Bleeding

DISCLAIMER: Ini bukan cerita saya. Suatu malam ada seorang teman yang mengirimkan resahnya dalam bentuk seperti ini melalui email. Saya cuma permak dikit, biar dramatis aja. Nggak percuma punya guru nulis menye-menye. Huahaha!

“Gue nggak ngerti apa yang ada di otaknya. Is she trying to get herself killed in the office?”

Aku hanya diam di hadapan perempuan yang mengobarkan api dari mata dan batin terluka, mencoba menikmati rokok bungkus kedua kurang dari dua puluh empat jam ini. Alunan lembut musik jazz pada sound system tidak mampu meredakan amarahnya.

Di sini, di kafe tempat biasa kami menghabiskan malam, ia meledak. Temaram ruangan seperti tidak berarti bagi nyala amarahnya. Ia kecewa, tidak berdaya terhadap rekan sekantor yang positif leukemia selama sepuluh tahun terakhir. Mereka berkarib sejak pertama kali si sakit namun cantik itu menjejakkan kaki di tempat mereka bekerja menjual jasa. Pertemanan aneh, karena mereka sungguh berbeda dalam semua hal.

Si Cantik dan rekan sepenongkrongan saya ini—sebutlah namanya Si Monyet karena dia paling tidak suka orang tau siapa dirinya—seperti mentok kanan dan mentok kiri. Si Monyet item, karibnya putih; Si Monyet dekil, dia cerlang-cemerlang; Si Monyet kemana-mana hanya berkaos dan jins, rekannya modis abis; Si Monyet dari keluarga cenderung miskin, sobatnya kaya raya. Betul-betul kebalikan.

“Baru tiga taun ini gue kenal dia, cewek tangguh yang selalu ingin membuktikan pada dunia bahwa dia tegar menghadapi tekanan sekeras apapun. Buat gue itu adalah salah satu pembuktian bodoh. Karena kita semua udah tau. Kalo dia nggak tegar, dia nggak bakalan kuat menahan sakitnya jarum berdiameter hampir sepuluh senti yang menancap tanpa bius di atas tulang ekor setiap biopsi. Bekasnya bakal bolong dan nutup sendiri sebulan kemudian. This is just… Nuts!” serunya.

Aku sempat bertemu perempuan itu ketika menjemput Si Monyet di kantor. Dia, si pendiam berambut panjang berkulit pualam, dengan bahasa dan laku tubuh terjaga. Sungguh seperti langit dan bumi dengan Si Monyet yang baut pada rahangnya kendor semua. Menurut oralisa saya—karena keluar dari mulut dan bukan brutu—mereka bersahabat akibat gaya tarik layaknya magnet berbeda kutub saling melekat. Sesederhana itu.

Dia gusar sekali mengetahui Si Cantik lesu sedari pagi. Dia tau, rekannya pantang meletakkan kepala pada bantal kecil di atas meja, seberapapun hebat sakit kepala yang diderita dan biasanya berujung pada perdarahan dari hidung.

Senja tadi membawa mendung sepekat kekhawatiran Si Monyet pada Si Cantik. Wajah sepucat kapas membuat ia harus pulang sebelum waktunya. Sambil menunggu jemputan mereka bicara di beranda, berdua saja. Si Monyet penasaran bagaimana rasanya mimisan karena seumur hidup belum pernah merasakannya.

“Yah… Kayak lu pilek dan ingusan aja. Tapi pake sakit kepala segala,” sahut Cantik.

“Terus, kenapa bisa mimisan? Apa yang bikin darah itu keluar dari hidung? Apa ada pembuluh darah yang pecah? Kenapa setiap orang kena kanker pasti ada episode mimisannya?” tanya Monyet. Anak itu tak pernah habis pertanyaan dalam satu helaan napas.

Si Cantik hanya menggeleng lemah sambil masih memeluk bantal berwarna cerah.

Kusesap espresso yang tinggal setengah cangkir, tandas dalam sekali teguk. Si Monyet masih resah setelah bercerita panjang lebar. Dia kembali membakar rokoknya yang entah keberapa malam ini. Mukanya terang seketika dari api pada lighter menyala. Sepersekian detik, kureguk puas-puas lekuk lembut di sana. Pada hidung, bibir tipis ramun menggelap karena nikotin, pipi dengan noktah hitam bentuk hati semungil kepala korek api, lengkung rambut halus membentuk alis yang tak pernah tersentuh pinset, bulu mata tanpa maskara, dan dagu membulat. Monyet ini tidak pernah sadar dirinya indah. Semua dia tutupi dengan lagak sok pintar dan prilaku kelelakian. Seperti anak kucing berusaha mengaum menakuti ancaman mendekat, padahal hanya mengeong lirih minta pertolongan. Celakanya, hanya aku yang mendengar pesan dalam kode rahasia itu, lalu terseret ke dalam manik mata sekelam malam.

What do you think I should do? I hate to admit it but… I’m lost,” ujarnya setelah diam pada hembusan asap rokok ke empat.

Aku hanya mengangkat bahu. Mendadak, sebuah kotak rokok melayang, tertumbuk ke dada. Darinya. Selalu begitu jika dia kesal. Apapun bisa dia lempar. Aku tertawa, memungut kotak dengan isi setengah, dan mengembalikannya ke meja. Dia pasti akan mencarinya beberapa menit kemudian setelah rokok di tangannya padam.

“Payah! Cari solusi dong buat gue! Jangan diem aja! Kayak orang gagu deh lu, Njing!”

“Jadilah apapun yang dia perlu dan duduk diam-diam ketika dia sedang nggak perlu elu. That’s all,” jawabku.

So what’s the fucking point of what so-called friendship here? She’s the one who dragged me down and now she wants me to let her go? After I’m drowning and crying for salvation? To save both of our asses? Fuck!

Saya menggeser duduk dengan pantat bertengger di pinggir kursi, menatap ia lekat.

“Kamu sadar kamu melakukan hal yang sama padaku? Kamu sadar aku berkali-kali minta pertolongan untuk bisa lepas darimu? Kamu sadar jika aku akhirnya menyerah dan akan melakukan apapun untukmu?”

Ekspresinya tidak berubah karena semua pertanyaan itu hanya tercekat dalam tenggorokan tanpa pernah kusuarakan.

Do you really care for her? Are you really her friend? Are you ready to sacrifice your own dignity for her?”

I don’t know,” jawabnya.

Do something that I know: do it. That’s what I do for one of my friend. You.

Easy for you to say. You’ve got no dignity at all.”

Have you?”

“Haha!”

“Pulang yuk. Nanti lo kekuncian lagi. Gue lagi males begadang nemenin cewek bandel,” ujarku sambil meraih kunci motor.

Malam kembali kulalui tanpa tidur, mengingat senyum terkembang pada pagar pintu kos-kosan setelah aku mengantarnya pulang. Senyum yang kurindukan diam-diam.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?