Me: Trying to Swallow More Than I Can Chew

Di suatu masa, hidup Noam Chomsky. Saat dia kanak-kanak, bangsanya tinggal berpencaran ke hampir seluruh dunia, kemudian dibenci dan dibunuhi. Seorang pemikir besar membukukan gagasan membentuk negara baru di 'tanah yang dijanjikan', dan keluarga Chomsky kecil menjadi pendukungnya.

Rupanya dia mendengar nurani. Karena itulah dia berbalik menentang apa yang selama ini dia bela. Kemudian pikiran ilmiahnya menemukan cara bagaimana bahasa dapat menjadi bahan penelitian dengan meletakkan nilai-nilai kuantitatif layaknya matematik pada kata, pada makna, pada akar bahasa (yang bikin gwa ngulang mata kuliah yang sama tiga kali. Ya! TI GA KA LI! Berbuah D, rata. Bedebah memang, bahasa jadi matematika itu).

Lalu ketertarikannya pada media dan teori-teori pengguncang yang dia kemukakan membuatnya jadi salah satu dari sepuluh intelektual yang paling sering dikutip, tepat di bawah Plato dan Freud. Begitu hebat, begitu berpengaruh, begitu cerdas (dan salah satu bukunya jadi diktat wajib di kelas gwa), tapi begitu membumi dan hampir tidak dikenal.

Mengapa?

Karena tesisnya tentang bagaimana media memanipulasi/mendistorsi/menahan informasi agar sesuai dengan keinginan pemiliknya meresahkan korporasi besar yang menyetir negara, dunia, partai-partai politik, dan Media Utama. Dan teori-teori njelimet dari Eyang Noam ini bisa dicerna secara nikmat lewat novel berjudul 1984 karya George Orwell, dimana terjadi eufimisme ketika 'Ministry of Love' berkutat dengan perihal perang alih-alih mengurusi pasangan dilanda asmara (halah! bosone!) yang tujuannya bikin rakyat nggak ngerti maksud pemerintah sebenarnya. Atau pengurangan kata kerja dan kata sifat agar rakyat nggak bisa ekspresif mengungkapkan pendapat. Mengerikan, merasakan sesuatu yang bikin dada sesak dan urjen untuk dikeluarkan (seperti kebelet e'ek) tapi nggak tau ngomongnya apa dan gimana (dan nggak nemuin kakus satu pun).

Dengan berlagak keren mengulas Chomsky dan Orwell, sebenernya gwa cuma mau bilang: Nggak semua yang lo liat dan lo denger itu bener. Televisi, koran, majalah, newsletter, apapun lah... bisa jadi alat propaganda untuk tujuan-tujuan sekelompok orang dengan maksud tertentu, terutama pemegang modal. Apalagi iklan! Terutama di negara-negara berkembang dan negara yang 'matang' macem Amrik itu. C'mon... dunia ini nggak jauh dari urusan perut dan di bawah perut. Murni cuma kepentingan ekonomi dan pemenuhan nafsu. Bener deh! Kalo lo runut-runut sampe pangkal, hanya dua itu yang jadi motif.

Tapi jangan salah. Di suatu tempat bernama Indonesia, media pernah digunakan sebagai penyeru rakyat supaya bergerak melawan kolonialisme. Setelah itu pernah ada seorang (kalo nggak salah) Seno Gumira yang berteriak lantang: "Ketika media dibungkam, saatnya sastra bicara". Cantik, kan? Bisa jadi instrumen penguasaan dan alat pembebasan yang secara teknis sama. Tergantung mau dipake sebagai apa dan siapa di baliknya, dan tergantung bagaimana persepsi masing-masing orang yang menelan isi media tersebut. Sayangnya, puluhan taun terlewat. Dan masa yang dibilang 'merdeka' ini nyatanya cuma dipenuhi tayangan informasi seputar kawin-mawin dan cerai-berainya pasangan artis, tentang daging-daging muda bertampang bermata kejora cerita-cerita di layar gelas tentang gimana dia berhasil beli rumah dan mobil dan berangkat umroh dari lakonnya bersinetron. Bah!

Buat gwa? Oh, lo bisa cari tau dari diri lo sendiri. Secara, kata Eyang Chomsky juga, sebenernya manusia secara instingtif bisa ngerti mana yang salah dan bener dari apa yang mereka dengar dan lihat. Sayangnya, kadang mereka nggak tau gimana mengejewantahkannya ke dalam kata-kata, hanya dirasakan. Gwa pribadi selalu nggak pernah puas dengan satu sisi cerita. Orang yang digampar dan yang ngegampar punya versi sendiri-sendiri, dan kadang gwa sering asyik trackback kejadian-kejadian stupid kayak gitu. Ujung-ujungnya mungkin cuma buat gwa ketawain saking konyolnya. Tapi setidaknya gwa nggak nelan mentah-mentah apa yang tersaji di depan muka gwa tiap hari.

Ya, ya, ya... Ini cuma kerjaan nggak penting yang dilakukan perempuan soliter yang asik onani otak sendirian karena nggak punya temen melek dinihari dan kesepian ketika malam-malam insom menyerang. Menurut Mamih, gwa harus punya anak biar nggak terlalu banyak mikir yang nggak penting karena waktu gwa bakal tersita untuk melerai mereka rebutan boneka, misalnya. Well, mungkin nanti kali ya, kalo gwa udah mapan secara materi, nggak jadi anak kos lagi, sukses miara Siberian Huskies 3 ekor hingga kawin-mawin dan beranak-pinak terus puppynya gwa kasih ke si Ahmadz, dan berhasil dapet sejumput sel sperma Om Bono atau Om Sting untuk diinseminasi ke rahim gwa... Kagak dapet orangnya, dapet calon anaknya juga nggak papa dah!


*Hwanjingz! Ini lagu layangannya Om Bono kenapa masih stuck di kepala gwa selama seminggu ya?!*

ps: untuk seseorang yang pernah menghujat gwa karena buku larangan yang gwa terjemahin, gwa kasih tau ya... NOAM CHOMSKY ITU YAHUDI TOTOK DAN DIA ANTI ZIONIS!!! terserah elu sih, mo percaya profesor linguistik MIT yang superpinter itu atau hasil riset ngasal elu di internet. yang pasti jangan percaya gwa. ntar musrik lu jadinya. powas?!

Comments

  1. Anonymous2:41 PM

    arek iki nulis terus ... !

    ReplyDelete
  2. KENAPA SIH?! GWA KAN LAGI JANGAR!!! PROTES AJA!!!

    ReplyDelete
  3. wes too diambung wae ... :)

    ReplyDelete
  4. Anonymous3:23 PM

    diambung kanan kiri wae...eh ditambahi ngisor nduwur ding..:D

    ReplyDelete
  5. Anonymous2:25 PM

    wa koq ambung e munine "pret siy"
    sing mesra tah pitowh..

    xixixixix :P

    ReplyDelete
  6. Anonymous8:05 AM

    yeah rite, kata adalah senjata :p

    ReplyDelete
  7. Mitut:
    Itu udah paling mesra je, jeng.

    Ndaru:
    I miz u 2, cinta...

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?