Once Upon An After-midnight

Ada dua perempuan merokok di beranda pada pagi pukul tiga. Yang satu gamang memegang sloki berisi Tequila dingin, sementara satunya khusu’ menyesap kopi pahit-panas-kental seperti shaman perempuan menghirup darah perawan persembahan. Saat itu dia memutuskan untuk tidak ikut mabuk agar bisa berpikir dan berbagi kejernihan hati mendengar kejujuran jiwa mabuk dihadapannya.

“Kamu tahu, Nduk? Ada yang aneh pada lelaki-lelaki beristri. Mereka selalu lebih menarik meskipun secara penampilan jauh lebih payah dari brondong-brondong ganteng yang nggak kalah pinter. Kenapa ya?” tanya Si Pemabuk.

“Mungkin karena mereka milik wanita-wanita jalang.”

Alisnya bertaut, mencerna kata-kata dalam benak setengah hilang.

“Gini lho, Mbak. Maksudku, kadang sesuatu yang tidak mungkin teraih akan membuat dia jadi megah dan agung. Dan lebih menantang. Itu yang membuat lelaki beristri selalu terlihat lebih keren. Karena status mereka membuat satu benteng default: tidak tersentuh. Yah… setidaknya begitulah menurut logika bodohku.”

“Hmmm… Gitu ya? Aku baru tahu.”

“Sekali lagi, ini logika bodoh lho, Mbak. Jangan dipercaya. Apalagi keluarnya dari mulutku yang sebusuk septikteng,” tukas Perempuan Kopi.

“Tapi ini paling aneh dari kasus-kasusku yang lain. Dia sadar sepenuhnya dia beristri, begitupun aku. Karena itu aku memendam hati. Tapi ternyata tidak seperti yang kuharapkan.”

“Memangnya kamu berharap apa?”

“Agar dia memperhatikanku sebagai adik, sebagai murid, sebagai bawahan, apapunlah! Selain jadi objek pemuas napsu.”

Pemabuk seperti bicara pada gelas dihadapannya, melontarkan kata demi kata tanpa menoleh pada teman bicaranya.

“Kamu yakin, Mbak? Bukannya kamu selalu mencari lelaki yang dapat memuaskan napsumu untuk menguasai? Untuk mendapat pengakuan bahwa kamu femme fatale?”

“Justru itu, Nduk. Dia lain. Dari awal aku sudah putuskan untuk menghamba, untuk ditaklukkan. Aku berhasil. Dia tidak.”

“Mungkin kamu terlalu irresistible buat dia, Mbak! Haha!”

Dia kesal. Bibirnya merengut menggemaskan.

“Jangan diketawain, dong. Ini kan bukan sesuatu yang lucu!”

“Lha… Kalo kamu ada di tempatku sekarang, ini lucu!”

Perempuan Kopi meletakkan gelas bertangkai ke meja yang memisahkan mereka berdua. Kakinya diangkat ke kursi hingga lututnya menyentuh pipi. Pandangannya lurus menatap perempuan di hadapannya, mencari satu kepastian tentang isi hati.

“Kamu yakin nggak cinta sama dia, Mbak?”

Pemabuk mendesah.

“Aku nggak tahu harus diberi nama apa rasa ini. Cinta? Nggak. Aku kagum sama dia. Cemburu pada pengalaman yang pernah dia kunyah seumur hidup. Luruh pada sikapnya yang santun.”

“Lalu… Kenapa kamu mabuk malam ini? Mengapa kamu begitu pathetic?”

“Karena aku marah dan aku nggak tahu mesti gimana!”

“Lho? Kenapa?”

“Karena dia bilang dia cinta!”

“Yah elah!!! Kamu percaya, Mbak?! Setahuku, lelaki kayak gitu itu buaya! Apapun dia bilang buat dapetin tidur semalam dengan perempuan cerdas macam kamu! Kamu piala buat lelaki manapun yang nggak cuma mikir tentang tampang cantik dan kaki lencir. Kamu dan pikiran-pikiran liarmu, Mbak. Ya Tuhan… Kamu nggak tahu seberapa banyak benak yang berhasil kamu buka hanya dengan mendengarmu bicara. Kamu nggak inget ada seseorang yang nggak kamu kenal hanya bisa ndomblong bego dan ngajak kamu kenalan setelah kamu jelasin ide-ide liarmu padaku padahal dia hanya nguping dari meja sebelah di kafe tempo hari? Kamu itu tadi bengong dimana sih sampe bisa kesambet gini?”

Bibir si Pemabuk kembali mengerucut.

“Kami bermain, Nduk. Dia dan aku sama-sama meninggalkan tanda. Pada ucapan, pada makna, pada tulisan. Kami ‘bicara’ dengan cara itu, melantunkan sakit dan perih yang sama kami tanggung. Dia dengan pilihannya terhadap keluarga. Aku dengan hidup yang kuseret susah payah.”

“Lalu maumu gimana?”

“Menuntaskan ini secepatnya dan menjadikan dia penyulut dendam kesumat. Kamu tahu gimana dahsyatnya obsesi berbahanbakar amarah.”

Perempuan Kopi menggaruk-garuk kepala, bingung.

“Oalah, Mbak. Ini cuma same shit different day! Kamu tahu? Saat ini aku pengen ada diantara para pengunjung blogku yang menganggap aku keren lalu ngetawain kamu yang kupuja setinggi langit bisa jatuh membodoh seperti ini.”

“Anjing! Haha!”

“Emang, ya. Tuhan itu Maha Adil. Orang yang diberkahi dengan kelebihan otak selalu nggak bisa mikir pake hati.”

“Halah! Taiiiii!!! Haha!”

Mereka cengengesan berdua, pukul tiga pagi lewat sedikit, perempuan di beranda itu.

“Mbak..”

“Ya?”

“Aku ngantuk. Bobok yuk…”

“Halah… Ini kesimpulannya gimanaaa?”

“Ya kamu bisa apa emang selain sit back, relax, and enjoy the ride?”

“Hmmm… Point taken. Ya udah. Mending bobok deh kayaknya. Yuk…”

Akhirnya mereka beranjak dari kursi rotan berhadapan, pergi ke kamar masing-masing dan menganyam mimpi tentang pangeran berbaju zirah menunggang kuda putih datang sebagai penyelamat dari diri mereka sendiri…

Ps: Hehe. Tak jadiin posting. Maafffff… *menjura*

Comments

  1. lalu, apa kabarnya dengan owm maniez?

    ReplyDelete
  2. Ah kata siapa tak tersentuh. aku sering tuh menyentuh lelaki beristri...

    ckakakakaka...
    Im ready sistha... kapan kita bisa menikmati purnama lagi?

    ReplyDelete
  3. @Mbak Wiek
    owm maniez bahagia dengan isteri dan anak2nya, fuck you very much. huahaha!

    @Sofi
    elu emang ye... terbukti berpantad gurih. kata abang lo. ga heran kalian sering sentuh2an.

    @Maz Iip
    paen?!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?