May Day, Anyone?

Hampir jam makan siang. Saya membunuh waktu rehat dari tenggat dengan merokok di gerbang pabrik. Dari kejauhan sebuah gerobak bakso didorong penjualnya, mengobrol dengan rekan sambil berjalan. Mungkin asistennya, atau calon penjual bakso lain yang sedang magang.

Ponsel butut saya berbunyi. Dari seorang kawan yang berprofesi sebagai Public Relation. Mengeluh tidak bisa shalat Jumat karena Ibu Bos sudah merencanakan Press Briefing tepat pada Hari Buruh.

"Gue udah bilang, Pit, Jakarta bakal banyak demo dimana-mana. Macet! Wartawan juga susah buat ngejar waktu ikut event kita. Tapi yah... Namanya juga bos. Ucapannya adalah sabda, dan gue kacungnya yang harus melaksanakan titah," ujarnya sambil menghela napas berat dari dalam taksi sejuk yang ditumpanginya ke salah satu hotel, tempat event akan berlangsung.

Saya hanya tertawa mendengar ironi pada suara, seorang mantan aktivis yang dulu kerap membawakan protes-protes de la Rocha dari grup RATM di panggung-panggung kampus seputaran Jakarta. That's life, Bro. Sometimes you've got to sell yourself cheap.

Saya sendiri bukannya tidak prihatin mengetahui banyak rekan seperburuhan yang haknya diambil sementara kewajiban membebani mereka tanpa henti. Dengan jam kerja panjang yang membuat mereka tidak punya kehidupan pribadi. Saya bersama kalian, kawan. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin saya adalah salah satu buruh beruntung, memiliki rekan kerja menyenangkan dan mandor baik. Occasionally.

Saya tidak mengerti makro dan mikro-ekonomi dan bagaimana cara menjalankan bisnis kapitalis. Yang saya tau, sesuai dengan namanya, mereka adalah pemilik modal atau kapital. Punya uang banyak dan strategi bisnis gila-gilaan. Beberapa korporasi bahkan membayar mahal pada sebuah badan riset untuk menengarai prilaku konsumen. Akhirnya, mereka mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk membuat pasar baru. Membuat produk baru, dan menggenjot produksi. Karena itulah banyak iklan yang mengajak manusia menjadi konsumtif. Hey, uang yang mereka keluarkan banyak sekali! Mosok nggak dapet untung?

Sementara itu pekerja-pekerja yang berada di bagian produksi harus babak bundas mencapai target, menjadi robot tanpa ada sedikitpun rasa manusiawi. Sayangnya, mereka tetap melakukannya karena harus mencari nafkah. Karena bargaining position mereka yang lebih rendah, jadilah mereka diperdaya.

Sama halnya ketika revolusi industri memicu digunakannya mesin-mesin pengganti tenaga manusia, sementara orang-orang banyak menganggur. Akhirnya, meskipun diupah minim, mereka mau bekerja dalam kondisi sangat memprihatinkan. Terutama untuk industri garmen. Dari sinilah istilah 'sweatshop' berasal (ini hasil kesimpulan saya sendiri di kelas History of English dulu, berabad-abad lalu. Jangan dipercaya. Percayalah pada Tuhan dan Wikipedia. Atau salah satu diantara keduanya).

Dari situs ini (yo,
Jim Keady!) saya mengerti ada seseorang yang rela mengorbankan kehidupan mapan-nyaman-aman asal tidak harus membohongi nuraninya dengan mengenakan sepatu yang dihasilkan dari keringat perempuan-perempuan buruh di dunia ketiga. Gagasannya sebenarnya sederhana: Memberi 'kesadaran' akan keadaan buruh pabrik-pabrik Nike di seluruh dunia pada orang-orang muda Amerika, dimana beasiswa sangat mudah diraih jika kamu cukup jago dalam salah satu cabang olahraga. Terutama di kampus-kampus. Tapi, damn, amat sangat susah ditembus. Gagasan sederhana itu bukanlah pekerjaan mudah. Dan saya hanya bisa angkat topi dan kasih jempol banyak-banyak untuk perjuangan mereka melawan taring-taring kapitalis yang menyedot habis darah para buruh di Indonesia, Vietnam, Cina, dan Meksiko.

Mungkin saya tidak bisa berpikir seperti ekonom, dimana hukum supply dan demand berkuasa layaknya tuhan. Pemikiran itu sempat diperdengarkan ke telinga saya oleh om-om dandy mahasiswa S2 yang mendapat tugas belajar di UGM dari Pemda Palu. Kami ngobrol sambil merokok di beranda warnet tempat saya bekerja. Dia menyayangkan saya yang hanya kuliah sastra dan bukan ekonomi, karena menurutnya saya memubazirkan logika humanis yang saya punya dan akan dapat melibas tesis tentang ekonomi. Ujungnya adalah tesis baru yang luar biasa. Yeah, right. Sastra aja gue nggak lulus!

Well, saya bukan aktivis. Makan siang, saya malah ditarik ke kafe dan menyelesaikan posting ini. Dilayani oleh mas dan mbak pelayan yang tidak mengerti makna Hari Buruh dan harus terus bekerja menyambung hidup.

Happy Labor Day, peeps. All workers UNITE!


Picture taken from here. The caption says: President Soekarno addressing May Day rally, 5/7/1965 in Jakarta, Indonesia in the Sports Hall Building (GOR Soekarno Senayan at the present time?). He announced his decision not to attend a peace conference with Malaysian PM Rahman in Tokyo. The announcement was viewed as a victory for Indonesia's powerful Communist Party. The silent crowd stress the unity of the working classes in their struggle to overcome "imperialism". Image: (c) Bettmann/CORBIS. Date photographed: May 7, 1965.

Comments

  1. Selamat hari buruh, semoga nasib kalian semakin diperhatikan

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women