About Ar Rahman

Ini malam melankoli bersama Apocalyptica menghajar telinga menggiring sunyi keluar jendela. Saya sendirian meski tidak kesepian. Karena saya masih punya cinta.

Tadinya saya tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Saat dua pasang mata bertatapan dan masing-masing hati mengirim getar yang tertangkap dalam satu frekuensi menyelaras; ketika dunia sontak senyap meskipun kamu sedang berada di pinggir jalan raya paling padat dan paling macet se-Jakarta; ketika semua bayangan dan warna mengabur karena hanya ada dia sebagai fokus alam semesta. Tai kucing! Bullshit itu!

Namun saya merasakannya. Kemarin, pada teduh Minggu sore. Tiga kali, bahkan. Damn.

Saya begitu heroik menyebrangi empat jalan protokol dan merunduk di bawah kolong dua jalan layang demi mendapati sepasang mata putih susu. Dan, sebagaimana terjadinya kecelakaan, apes, dan cinta, semua datang tanpa sempat ditebak. Strike one.

Memasuki pagar sebuah rumah sederhana, saya dapati sepasang mata garang menyelidik, mengira-ngira, menimbang-nimbang, namun beberapa detik kemudian membuat saya jatuh sayang. Strike two. Ugh!

Beberapa saat kemudian, ketika saya sedang menata deburan hati antara takut dan antusias, waktu pantat baru saja menempel di lantai beranda dan napas saya atur sebaris demi sebaris, saya kembali dikejutkan oleh sepasang mata lain yang langsung menatap dalam. Sungguh-sungguh menatap dalam tak lepas-lepas. Strike three. Argh!

Ini aneh. Sangat aneh. Karena saya tidak peduli apakah cinta ini berbalas atau tidak. Yang saya rasakan berjam-jam bersama mereka adalah perkenalan menyenangkan. Melibatkan tawa, kata-kata lembut, elusan di punggung dan leher, serta pelukan malu-malu.

Semua ini baru bagi saya namun tidak buat mereka. Masing-masing dari mereka punya cinta mutlak pada satu hati, satu sosok, dan satu suara yang perkataannya adalah sabda dan sentuhannya mendamaikan. Saya tau betul bahwa saya hanya bisa melihat dari luar dan menikmati sensasi aneh dan hampir terlupakan: ketulusan dan kepercayaan. Namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Mereka adalah Ice the Blind Siberian Hushkey, Wawa the Naughty Noir, dan Sasa the Queen karena dia satu-satunya perempuan. Sambil ngobrol dengan sang ayah hingga empat jam lebih, mereka meleburkan semua rasa ketidakmampuan saya menghadapi adik-adik saya di sanggar. Membelai mereka menentramkan amarah saya. Membuat mereka menandak dan bergulingan riang mendamaikan keputusasaan saya.

Saya sempat canggung ketika harus menyaksikan luapan kasih sayang yang sebegitu besar antara dua spesies berbeda, melibatkan saliva yang terasa dingin di kulit namun, entah bagaimana caranya, membuat hati saya hangat. Saya hilang kata-kata. Betapa binatang lebih bisa menunjukkan kasih ketimbang manusia yang katanya mahluk paling mulia.

Saya pulang dengan bibir berbentuk default melengkung ke atas, merasa bodoh namun bahagia. Saya teringat adik saya. Mungkin dia juga akan merasakan hal yang sama karena ia selalu menyapa ramah anjing-anjing pelacak bertampang sangar dengan “Hi, cutie!” atau “Halo, cakep!” meskipun disahut dengan gonggongan galak. Mungkin mereka tidak terima dianggap imut.

Dua hari berselang dan saya rindu memeluk mereka. Rindu melihat kekonyolan mereka memamah kerupuk, rindu melihat Sasa memutar ekornya tigaratus enampuluh derajat, rindu dicurigai Wawa lagi ketika saya keluar dari pintu depan, rindu membelai Ice yang merebah malas di samping saya. Rindu. Titik.

Fuck. I think I’m addicted. Damn you, Maz Oon!

Comments

  1. Woh, Siberian Husky? I love those kind of dogs, they're divine!

    skrinsyut dong Pit >_<

    ReplyDelete
  2. aku harus belajar tidak takut pada anjing...
    tapi mbayangne thok ae wis merinding e mbak...

    ReplyDelete
  3. @Eru
    ntar ya. kemaren sempet poto2 kok. nunggu papa mereka sehat dulu baru bisa onlen dari kafe. soalnya kemaren modemnya dijatohin mbak caca terus dikunyah wawa. haha!

    @SiNyong
    smua kan perlu belajar, nyong (=

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women