Tentang Rindu

Rindu itu seperti anjing bodoh di taman yang mengejar ekornya sendiri ketika tuannya tidak melemparkan kayu maupun bola sebab lebih tertarik pada perempuan-perempuan muda mendorong kereta bayi berseragam putih dengan garis kotak-kotak pada ujung kedua lengan, cekikikan membicarakan betapa ibu-ibu majikan kalah canggih di ranjang karena suami-suami kerap mendatangi kamar sempit-pengap tempat mereka istirahat tepat di sebelah dapur luas, hampir tiap malam.

Rindu itu seperti luka menembus perut dari belati yang menancap di pinggangmu ketika pasangan homomu tebakar cemburu mendapatimu mencumbu brondong lain di kamar setelah bertahun-tahun kalian tempati sebagai sarang atas nama cinta, nafsu, dan dosa yang membuat kalian berpaling muka menulikan telinga dan menganggap apa yang kalian lakukan adalah benar karena perkelaminan kalian terbukti tidak akan menghasilkan jiwa baru yang nantinya menyesaki bumi.

Rindu itu seperti menyuntikkan kokain ke lengan setelah terikat sabuk dan akan mengaliri pembuluh darah, besar maupun halus, melewati kepala, pundak, lutut, kaki, membuatmu terbang jauh tinggi ke awan memandangi orang dan rumah dan jalan dan alun-alun yang mengecil seperti mainan sementara kau tetap ada di tempatmu berpijak, melayang tanpa sayap.

Rindu itu seperti amarah pemabuk yang tidak menemukan botol untuk dipecahkan atau wajah preman untuk ditonjok dan berakhir pada perut sang istri hamil tua, membuatnya perdarahan di kasur tempatmu pernah bergumul menyatukan keringat bersama pelacur jalanan sementara istrimu mengais rupiah dinihari pada pasar induk Kramat Jati, berjualan sayur-mayur demi mulut tiga anak hasil sperma yang sempat kau muncratkan ke rahimnya setelah membuat gigi depannya rontok, geraham tertelan, dan sepasang mata biru lebam dan masih membekas dua minggu kemudian.

Rindu itu seperti Icarus yang tolol merekatkan bulu-bulu burung dengan lem Aica-Aibon setelah aromanya habis dihirup dari balik kaos anak-anak jalanan teler, kemudian leleh ketika sayap dikepakkan menentang matahari lalu jatuh berdebam ke aspal jalan layang dengan wajah dan tulang remuk menghantam bumi tanpa ampun karena dia lupa ada gravitasi yang selalu menarik apapun di atasnya untuk tetap menjejak.

Itu rindu, Sayang: Menyakitkan.

Bangsatnya, kita adalah masokis-masokis sejati yang tidak pernah lupa bagaimana nikmatnya memendam lara sendirian, meringkuk di balik selimut dengan posisi fetus, punggung menempel dinding, dan mata nyalang tanpa terpejam meski berjam-jam rebah di ranjang.

Jangan khawatir. Kau tidak sendirian. Mari kutemani merindu, merasakan duka dan busuknya dendam pada hati masing-masing.

Dalam tangis dan tawa kurawat jasadmu
… semoga kita sembuh.

Koil – Semoga Kau Sembuh Part I & II


[Dedicated to another insomniacs in their sleepless nights. May WE simultaneously live forever and die immediately. You are never alone…]

ps: kita masih kombatan, dan aku menagih kepalan yang pernah kau janjikan.

Comments

  1. amiin
    semoga kita sembuh...
    karena kadang capek hidup begini...

    ReplyDelete
  2. aku benci merindu..

    ReplyDelete
  3. @SiNyo:
    aminnn...

    @Mbak Stey:
    sini, katanya mau cerita? YMku nyala koq. i've got a pair of cold shoulders and ears open wide. not to mention packs of cigarettes and hot black Balinese coffee.

    care to join?

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?