Semacam Manifesto

... yet another carpe diem...

Hidup bermula sejak pertanyaan pertama terlontar dari mulut seorang manusia, karena saya memaknai hidup sebagai pembelajaran tanpa henti, pencarian jawab atas pertanyaan yang akan kembali menimbulkan tanya, pembuatan tesis-anti tesis-tesis baru tak berujung, chaos and order ad infinitum, hingga tiba tengkorak berhenti berfungsi sebagai penampung otak ketika Pemilik mengambil apa yang menjadi hak.

Kematian hanya perjalanan panjang lain menuju entah, seperti Baggins tua melayari kapal Elf subtil nan megah. Hanya saja kita tidak tinggal di dunia dongeng Tolkien. Tak ada kapal, tak ada Hobbit, tak ada Elf. Hanya... Kehampaan. Bagi mereka yang ditinggalkan.

Terang terdapat dalam gelap. Mereka tercipta layaknya saudara kembar, demi keseimbangan, agar retina mata semua mahluk hidup di alam raya dapat bekerja dengan maksimal, menyempit dan melebar sesuai dengan kondisi cahaya. Saya mencari terang dalam gelap yang saya selami. Dan tidak semua gelap adalah jahat, seperti tidak semua terang berarti baik.

Salah dan benar tidak ada. Semua hal memiliki nilainya sendiri. Namun saya percaya ada alasan pada tiap-tiap kejadian yang kerap tak mampu dinalar akal. Jadi, biarkan semua terjadi sebagaimana mestinya.

Cinta itu ada. Dibuat, bukan ditemukan. Dibangun berdasarkan rasa percaya dan pemahaman utuh antara dua orang atau lebih melalui proses dalam koridor waktu, bukan dipaksakan. Saya temukan cinta dimana-mana. Memilikinya? Itu tidak mungkin. Karena masing-masing manusia punya cinta sendiri-sendiri yang dia proyeksikan pada lawan jenis, pada benda, pada apapun. Saya tidak menginginkan bayangan. Karenanya saya simpan yang sejati.

Ketika saya harus berdoa, saya tidak ingin Tuhan mengembalikan saya ke jalan yang lurus. Jalan lurus adalah semua hal yang mudah didapat, tanpa tantangan, melenakan. Saya tidak sepintar itu untuk dapat belajar dari hal yang tidak meninggalkan kesan di hati dan kepala. Saya tau Dia Maha Tau. Jadi, saya biarkan semua sebagaimana kehendakNya. Lagipula, bisa apa saya?

Saya bertanggungjawab penuh akan apa yang terucap, tertulis, terketik, dan terbersit di benak karena saya melakukan semua dalam keadaan sadar dan mampu untuk membuat pilihan, tanpa paksaan, tanpa ancaman. Jika ternyata ada amarah membuncah akibat ucapan saya, tidak ada kata lain yang dapat saya haturkan selain maaf setulus-tulusnya. Namun jika ada pemikiran menggelegak keluar dari kepala lain-lain orang hanya karena membaca apa yang saya ketikkan disini, itu bukan masalah saya. The mind perceives what the eyes want to see. No offense.

Ada yang keberatan? Kamu pikir saya peduli?


ps: ah... teknologi memang membuat renungan kloset bisa jadi satu bahan posting ketimbang hanya bengong merokok menanti tuntasnya hajat. terimakasih, Steve Jobs!

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?