Membodoh
Dari balik kaca, saya melihat lelaki kurus dengan rambut kribo itu tersenyum sambil melepas helem separuh wajah. Jumper merah yang ia kenakan kontras dengan mendung menggantung selepas hujan sore hari. Saya melambai, mengabaikan buku terbuka di hadapan saya. Ruangan tempat saya duduk kedap dari bising di luar. Entah apa yang membuat saya menoleh tepat ketika motornya sedang parkir. Mungkin energi positifnya, mungkin intuisi.
Kami 'kencan' di sini untuk kedua kali, persinggahan yang akan mengantarkan saya menemui berpasang mata polos namun jalang ditempa terik surya dan timbal buangan kendaraan. Menyambung hidup yang cuma sekali melalui suara dan gitar butut di bis-bis kota tanpa melupakan masa indah menuju dewasa.
Awalnya adalah perjumpaan saya dengan cowok gondrong ganteng, Papanya Novi. Ada yang meminta saya menemuinya karena tenggat membuatnya tak bisa kemana-mana. Kebetulan lain mempertemukan saya dan Papanya Novi di Jogja (dan berakhir tepar foursome di kamar salah satu soulmate saya). Dari situ, cowok gondrong dengan wajah teduh ini meminta saya mengajar bahasa Inggris di sebuah rumah singgah seputaran Tanjung Barat.
Jujur saja, ini proyek nekat bagi saya. Dengan hanya dua belas kali pertemuan, saya harus bisa membuat mereka mengerti. Pagi pukul dua dinihari, saya masih bengong menatap layar Pektay, bingung mencari bahan ajar. Begitu banyak referensi, begitu banyak materi, terpampang banyak dan jelas. Hasil penelusuran Om Gugel Si Maha Keren. Akhirnya, setelah salin sana tempel sini, saya menatap puas pada empat lembar modul belajar untuk kelas pertama saya.
Menatap Heru, Monday, Unay, Adek dan Arif, saya gamang. Ini pilot class dari empat program yang direncanakan Serrum. Saya buta dengan mereka. Tapi bagaimana pun caranya, saya harus membuat mereka terpacu belajar, meski tubuh lelah setelah seharian ngamen dan main. Saya juga harus memenangkan pertempuran melawan suara mobil dan motor dan KRL Jabotabek di luar ruangan kecil bekas warteg tepat di tepi jalan. Sementara Lelaki Bertudung Merah bersandar dekat pintu, menyemangati saya dengan mata lugu, tanpa suara.
Saya tidak tahu, entah setan atau Tuhan yang membantu saya menyulut semangat lima remaja tanggung itu untuk tetap tinggal dan mengikuti perbedaan antara Noun, Verb, Adjective, dan dimana Article harus diletakkan. Dua jam kemudian kelas berakhir, tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Dua jam yang menghabiskan energi saya karena mereka tidak berhenti bertanya, lapar dengan arti kata, dan bangga ketika kertas-kertas latihan mereka saya tulisi EXCELLENT! besar-besar.
Dua jam yang gila! Dan saya membodoh ketika ternyata saya tidak sabar menunggu Sabtu selanjutnya!
ps: Makasih, Gun! Gara-gara pulangnya elu mau gue seret ke Leksika, gue dapet Anais Nïn Winter of Artifice cuma dua puluh empat ribu! Yay!
Kami 'kencan' di sini untuk kedua kali, persinggahan yang akan mengantarkan saya menemui berpasang mata polos namun jalang ditempa terik surya dan timbal buangan kendaraan. Menyambung hidup yang cuma sekali melalui suara dan gitar butut di bis-bis kota tanpa melupakan masa indah menuju dewasa.
Awalnya adalah perjumpaan saya dengan cowok gondrong ganteng, Papanya Novi. Ada yang meminta saya menemuinya karena tenggat membuatnya tak bisa kemana-mana. Kebetulan lain mempertemukan saya dan Papanya Novi di Jogja (dan berakhir tepar foursome di kamar salah satu soulmate saya). Dari situ, cowok gondrong dengan wajah teduh ini meminta saya mengajar bahasa Inggris di sebuah rumah singgah seputaran Tanjung Barat.
Jujur saja, ini proyek nekat bagi saya. Dengan hanya dua belas kali pertemuan, saya harus bisa membuat mereka mengerti. Pagi pukul dua dinihari, saya masih bengong menatap layar Pektay, bingung mencari bahan ajar. Begitu banyak referensi, begitu banyak materi, terpampang banyak dan jelas. Hasil penelusuran Om Gugel Si Maha Keren. Akhirnya, setelah salin sana tempel sini, saya menatap puas pada empat lembar modul belajar untuk kelas pertama saya.
Menatap Heru, Monday, Unay, Adek dan Arif, saya gamang. Ini pilot class dari empat program yang direncanakan Serrum. Saya buta dengan mereka. Tapi bagaimana pun caranya, saya harus membuat mereka terpacu belajar, meski tubuh lelah setelah seharian ngamen dan main. Saya juga harus memenangkan pertempuran melawan suara mobil dan motor dan KRL Jabotabek di luar ruangan kecil bekas warteg tepat di tepi jalan. Sementara Lelaki Bertudung Merah bersandar dekat pintu, menyemangati saya dengan mata lugu, tanpa suara.
Saya tidak tahu, entah setan atau Tuhan yang membantu saya menyulut semangat lima remaja tanggung itu untuk tetap tinggal dan mengikuti perbedaan antara Noun, Verb, Adjective, dan dimana Article harus diletakkan. Dua jam kemudian kelas berakhir, tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Dua jam yang menghabiskan energi saya karena mereka tidak berhenti bertanya, lapar dengan arti kata, dan bangga ketika kertas-kertas latihan mereka saya tulisi EXCELLENT! besar-besar.
Dua jam yang gila! Dan saya membodoh ketika ternyata saya tidak sabar menunggu Sabtu selanjutnya!
ps: Makasih, Gun! Gara-gara pulangnya elu mau gue seret ke Leksika, gue dapet Anais Nïn Winter of Artifice cuma dua puluh empat ribu! Yay!
Saya terharu akan dedikasi ibu guru kita ini..... tobb abis...
ReplyDeletejadi ini pit??project ngajar bahasa inggris itu??
ReplyDeletewew,, salut lah! Lanjutkan!! hahaha (bukan kampanye lho)...
Siap-siap jika mereka nanti bertanya arti kata "Fuck!, say I" :D
ReplyDelete