tempat saya tinggal menjadi tempat percontohan se-Jawa Barat karena semua program yang mereka tangani selalu berhasil. Meskipun ibu-ibu dan bapak-bapak ‘bawahan’ mereka selalu ngambek dimintai nota dan bon setiap ada LPJ. Meskipun uang kas sempat diraibkan bendaharanya untuk mempercantik rumah. Meskipun dana koperasi didepositokan oleh yang bertanggungjawab dan peminjam harus bersabar menunggu jatuh tempo walau suaminya wajib segera operasi jantung.
Saya kenal orang-orang muda yang gerilya mengadakan program pendidikan, menyekolahkan anak-anak tidak mampu dan mendampingi mereka belajar di tengah kesibukan mereka yang padat luar biasa. Saya kenal manusia tak kenal lelah yang menyebrangi dua benua hanya untuk menyebarkan informasi agar rekan sebangsanya tidak amnesia terhadap kelakuan pemimpinnya. Saya kenal sekelompok mahasiswa yang babak bundas tak punya-punya pacar karena lebih mementingkan pelatihan ketrampilan bagi anak-anak jalanan yang tiap hari kerjanya hanya ngamen dan nongkrong. Meskipun skripsinya tak juga selesai. Saya kenal David lain yang berjuang di Aceh melawan Goliath-Goliath lokal karena mimpi sovereignty yang hampir sama dengan Joan d’Arc. Untuk mereka, saya punya suara.
Jika suatu hari nanti semesta mengizinkan, saya hanya akan memilih Bang Aip atau Buya Alex sebagai presiden. Hanya pada mereka saya pasrah jadi pengikut.
Maaf. Otak saya sedang gatal.
akan memilih
ReplyDeletewill vote also..
ReplyDeleteVote....too
ReplyDeletebibi ku telpon pagi2 sekali cuma mau bilang: "nyontreng lho ya. jangan sampe nggak nyontreng."
ReplyDeletewaktu aku bilang "nggak punya kartu pemilih, bi..."
bliau langsung nyamber "bisa kok bisa. tunjukin ktp kamu aja... awas lho kalo nggak nyontreng!"
astagah...
gyahahahha~ walaupun itu bangkai terpaksa harus milih bangkai yg paling bagus pit :P
ReplyDeleteapa mau dikata, negri ini memang baru sanggup menyediakan bangkai :P
Saya kaget dapat track dari blog Mbak Pito lagi. Aduh terharu pesannya disampaikan dengan baik sekali. Terimakasih atas dukungannya, Mbak Pito.
ReplyDelete(*walaupun jujur saja saya sering kecapekan, haha*)
Ini sebuah tulisan yang saya dedikasikan buat Mbak Pito dan dukungannya.
(*satu lagi, saya pasti dikeplakin orang se- Cilincing kalau jadi presiden. Sebab akan menambah malu nama warga Cilincing. Hihi. jadi saya sampai saat ini belum berniat jadi presiden. Hehe. Takut dikeplakin*)
kepala gatal tulisan lo begini
ReplyDeletekalo kepala lu waras
jadi apa nek :)
@Mijon
ReplyDeletesilakan... (=
@Mbak Stey
monggo...
@Tante Ullie
injih...
@Nyong
huahahahaha! ambil positipnya aja: bibikmu mengharap esok yg lebih cerah buat negeri ini dan itu hanya bisa terjadi jika semua orang di lingkarannya bekerjasama untuk memilih. keknya sih gitu.
@Maz Didut
well, tidak memilih juga sebuah pilihan, bukan? use your right. vote not to vote! huahahaha!
@Bangaip ganteng
wah, saya yg terkaget2 ampe kebelet pipis gara2 orang sekeyen bangaip mo dateng komeng disini. apalagi ampe terharu gitu. ah, saya yg terharuuuu *menjura* hihi.
eniwei, saya bakal selalu kasih pesen subliminal ke bangaip biar niat nyalon jadi presiden. bosen euy golput mulu. yah yah.
link nya ntar saya sebarluaskan. nunggu waktu enak dulu buat nulis. and this is a promise dat i won't break. note this.
@Eda Eka
kalo kepala gwa waras mah ga bakal jadi apa2. cuman jadi tai doank. haha!
DAMN! INI KOMENG TERBANYAK SEUMUR IDUP GWA PUNYA BLOG! HUAHAHAHAHA!
Haihahaha, gw pilih bangaip juga kalo pesan subliminal elo berhasil Pit.
ReplyDeleteEniwei,
Pilihan yang susa memang, gw sih milih liburan di tengah minggu dengan jari yang bersih