Kawin, Anyone?
Saya pernah mengenal penulis melalui jejaring laknat bernama internet (yang tanpanya saya tidak bisa hidup sehari saja. Argh!). Dia cowok, (terlihat) ganteng (di foto), mengaku berprofesi EO, dan ‘baik-baik’. Maksudnya, dia sempat cerita sudah punya pacar dan tidak mencoba ‘menjaring’ saya. Itu adalah salah satu ciri-ciri tipe cowok baik dan sangat tidak menarik menurut saya. Well, karena obrolannya basi, tulisannya garing, dan saya cepat bosan, saya sering membiarkan jendela YM darinya berkedip tanpa saya respon. Atau langsung saya tutup tanpa melihat isinya.
Suatu kali dia meninggalkan offline message tentang poligami, karena dia mengaku sedang riset kecil-kecilan. Entah kenapa yang ini terbaca oleh saya. Hmmm… Menarik. Tapi, lagi-lagi karena kebasiannya, saya juga jawab sebasinya. Iya, ini nggak typo. Taglinenya adalah basi.
Jujur saja, saya setuju poligami dengan saya sebagai istri muda. Setidaknya saya akan punya mitra dalam mengurus seorang bayi besar bernama laki-laki, terlepas dari stigma perempuan kedua yang berkonotasi gatal, ganjen, dan mata duitan.
Wacana istri muda sebenarnya sudah sering kami bicarakan, saya dan kawan-kawan perempuan satu pondokan. Terbersit pada gosip pagi tepat di depan kamar saya sambil mengantri kamar mandi sebelum berangkat kuliah. Menjadi diskusi utama pada malam-malam tanpa tidur karena resah yang tidak kami kenal namanya. Bahkan pada gelisah mbak-mbak ‘ninja’ di kanan-kiri kamar saya di Jogja dulu, sepulang liqo’. Terselip diantara perbincangan mengenai kitab dan ruju’ yang saya dengar sambil cekikikan diam-diam dari balik pintu.
Sebagian besar dari kami menolak dimadu atau menjadi madu, kecuali mbak-mbak ‘ninja’ yang pasrah pada pilihan murabi mereka. Saya, sebagai orang yang tidak percaya lembaga pernikahan, hanya cengar-cengir mendengar mereka berdebat. Kadang jadi provokator untuk salah satu pihak, supaya si jilbab cihuy yang hanya ber-tanktop dan celana superpendek meradang ke mbak ‘ninja’ yang keukeuh berkulot sematakaki dan kaus tangan panjang.
Si tanktop ini macan Persma. Tulisannya garang, segarang rautnya jika sedang kesal. Benaknya meledak-ledak, berlawanan dengan senyum kenes dari bibirnya jika dia tersipu. Dan dia percaya seharusnyalah satu perempuan untuk satu laki-laki hingga maut memisahkan.
Ketika saya hijrah ke Jakarta dan lagi-lagi harus nge-kos, saya bertetangga kamar dengan perempuan berjilbab yang juga ikut liqo’ tapi—puji Tuhan—bukan ‘ninja’. Dia ternyata sudah siap jika suatu hari nanti dia harus jadi istri kedua atau bersuamikan duda. Lagi-lagi terserah pilihan murabi meskipun dia bisa menolak jika ta’aruf berujung buntu.
Satu hal yang mengelompokkan mereka, perempuan-perempuan pengajian yang saya temui dalam rentang waktu berbeda, adalah keyakinan bahwa mereka akan menikah karena Allah. Tapi sering niat mulia itu terbentur permintaan para lelaki yang menginginkan kulit bersih, tubuh langsing, kesehatan luarbiasa prima untuk mampu menjadi mesin seks dan anak, serta kesabaran tiada batas. Meski tertutup kain sekali pun, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Padahal mereka piara jenggot seperti Nabi. Padahal karena takut najis dunia menempel pada ujung keliman, celana-celana mereka berakhir tepat diatas mata kaki. Padahal dahi mereka menghitam karena seringnya menggerus sajadah dalam sujud-sujud panjang.
BAH!
Tentang menikah, orangtua saya membebaskan sebebas-bebasnya. Entah saya mau melajang sampai mampus atau khilaf diperistri seseorang suatu hari nanti, mereka tidak pernah bertanya. Atau… Mungkin bosan karena topik itu selalu saya tangkis dengan bermenit-menit argumen yang saya susun layaknya tesis. Biasanya, Babab hanya akan balik-kanan-bubar sambil geleng-geleng kepala. Ibu? Beliau hanya akan berkata ketus: “Di kampung pelosok sono, seumuran kamu mungkin udah jadi janda lima kali dan rantang-runtung kemana-mana bawa anak kecil minimal tiga!” Ah, love you both for this!
One day adik saya pernah bertanya pernahkah saya berpikir untuk menikah? Saya jawab, ya. Dengan alis bertaut dan pengalaman bertahun-tahun punya kakak selicik jin Bartimaeus, dia bertanya lagi: “Syaratnya apa?”
“Well, si cowok khilaf ini harus punya modal buat nguliahin gue, minimal S1, di luar negeri. Dia juga harus setuju untuk nggak punya anak sama gue karena I hate being pregnant. Even seeing a pregnant woman hurts and annoys me. Lagipula dunia udah terlalu penuh buat ketambahan satu nyawa lagi. Kalo dia mau anak, kita bisa adopsi dari panti asuhan. It’s no big deal. Bullshit itu prinsip yang bilang bahwa anak bawa garis darah. Itu cuma usaha egoisme laki-laki aja supaya bisa tetep eksis bahkan ketika badannya udah dimakan cacing. Oh, dia juga harus nyediain koneksi internet unlimited 24/7, betah dikebulin asep rokok dan uap kopi panas, harus bisa masak, dan suka musik-musik gue. Bakal ada pre-nuptial agreement yang harus dia kritisi dan kita rancang bareng minimal tiga bulan sebelum hari-H. Gue juga nggak mau ada resepsi yang bikin gue ditonton dan nggak bisa ngembat kambing guling di pesta gue sendiri. Kalopun harus ada pesta, gue mau slumber party dimana semua orang boleh pake piyama. Termasuk pengantennya. Syarat yang sama juga gue ajukan buat siapapun yang pengen jadiin gue istri muda. Dengan tambahan, kuliah full scholarship minimal S2, di luar negeri. Kalo salah satu dari itu dia nggak mau turutin, mendingan penghulunya dianter pulang lagi aja.”
Begitu jawaban saya.
Adik saya hanya bengong sejenak, menghela napas panjaaaang sekali, lalu beranjak bangun dari duduknya di sebelah saya. Setelah itu dia meletakkan telunjuk tepat di tengah jidat saya dan mendorongnya ke belakang sambil berkata: “Sebenernya lu mau cari suami apa beasiswa?”
Ah, adik saya memang pintar! Nggak percuma punya kakak seperti saya!
Suatu kali dia meninggalkan offline message tentang poligami, karena dia mengaku sedang riset kecil-kecilan. Entah kenapa yang ini terbaca oleh saya. Hmmm… Menarik. Tapi, lagi-lagi karena kebasiannya, saya juga jawab sebasinya. Iya, ini nggak typo. Taglinenya adalah basi.
Jujur saja, saya setuju poligami dengan saya sebagai istri muda. Setidaknya saya akan punya mitra dalam mengurus seorang bayi besar bernama laki-laki, terlepas dari stigma perempuan kedua yang berkonotasi gatal, ganjen, dan mata duitan.
Wacana istri muda sebenarnya sudah sering kami bicarakan, saya dan kawan-kawan perempuan satu pondokan. Terbersit pada gosip pagi tepat di depan kamar saya sambil mengantri kamar mandi sebelum berangkat kuliah. Menjadi diskusi utama pada malam-malam tanpa tidur karena resah yang tidak kami kenal namanya. Bahkan pada gelisah mbak-mbak ‘ninja’ di kanan-kiri kamar saya di Jogja dulu, sepulang liqo’. Terselip diantara perbincangan mengenai kitab dan ruju’ yang saya dengar sambil cekikikan diam-diam dari balik pintu.
Sebagian besar dari kami menolak dimadu atau menjadi madu, kecuali mbak-mbak ‘ninja’ yang pasrah pada pilihan murabi mereka. Saya, sebagai orang yang tidak percaya lembaga pernikahan, hanya cengar-cengir mendengar mereka berdebat. Kadang jadi provokator untuk salah satu pihak, supaya si jilbab cihuy yang hanya ber-tanktop dan celana superpendek meradang ke mbak ‘ninja’ yang keukeuh berkulot sematakaki dan kaus tangan panjang.
Si tanktop ini macan Persma. Tulisannya garang, segarang rautnya jika sedang kesal. Benaknya meledak-ledak, berlawanan dengan senyum kenes dari bibirnya jika dia tersipu. Dan dia percaya seharusnyalah satu perempuan untuk satu laki-laki hingga maut memisahkan.
Ketika saya hijrah ke Jakarta dan lagi-lagi harus nge-kos, saya bertetangga kamar dengan perempuan berjilbab yang juga ikut liqo’ tapi—puji Tuhan—bukan ‘ninja’. Dia ternyata sudah siap jika suatu hari nanti dia harus jadi istri kedua atau bersuamikan duda. Lagi-lagi terserah pilihan murabi meskipun dia bisa menolak jika ta’aruf berujung buntu.
Satu hal yang mengelompokkan mereka, perempuan-perempuan pengajian yang saya temui dalam rentang waktu berbeda, adalah keyakinan bahwa mereka akan menikah karena Allah. Tapi sering niat mulia itu terbentur permintaan para lelaki yang menginginkan kulit bersih, tubuh langsing, kesehatan luarbiasa prima untuk mampu menjadi mesin seks dan anak, serta kesabaran tiada batas. Meski tertutup kain sekali pun, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Padahal mereka piara jenggot seperti Nabi. Padahal karena takut najis dunia menempel pada ujung keliman, celana-celana mereka berakhir tepat diatas mata kaki. Padahal dahi mereka menghitam karena seringnya menggerus sajadah dalam sujud-sujud panjang.
BAH!
Tentang menikah, orangtua saya membebaskan sebebas-bebasnya. Entah saya mau melajang sampai mampus atau khilaf diperistri seseorang suatu hari nanti, mereka tidak pernah bertanya. Atau… Mungkin bosan karena topik itu selalu saya tangkis dengan bermenit-menit argumen yang saya susun layaknya tesis. Biasanya, Babab hanya akan balik-kanan-bubar sambil geleng-geleng kepala. Ibu? Beliau hanya akan berkata ketus: “Di kampung pelosok sono, seumuran kamu mungkin udah jadi janda lima kali dan rantang-runtung kemana-mana bawa anak kecil minimal tiga!” Ah, love you both for this!
One day adik saya pernah bertanya pernahkah saya berpikir untuk menikah? Saya jawab, ya. Dengan alis bertaut dan pengalaman bertahun-tahun punya kakak selicik jin Bartimaeus, dia bertanya lagi: “Syaratnya apa?”
“Well, si cowok khilaf ini harus punya modal buat nguliahin gue, minimal S1, di luar negeri. Dia juga harus setuju untuk nggak punya anak sama gue karena I hate being pregnant. Even seeing a pregnant woman hurts and annoys me. Lagipula dunia udah terlalu penuh buat ketambahan satu nyawa lagi. Kalo dia mau anak, kita bisa adopsi dari panti asuhan. It’s no big deal. Bullshit itu prinsip yang bilang bahwa anak bawa garis darah. Itu cuma usaha egoisme laki-laki aja supaya bisa tetep eksis bahkan ketika badannya udah dimakan cacing. Oh, dia juga harus nyediain koneksi internet unlimited 24/7, betah dikebulin asep rokok dan uap kopi panas, harus bisa masak, dan suka musik-musik gue. Bakal ada pre-nuptial agreement yang harus dia kritisi dan kita rancang bareng minimal tiga bulan sebelum hari-H. Gue juga nggak mau ada resepsi yang bikin gue ditonton dan nggak bisa ngembat kambing guling di pesta gue sendiri. Kalopun harus ada pesta, gue mau slumber party dimana semua orang boleh pake piyama. Termasuk pengantennya. Syarat yang sama juga gue ajukan buat siapapun yang pengen jadiin gue istri muda. Dengan tambahan, kuliah full scholarship minimal S2, di luar negeri. Kalo salah satu dari itu dia nggak mau turutin, mendingan penghulunya dianter pulang lagi aja.”
Begitu jawaban saya.
Adik saya hanya bengong sejenak, menghela napas panjaaaang sekali, lalu beranjak bangun dari duduknya di sebelah saya. Setelah itu dia meletakkan telunjuk tepat di tengah jidat saya dan mendorongnya ke belakang sambil berkata: “Sebenernya lu mau cari suami apa beasiswa?”
Ah, adik saya memang pintar! Nggak percuma punya kakak seperti saya!
piye carane komen ning kene ? aku lali.
ReplyDeletemunyuk! taek! lambemu, su! :P
ReplyDeletepiye? gak sido omben2 pancet ae kawanen yo?
huahahahaha!
huahahahaa....
ReplyDeletembak pito lucuuuu...
hampir guling2 aku mbaca ini...
nyaman banget mbak kalo ada laki-laki khilaf begitu...
saya mau nyumbang doa wis...
(mau nyumbang laki-laki khilaf kok belum ada. kalo ada mestine tak pek dewe :p)
semoga pada saat mbak pito 'mau' menikah, laki-laki itu 'ada'...
*berdoa supaya doa saya dikabulkan Tuhan... amiin...*
*berdoa supaya sinyo dapet lelaki khilaf*
ReplyDeleteamiiiiinnnnn!!!
*nyolek pito* dimana bisa dapat laki khilaf gitu ?
ReplyDeletenamanya juga lelaki khilaf, ilang akal, impulsif. ditungguin aja. kalo pengen dan nunggu sampe bongkok juga nggak ada, itu namanya nasib! haha!
ReplyDeleteSetttt dah..mo kawin ma lu ituh mas kawinnya segitu banyaknya???(doh)
ReplyDeletehuahahahaha!!! gag, mbak. maksud e ben ga onok sing nyedhaki aku gitu loooo...
ReplyDeleteGedubraaaak !
ReplyDelete