About Judgement

Malam ini Kang Ucok kembali menyalak galak, melagukan heroisme David melawan Goliath dalam ‘Tantang Tirani’. Lagu ini biasa saya dengarkan jika sedang patah hati, sekedar pengingat bahwa ada banyak hal yang lebih berarti dan lebih penting untuk dilakukan ketimbang meratapi nasib dan merekatkan kembali kepingan jiwa satu-satu.

Sungguh, saya nggak lagi patah hati atau apapun lah itu sebutannya. Saya hanya sedang berpikir bodoh tentang betapa penilaian menjadi tak ubahnya tiran yang menindas benak, mengkotakkannya ke dalam satu kardus khusus, ditutup, lalu dilakban berkali-kali. Penilaian, prasangka, justifikasi, pembenaran, membutakan semua indera-indera manusia. Hanya gelap pemikirannya sendiri yang dapat dia lihat. Tanpa celah sedikitpun untuk dapat melirik keluar kotak. Apalagi melenting tinggi melebihi kardus dan melihat semua seperti seekor elang memandang hijau dan indah daratan dari kumpulan mega-mega.

Sedari kecil saya hidup melawan telunjuk-telunjuk yang mengarah ke jidat. Akibat pernikahan mirip Romeo dan Juliet, kedua orangtua saya harus babak bundas membuktikan bahwa mereka bahagia (dan terbukti hingga sekarang mereka adalah pasangan tua-tua paling funky yang pernah saya kenal, berpuluh tahun kemudian). Ketika saya lahir ‘berbeda’, saya harus buktikan bahwa saya bisa melebihi teman-teman saya yang ‘seragam’. Ketika saya jadi ‘anak bawang’ pada seleksi Bina Vokalia Children’s Choir, saya buktikan dengan menjadi solis teriring denting piano yang dimainkan almarhum Pranajaya. Ketika ben saya hanya terdiri dari bass, satu gitar, drum dan vokal, kami mampu membawakan Green Tinted Sixties Mind sebagus Mr. Big pada Festival Rock Log Zelebour di Ancol (padahal saya datang dengan seragam putih-biru). Ketika saya dicaci karena terjemahan Arab-Israel saya dianggap ‘kiri’, saya kirimkan buku itu kepadanya (dan saya akan selalu mengingat bahwa pernah ada satu negara bernama Palestina meskipun Encarta, Wikipedia dan hampir semua ensiklopedi dunia menghapusnya dan menggantinya dengan Israel. Fuck!).

Tak ada satu pun dari semua itu saya tanggung tanpa meninggalkan luka berdarah seperti cambukan tentara Romawi di punggung Yesus. Dan dengan cara itu saya masih dapat bertahan hingga sekarang.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan daripada sekedar menempelkan cap pada jidat-jidat manusia lalu-lalang yang saya temui tiap hari. Namun tenyata pemberian stempel itu menjadi tak terhindarkan. Seperti setting standar, ketika kita bertemu orang baru, melihat fenomena nggak umum, atau gagap menyikapi hal yang tidak kita tau sebelumnya.

Ada banyak ‘layer’ yang harus saya gali ketika saya memandang sesuatu. Itu yang diajarkan trilogy Matrix dan My Phoenix Brotha #1 dan sampai sekarang masih saya junjung kemana-mana. Jangan kamu lihat permukaan, Pit. Look deeper. Karena kadang pertanyaan memerlukan lebih dari satu jawaban. Begitu katanya, suatu waktu.

Sama seperti Kangen Band yang musikalitasnya ngaujubilah di bawah standar tapi semangat juangnya tinggi sekali. Alih-alih bikin demo berjuta-juta, mereka merekamnya sendiri ketika sedang berlatih dalam studio musik murahan yang mereka sewa dengan cara urunan. Mereka, tukang cendol, kuli bangunan, dan anak jalanan itu, mengais rupiah demi mimpi menjadi terkenal, dengan skill minim sekalipun. Demo ngasal ini lantas mereka sebar secara gerilya di lapak-lapak DVD bajakan yang menjamur di negeri kita tercinta. Perlu semangat edan, waktu nggak sebentar dan mimpi gila-gilaan untuk bisa mencapai taraf seperti mereka sekarang. Apalagi ketika ngetop pun mereka masih menuai cacian dari jumawa-jumawa yang merasa lebih mampu, lebih jago, dan lebih layak. Meski lagu-lagu mereka bukan preferensi saya, saya acungkan semua jempol yang saya punya untuk kegigihan mereka. Mereka patut mendapatkannya. Dengan poni menutup sebelah mata sekali pun!

Kadang saya heran pada orang-orang yang merasa diri pintar tanpa pernah membagi kepintarannya. Mereka yang sekolah tinggi-tinggi hanya demi gaji berjuta-juta untuk diri sendiri. Mungkin cuma saya yang berpikir bahwa keberuntungan harus ditularkan. Bahwa kesempatan mendapat ilmu tidak harus bersekolah. Bahwa informasi seharusnya dibagi rata, penguasa dan rakyat. Bahwa kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan adalah nilai yang tak lekang dipegang, tidak hanya diteriakkan kala Revolusi Perancis pecah.

Saya mencibir orang-orang yang memberi sekedar lima ratus atau seribu rupiah pada pengemis kanak-kanak dan pengamen-pengamen cilik. Untuk apa jika ternyata kemudahan mendapatkan uang di jalan hanya membuat anak-anak itu malas belajar, membuat waktu bermain terrenggut, dan meracuni benak bersih mereka dengan nominal rupiah? Karena ingin mendiamkan nurani yang kisruh? Menjauhkan mereka dari lingkungan aman untuk bermain, tumbuh dan berkembang seperti sekolah dan melemparkan mereka ke jalan? Tidak, bukan seperti itu caranya!

Karena uang adalah tiran, lawan kuasanya.

Saya terhenyak mendapati tas selempang seorang teman berisi beberapa kotak susu seratus mili hanya karena dia ingin membongkar kardus penilaiannya tentang uang. Menurutnya, anak-anak itu lebih butuh susu untuk pertumbuhan tulang dan sebagai pertahanan terhadap timbal yang terhisap tiap hari, bukan uang. Teman saya yang sempat jadi aktivis dan hidup di jalan ini bilang anak-anak itu hanya tau sate sebagai makanan paling enak, botol gepeng sebagai minuman surgawi, atau lem Aica-Aibon yang akan membawa mereka melupakan kemiskinan. Dan itu yang akan mereka beli ketika beberapa rupiah ada di tangan, meskipun tidak setiap hari. Bahkan ketika usia mereka belum genap sepuluh.

Sebenarnya, saya sendiri juga curang. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya meletakkan ‘judgement’ di ujung jari yang mengetuk huruf pada papan kunci hanya karena kepala sarat beban kerja. Saya muak pada sistem hidup dimana nasib lamban sekali berubah dan kesempatan jarang sekali datang pada mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya muak pada orang-orang yang hanya bisa menunjuk. Saya muak pada mereka yang berpura-pura punya wajah malaikat. Saya muak pada mereka yang hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Saya muak pada janji-janji penguasa. Saya muak pada kebohongan. Saya muak pada subliminal message yang terpampang pada iklan televisi dan majalah. Saya muak pada gelontoran barang mewah di mall. Saya muak pada taipan-taipan korporasi berongkang-ongkang kaki sementara kami para buruh harus memeras darah demi nasi sehari sekali dan susu anak-anak kami. Saya muak pada setan yang selalu dipersalahkan. Padahal manusia lebih berpotensi untuk jadi lebih jahat daripada jahatnya setan.

Mungkin suara saya cuma jadi desahan lirih seperti angin yang hanya mampu menggerakkan sehelai daun. Seperti Homicide tenggelam dalam gemeretak roda-roda kapitalis. Seperti Tolstoy mati sendirian. Seperti Chairil terkapar karena sifilis. Seperti Marquis de Sade meregang nyawa dalam kubangan kotorannya sendiri. Atau Gie yang hilang ditelan gemunung.

Namun saya masih punya semangat untuk bergerak. Hayuk atuh, Kang Ucok?

[do I look like a rebel without a pause here?]

Gambar adalah pemenang Pulitzer tahun 1963. Thich Quang Duc, seorang biksu Buddha di Vietnam Selatan, membakar diri hingga mati sebagai protes terhadap penyiksaan para biksu oleh pemerintah. Thich Quang Dug tidak bersuara sama sekali hingga tubuhnya menjadi abu. Visualisasi 'gila' mengenai beliau pernah dilakukan Linklater dalam film animasi 'The Waking Hour', film yang nggak berhasil saya tonton hingga usai karena otak saya overloaded...

Comments

  1. mbak pito...
    saya bacanya sampe tahan napas...
    mbak pito keren banget bisa berpikir dan menulis seperti ini...
    sementara banyak orang (baca=saya) cuma bisa tunduk pada rutin dan mengangguk saja pada kuasa...

    mbak pitooo hebaaattt...
    ayo terbitin buku, mbak!
    biar lebih banyak lagi yang bisa 'mengerti' seperti mbak pito 'memahami'

    *ngomong opo tho aku iki sakjane...*

    ReplyDelete
  2. iyo, nyo. kon ngomong opo to?

    ReplyDelete
  3. Tulisan ini seperti api didalam drum dipinggiran kota tua yang menyala dimalam hari... berniat menghangatkan dingin yang merasuki dinding-dinding kulit hingga tulang sum-sum tetapi hanya sedikit orang saja yang tahu manfaatnya... bahkan mungkin tidak juga dengan gw...

    semata-mata karena sedikit orang pula yang tahu siapa yang menyalakan api itu, hingga akhirnya kecurigaan timbul, apakah membahayakan atau tidak sama sekali...

    Terlepas dari itu semua, tiba di alenia ke-12 gw mengacungkan jari setinggi-tingginya, agar si penyulut api tahu "hey, gw juga menghadapi kondisi yang sama"... apakah untuk minta diselamatkan? TIDAK tentunya, tapi semata-mata berharap ada pencerahan yang bisa membuka mata gw agar bisa terus melangkah konsisten tanpa harus kehilangan kesempatan hidup untuk terus berjuang... perjuangan gw masih terlalu dini untuk bisa dikubur dan dikenang...

    gw ngga mau cuma jadi daun kering yang hilang tertiup angin bahkan jatuh dari rantingnya pun tidak pernah ada yang tahu...

    ReplyDelete
  4. Kawan-kawan Pergerakan di Makassar pernah bilang 'Teman-teman dari Jawa memang mahir meramu teori, tapi untuk mewujudkannya serahkan saja pada kami'--judgement ini memang agak menyentil, tapi setidaknya saya bisa belajar dan mengoreksi diri saya

    ReplyDelete
  5. makasih, mas teguh. udah mau mampir. padahal udah repot bagi waktu antara jualan tembakau dan kuliah S2. suwun lho, mas teguh. tenan iki...

    *digajul*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women