3.54, Merindu Subuh
Han,
Aku mau sambat. Aku sedang kecewa. Aku memaki perubahan di sekelilingku yang tidak membawa kebaikan. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa, bahkan hanya untuk protes.
Ternyata kebijaksanaan itu sama seperti apa yang disebut hidayah: harus dijaga. Aku down banget melihat orang yang kupikir bisa digugu dan ditiru, sekonyol apapun tingkahnya, sekarang jadi penindas. Dia buta warna, nggak bisa bedain mana merah mana hitam. Yang dia dengar hanya bisikan dan aduan, bukan objektivitas. Kecerewetannya yang dulu kerap bikin aku belajar, sekarang nggak lebih dari kenyinyiran ibu-ibu arisan membincang siapa punya apa berapa dimana dan kapan. Keangkuhannya yang dulu kurasa bikin dia berwibawa sekarang nggak lebih dari kesombongan nggak ada isi dan nggak ada arti. Keropos. Posisinya yang diatas membuat dia selalu mendongak, sulit menunduk dan melihat siapa yang dia injak. Kedermawanannya sekarang mirip dengan ajang pameran. Penilaiannya tertutup kabut pakaian bermerek, bukan performa. Orang yang berkorban paling banyak, dia hina paling sering. Sikap positifnya jadi apatis, alih-alih mendorong malah bikin makin terpuruk.
Dan aku nggak bisa sekonyong-konyong berlaku anarki, meski sangat ingin. Masih banyak jiwa yang mesti tertanggung. Tapi aku juga nggak bisa begini terus. Sungguh, ini seperti berusaha membangun Borobudur di atas spons. Dan aku nggak bisa merubahnya.
Han,
Kamu sering kasih aku pelajaran dari hal kecil sekalipun. Meski aku amat sangat jauh sekali banget dari bijaksana, yet, I did my time. Aku sudah pernah tertohok, tertampar, tertusuk, terbelah, bahkan dipaksa tiarap dengan muka menghantam tanah keras-keras, serta macam-macam penyiksaanMu yang sangat sadis (dan aku membayang Kamu tersenyum melakukannya) karena Kamu Maha Mengerti bagaimana mencocok hidungku agar menuruti mauMu. Meski aku berontak bagai banteng ketaton, Kamu selalu sanggup jadi pawangku.
Kali ini aku minta, benar-benar nyenyuwun. Jika Kamu memang ada dan dipercaya oleh dia, tolong... Beri dia (dan saya dan kami semua di taman bermain kami ini) pembelajaran yang sama seperti yang Kamu pernah lakukan padaku. Ini bukan dendam, Han. Aku cuma sayang Emakku, perempuan luar biasa yang sudah mengalami mati dan bangkit dari sana, hampir seperti Yesus setelah berdarah-darah di Golgota. Aku nggak mau dia terluka. Tapi aku mengerti betul bahwa kadang luka berujung makna pada akhirnya. Meskipun sakit, meskipun pedih. Mungkin dia hanya khilaf sesaat. Ingatkan dia, Han. Ingatkan dia.
[Bapa kami yang ada di surga; dimuliakanlah namaMu; datanglah kerajaanMu; jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga; berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami; tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin. Doa yang indah.]
Jadilah kehendakMu, Han. Dengan kaf dan nun yang terucap dari dzat yang maha tak tergambarkan...
Aku mau sambat. Aku sedang kecewa. Aku memaki perubahan di sekelilingku yang tidak membawa kebaikan. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa, bahkan hanya untuk protes.
Ternyata kebijaksanaan itu sama seperti apa yang disebut hidayah: harus dijaga. Aku down banget melihat orang yang kupikir bisa digugu dan ditiru, sekonyol apapun tingkahnya, sekarang jadi penindas. Dia buta warna, nggak bisa bedain mana merah mana hitam. Yang dia dengar hanya bisikan dan aduan, bukan objektivitas. Kecerewetannya yang dulu kerap bikin aku belajar, sekarang nggak lebih dari kenyinyiran ibu-ibu arisan membincang siapa punya apa berapa dimana dan kapan. Keangkuhannya yang dulu kurasa bikin dia berwibawa sekarang nggak lebih dari kesombongan nggak ada isi dan nggak ada arti. Keropos. Posisinya yang diatas membuat dia selalu mendongak, sulit menunduk dan melihat siapa yang dia injak. Kedermawanannya sekarang mirip dengan ajang pameran. Penilaiannya tertutup kabut pakaian bermerek, bukan performa. Orang yang berkorban paling banyak, dia hina paling sering. Sikap positifnya jadi apatis, alih-alih mendorong malah bikin makin terpuruk.
Dan aku nggak bisa sekonyong-konyong berlaku anarki, meski sangat ingin. Masih banyak jiwa yang mesti tertanggung. Tapi aku juga nggak bisa begini terus. Sungguh, ini seperti berusaha membangun Borobudur di atas spons. Dan aku nggak bisa merubahnya.
Han,
Kamu sering kasih aku pelajaran dari hal kecil sekalipun. Meski aku amat sangat jauh sekali banget dari bijaksana, yet, I did my time. Aku sudah pernah tertohok, tertampar, tertusuk, terbelah, bahkan dipaksa tiarap dengan muka menghantam tanah keras-keras, serta macam-macam penyiksaanMu yang sangat sadis (dan aku membayang Kamu tersenyum melakukannya) karena Kamu Maha Mengerti bagaimana mencocok hidungku agar menuruti mauMu. Meski aku berontak bagai banteng ketaton, Kamu selalu sanggup jadi pawangku.
Kali ini aku minta, benar-benar nyenyuwun. Jika Kamu memang ada dan dipercaya oleh dia, tolong... Beri dia (dan saya dan kami semua di taman bermain kami ini) pembelajaran yang sama seperti yang Kamu pernah lakukan padaku. Ini bukan dendam, Han. Aku cuma sayang Emakku, perempuan luar biasa yang sudah mengalami mati dan bangkit dari sana, hampir seperti Yesus setelah berdarah-darah di Golgota. Aku nggak mau dia terluka. Tapi aku mengerti betul bahwa kadang luka berujung makna pada akhirnya. Meskipun sakit, meskipun pedih. Mungkin dia hanya khilaf sesaat. Ingatkan dia, Han. Ingatkan dia.
[Bapa kami yang ada di surga; dimuliakanlah namaMu; datanglah kerajaanMu; jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga; berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami; tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin. Doa yang indah.]
Jadilah kehendakMu, Han. Dengan kaf dan nun yang terucap dari dzat yang maha tak tergambarkan...
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?