Untitled, Anyone?

Belum ada satu menit ponsel menggeletak di sebelah Pektay ketika dia kembali bergetar. Ada pesan pendek masuk. Darinya yang mengisi satu jam lepas tengah malam saya dengan SMS kerjaan dan cinta. Di penghujung kata, saya tersenyum pada layar ponsel butut murahan dalam genggaman.

“Nitey nite, Pit. Luv ya! :-*”

Dan saya balas dengan:

“It’s already morning, Hun. Luv you more! Mwah!”

Ah. Cinta. Manis sangat. Berbanding terbalik dengan penjabaran Al Ghazali perihal sebentuk rasa yang pertama membakar kemudian membunuh.

Sudah beberapa hari ini waktu saya dibanjiri celoteh orang-orang kasmaran dan kehilangan. Saya merasa petuah Coelho sedang bekerja dalam keajaibannya dan melingkupi semesta saya, ketika saya mencari jawaban dan seluruh aspek jagad raya membantu menemukannya. Tidak berlebihan, karena saya berkali-kali mengalami hal semacam ini.  

Salahkan saya dan siklus pematangan sel telur sebelum kembali meluruh. Karenanya saya luarbiasa peka beberapa hari dalam sebulan hingga hampir dapat melihat hantu (dan saya sangkal habis-habisan karena saya aslinya penakut sok berani). Namun menyoal cinta adalah membedah emosi berkelindan seperti sepasang ular birahi saling berpagut. Ada sayang, cemburu, kepemilikan, keberhakan, harapan, realita, kepercayaan, kompromi, intrik, pengorbanan, kesetiaan, ujian, tanggungjawab. Dan nafsu.

Variabel terakhir itulah yang—tanpa saya sadari—sering membuat tergelincir dengan muka menghantam tanah.

Sebagaimana—menurut teman saya—konflik di seluruh dunia berawal dari perut dan bawah perut, saya merasakan yang terakhir. Bukan masalah selangkang. Ini tidak ada urusannya dengan perkelaminan, karena nafsu tidak melulu membincang genital. Ini tentang sebuah tindakan yang kerap saya tekan karena akan memperburuk mental megalomania saya: perasaan menguasai.

Saya control freak. Saya harus selalu berada dalam posisi menguasai medan. Itu kenapa saya khatam berkali-kali bab demi bab Art of War karya agung Sun Tzu. Meskipun hanya versi komik. Bagi saya ini hanya bagaimana bermain dan mempermainkan. Dan saya aplikasikan dalam semua aspek kehidupan. Mulai dari pekerjaan, sosialisasi, nego-nego najis, bahkan dengan nasib dan Tuhan. Meskipun dalam warna-warni pelangi.

Saya hanya punya satu rule: Knowing how to start and when to stop. Walau kadang mentah dan jatuh berkali-kali. Menyesakkan memang, menjadi pihak yang kalah. Namun saya berbesar hati. Jika permainan tidak dimenangkan, saya akan main lagi sampai menang. Haha!

Malam ini jemari saya menari di atas keyboard putih dekil teriring beat funk fusion Two Ton Shoe yang hanya berisi tujuh lagu. Setelah mencoba menenangkan diri dengan album lounge Siddharta: Spirit of Buddha Bar, saya klik playlist yang saya dapat tujuh tahun lalu itu. Saya mengenang satu-satunya permainan seri dalam hidup yang berlangsung empat tahun. Melibatkan perasaan sayang, kepemilikan, keberhakan, harapan, realita, kepercayaan, kompromi, intrik, pengorbanan, kesetiaan, ujian, tanggungjawab, nafsu, namun tanpa cemburu. Saya bahagia karena saya bisa mengenang sambil tersenyum, melupakan torehan panjang luka berdarah yang kami buat sendiri. Meskipun makan waktu bertahun-tahun. Saya payah jika harus berurusan dengan hati dan relationshit. Makanya nggak pinter-pinter. Begitu yang dibilang ibu saya.

Hampir seminggu yang lalu ketika malam hampir pagi. Seorang perempuan membasahi guling merah saya dengan airmata, tepat di atas seprai hitam dalam dunia kotak tiga kali tiga tempat saya pulang. Dia menangisi kenangan, menangisi tatu yang belum purna mengering, menangisi perih yang masih menghunjam uluhati saat mengingat, berusaha mencuci otaknya sendiri dengan pemikiran ‘saya baik-baik saja’ yang terus berulang layaknya mantra. Saya meminta pemaklumannya karena tidak bisa turut dalam tangis dan malah beres-beres lemari. Padahal saya ingin sekali melarut bersama gulir air bening meluncur turun ke pipi yang katanya bisa menjadi penyucian jiwa. Asalkan jangan terlalu sering.

Satu hal yang masih saya pelajari bertahun-tahun adalah semua luka akan tersembuhkan melalui pemaafan dalam koridor waktu, meskipun tidak terlupakan. Sebab kita butuh kenangan sebagaimana anak sekolah perlu buku catatan yang akan menjadi rujukan ketika harus belajar menghadapi pop quiz. Dan saat level belajar saya meningkat, saya hanya perlu kenangan sebagai sebuah tesis yang akan saya bikin komparasinya dengan peristiwa sekarang sebagai anti tesis. Karena hidup adalah bergerak dan berubah, maka akan sangat bodoh jika saya terus berpegang pada tesis lawas untuk selalu menghidupkan kenangan, untuk selalu menoleh ke belakang.

Ada masa ketika kenangan mengejewantah di hadapan tanpa saya bisa mengelak. Jika itu terjadi, saya hanya akan menjalaninya dan sedikit bernostalgia tanpa harus terseret pusaran masa lalu. Saya bukan manusia dalam gambar yang terbekukan oleh kertas foto dan tinta lalu dilipat dan dimasukkan ke dalam dompet untuk ditengok sesekali. Dan saya tidak ingin membuat orang lain seperti itu karena saya sendiri tidak punya dompet atau album foto.

Rencana adalah untuk para organizer yang menginginkan hidup tanpa kejutan. I am a gamer and I play the game of life, with all the roller coaster rides in between. Saya. Hidup. Untuk. Hari. Ini.

Carpe diem, baby!

[dedicated to all people who live in the memories of their past and one helluva Ignatius who taught me to love against all odds, to stand tall and proud, patiently, unconditionally: what we had is a real something, don’t you think?] 



Comments

  1. Anonymous3:28 PM

    The stupid neither forgive nor forget; the naïve forgive and forget; the wise forgive but do not forget. — Thomas Szasz

    dan aku tidak sedang hidup dalam kenangan ketika mengingatnya, girlfriend! :D

    ReplyDelete
  2. Anonymous3:35 PM

    hidup dalam kenangan lalu seperti berputar-putar dalam labirin, sesaat melihat pintu keluar, ternyata malah kembali ke temapt semula....

    ReplyDelete
  3. aren't you trying to say that I--based on Thomas sumthing description--am wise? APAKAH KAMU KACANG?!

    I aint saying anything about you living in the memory of your past when you recall the moments. I just know that you wet my pillow! haha!

    yeah. you aint living in the past. you just make dat fucked up past be reenacted. am I right, or am I right?

    *winks*

    oh.. Hi, Frozz!!! *waves*

    ReplyDelete
  4. aku luwe, hiks. Eh, jare pakdhe kurt vonnegut 'lelaki itu bajingan, perempuan itu gila' haleluya! Wassalamualaikum.

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?