Thus Spoke An Atheist

Gwa dapet tulisan ini dari blog temen yang iseng gwa bongkar-bongkar entrinya. Gwa suka tulisan dan pesan di dalamnya. Kurang-lebih gwa banget. Dari sekian banyak ateis yang gwa kenal (dan hampir ateis--mungkin gwa salah satunya), orang ini nggak menghujat Tuhan atau berkata-kata kasar. Dia lebih santun mengemukakan pendapat. Mungkin karena dia bule atau hidup di lingkungan moderat. Sayangnya, gwa nggak pernah tau siapa penulisnya meski gwa amat sangat seneng ketika terjemahan ini selesai.

Semoga bisa jadi cermin...

ps: untuk tulisan asli dalam boso linggis lo bisa minta ke gwa dan silahkan kritik terjemahan gwa. maaf, nggak ada link. gwa nggak yakin yang punya blog mau diketahui identitasnya sama temen-temen gwa.

Memaknai Hidup ala Ateis

Salah satu konsep salah kaprah tentang ateis yang ada di benak orang awam adalah bahwa kami nggak punya respek terhadap kehidupan - manusia maupun yang bukan. Karena kami, ateis-ateis ini, menganggap seluruh bentuk kehidupan hanya sebagai keanehan alam nan janggal tanpa maksud dan tujuan jelas, dan sama sekali nggak ada artinya. Kami nggak beroleh kesenangan dan rasa terpenuhi yang sama seperti mereka yang percaya Tuhan. Kami nggak peduli penderitaan orang lain karena akhirnya mereka akan berada di tempat yang sama: jadi makanan cacing tanah.
Mengutip pernyataan Harry Hill, kesintingan baru apa sih ini?!

Ya, kehidupan di planet ini semata hanya kecelakaan beruntung aja, sama halnya dengan berbagai bentuk kehidupan tak terhitung di planet lain. Nggak, sama sekali nggak ada tujuan atau makna tertentu dibalik ini semua. Lagipula, kenapa mesti ada anggapan seperti itu? Emangnya lo punya hak apa menganggap diri istimewa?

Tapi, sebagai ateis, gwa menganggap semua (atau sebagian besar lah) kehidupan itu sakral (sebagaimana yang dimaknai orang beragama). Orang-orang ateis tau betul bahwa lo cuma punya kesempatan sekali hidup. Hanya ini. Cuma hidup ini yang lo punya. Nggak ada reinkarnasi, nggak ada surga atau neraka, nggak ada kesempatan kedua. Lo bener-bener cuma punya kesempatan sekali, mau ngerusaknya atau bikin itu jadi sia-sia, terserah elu, meskipun itu bakal jadi hal yang paling mubazir.

Kenapa lo nggak bikin diri lo sadar? Lo didik lah diri lo sendiri supaya lo bisa liat keajaiban semesta raya seagaimana adanya, tanpa terhalang kabut kepercayaan relijius. Lo berenang gih di Samudra India. Atau liat matahari tenggelam di Uluru (Ayer's Rock). Ajak bayi-bayi bercanda dan liat mereka ketawa. Atau manjat pohon. Belajar naek sepeda roda satu. Pijitin pacar lo. Belajar bikin keramik.

Bikin diri lo bahagia dengan cara bikin kehidupan orang lain jadi lebih baik. Banyak orang yang hidup dalam kondisi menyedihkan, yang pendapatannya seminggu mungkin sama dengan pendapatan elu sejam (misalnya). Bantu panti asuhan. Beberapa orang yang percaya Tuhan (teis) punya anggapan aneh bahwa ateis itu nggak lebih dari kumpulan manusia-manusia sedih, egois, dan berantakan yang cuma mikirin diri sendiri, nggak peduli sama kehidupan orang lain, dan kerjanya cuma nyapu-nyapu seharian sambil otaknya muter cari akal gimana caranya bisa masuk surga tanpa harus percaya Yesus dan berbuat baik pada sesama. (Lucu... betapa penilaian orang lain bisa amat sangat beda dengan orang yang ngalamin sendiri)

Kadang gwa juga ditanya, "Kenapa lo mesti repot? Kalo emang hidup ini cuma kecelakaan tanpa makna, tanpa ada tujuan akhir dan nggak berarti, kenapa lo nggak bunuh diri aja? Kenapa lo nggak beli senjata dan tembak-tembakin deh tu orang-orang yang hidupnya nggak berujung. Kenapa lo nggak kayak gitu aja?" Biasanya gwa bakal jawab: "Lo pernah bikin orang-orangan dari salju atau Snowman?" Snowman itu nggak bertahan lama, bakal mencair kalo kena sinar matahari. Snowman juga nggak punya tujuan dan makna. Dua minggu setelah dia dibuat nggak bakal ada bekasnya. Kita bikin Snowman karena kita semua, baik yang teis maupun ateis, hidup di masa sekarang dan disini. Kalo konteksnya kita sebagai mahluk fana yang daur hidupnya singkat, maka itu artinya kita bisa nikmatin kehidupan di dunia dan bersenang-senang dengan melakukan sesuatu yang benar-benar nggak ada tujuannya. Bikin Snowman, naek gunung, liat sunset, atau bersepeda menikmati udara pedesaan adalah hal-hal yang menyenangkan. Tujuan semua itu bukan terletak 'di luar sana', nungguin di suatu tempat supaya kita dapet maknanya. Makna akhirnya terletak pada diri kita masing-masing. Gwa nggak ketar-ketir mikirin gimana kita lima trilyun tahun ke depan, tapi gwa peduli sama masa depan manusia disini, sekarang, dan gimana generasi selanjutnya. Seperti itulah konteks manusia fana, dan karena itulah gwa mau 'repot' menjadi hidup dan menikmatinya.

Hidup itu sendiri nggak ada artinya. Nggak ada tujuannya juga sama alam semesta. Tapi, setidaknya lo bisa punya arti melalui tindakan yang lo lakukan. Bikin dunia ini jadi lebih baik, setidaknya untuk diri lo sendiri, untuk mereka yang hidup sezaman dengan elu, dan untuk keturunan elu.

Seringkali orang-orang ateis punya kehidupan yang menyenangkan dan indah. Sebab, sepengetahuan kita, cuma ini yang kita dapet, dan juga yang didapet orang-orang lain. Karena itulah kita melakukan yang terbaik untuk diri kita sendiri dan untuk orang lain. Percuma kita berdoa ampe berbusa untuk orang-orang sekarat di negara-negara dunia ketiga. Tuhan nggak ada buat bantu mereka, yang ada cuma manusia. Kalo nggak ada satupun manusia yang bertindak, ya nggak bakal ada yang gerak. Gwa muak denger para politikus dan pemimpin gereja ngomong--ketika ada bencana atau semacamnya--bahwa kita harus berdoa untuk para korban karena mereka perlu itu. Nggak! Bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka perlu orang lain untuk menggali dan mengeluarkan mereka dari reruntuhan, menenangkan dan menguatkan mereka yang kehilangan, cari tau kenapa pesawat itu bisa jatoh, bawain mereka obat-obatan dan makanan. Cuma berdoa aja nggak bakal bikin semua itu jalan - karena yang bisa bertindak itu manusia. Ada panti asuhan di Kenya, namanya Diani Childrens Village. Anak-anak disana sama sekali nggak punya keluarga dan mereka tinggal di gubuk. Mana yang lebih mereka butuhkan: doa dan Injil atau cinta, uang, makanan, pakaian dan pendidikan?

Sebagai seorang ateis, gwa menganggap hidup itu sakral. Kehidupan dan pikiran adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk disia-sia. Gunakan kedua aset itu selagi lo bisa dan bantu orang lain melakukan hal yang sama.

Emangnya kayak gitu tuh jelek ya?


*Insert 'In the Presence of the Enemy from Dream Theater' here*

Comments

  1. Terus, 'Pacar' lo mau dikemanain?

    *just asking*

    ReplyDelete
  2. yah, OmBu.. kan gwa bilang 'hampir'. Kalo 'Pacar' gwa udah males ato 'gwa rasa' males ama gwa, baru gwa jadi ateis.

    ReplyDelete
  3. نَعُوْذُ بٍاللهٍ

    ReplyDelete
  4. A' Masrur:
    Ga kebaca. Kicit bet tulisannya
    *alasan*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women