Hihihi... *giggles*

Terbangun pukul setengah dua dinihari setelah tepar dari jam sepuluh memang bikin kesal. Enam puluh menit kemudian saya bertambah kesal karena usaha untuk kembali merem seperti mandul. Akhirnya saya bangun, menyalakan lampu, dan buka lemari. Aha! Pringles gede Original flavor! Just what I need in times like these! Saya pun merobek tutup aluminium foil paling atas dan mengunyah lembaran-lembaran kentang renyah setipis kertas dengan nikmat. Hail Pringles!

Seperti yang biasa terjadi setiap saya ngemil makanan jahanam itu (karena mahal dan jarang saya beli) adalah: Lupa berenti. Bener, kan. Tau-tau abis setengah kaleng. Anjrit! Nggak, saya bukannya takut hasil kalkulasi karbohidrat didalamnya akan menambah tumpukan lemak sekitar paha dan pinggang. Itu saya nggak peduli. Mau digimanain juga udah default. Saya cuma sebel jika beberapa hari kedepan nanti saya iseng kebangun tengah malam dan keabisan rokok, saya cuma bisa nginyem nggak ada yang dikunyah. Iya, saya tau. Masih ada sendal. But, trust me. Itu bukan pilihan bijak.

Karena stres sendiri, saya bikin susu hangat full cream segelas besar plus madu satu sendok, my last resort kalo udah mandi, siap-siap tidur, tapi gagal di ranjang (err… sounds ‘berlendir’ ya? Don’t you think). Tenang, tenang. Saya cuma tidur berdua Udoph. Boneka reindeer berhidung merah, salah satu penarik kereta Santa, sepanjang tiga puluh senti yang saya jadikan penahan deretan buku-buku yang belum saya baca, tepat di kepala tempat tidur.

Sudah habis setengah gelas dan tanda-tanda kengantukan nggak juga mampir. Argh! Mau marah rasanya. Sindrom Malem Senen saya hampir selalu seperti ini. Karena paginya harus kembali memburuh sementara leyeh-leyeh dan jalan-jalan belum tuwuk, saya seperti anak SD dibelikan sepatu baru. Nggak bisa tidur, nggak sabar menunggu matahari nongol. It happened few times with my lil sista, a long, long time ago. Sementara saya kebalikannya: Sebagai buruh telatan, selalu benci hari Senin dan mencoba menikmati detik-detik libur berakhir. Iya, buruh teladan dan telatan memang cuma beda satu huruf, tapi fatal!

Akhirnya, mau nggak mau, suka nggak suka (halah!), saya colokin juga si Pektay dan buka aplikasi Pac Man. Master mode, yang cuma dikasih cahaya seteropong, bikin si imut kuning itu nggak tau dimana setan-setan pemburunya. Biasanya sih berhasil bikin saya kecapekan karena kalah terus. Hihi. Entah karena tadi saya sempat bengong di kafe atau masih kebayang mas-mas lucu yang saya lirik di Kopaja, ternyata saya bosen nge-game. Jadilah, saya ngetik entri nggak penting ini jam setengah empat pagi. Preambulenya panjang yaaa…

Jadi, sepanjang jalan pulang-pergi ‘membodoh’ tadi, Kopaja 63 yang saya jogrogin dari terminal Blok M nggak juga keliatan bentuk dan rupanya. Padahal sudah 45 menit saya pantengin bareng 3 batang rokok yang mati syahid masuk tempat sampah dan hampir satu album Untouchables-nya KoRn menyumpal telinga. Walhasil, saya lompat deh, naek Metromini 75 ke Pasar Minggu JUST BECAUSE DI DALEMNYA ADA MAS-MAS LUCU!!! *drooling*

Okay, sorry to disappoint you, guys. But my definition about mas-mas lucu biasanya nggak sesuai sama definisi cewek-cewek pada umumnya. Saya juga baru dapet rumusannya beberapa bulan belakangan ini, ketika saya sedang mencoba mapping cowok yang bisa bikin saya nengok dua kali karena saya bosen ngelirik cewek.

First, he has to have tampang badboy. Biasanya terbantu dengan gaya belagu (tapi nggak norak), topi militia, rada gondrong, nggak kinclong, atau jenggot dikiiit aja. Yah… seperdelapan jenggotnya Syeh Puji, lah. Dan celana kain is a big no-no. Cowok badboy kayak gini biasanya pakek jins belel atau malah yang udah robek macem abis berantem sama macan. Bawa ransel hitam, bersepatu kanvas kumal atau sandal gunung. Biasanya juga cuma mengenakan kaus oblong. Kalau pun dia harus berkemeja, biasanya kotak-kotak lengan pendek, atau lengan panjang yang digulung sampai atas siku. Nggak pernah polos.

Kedua, anatomi muka. Cowok yang bisa bikin saya nengok dua kali biasanya punya garis rahang tegas, hidung tinggi, sepasang mata tengil dibawah alis tebal, dan bibir yang seperti selalu senyum ngenyek. Mas-mas tadi kayak gitu.

Ketiga, bodi. Minimal, dia harus lebih tinggi dari saya dan nggak bungkuk. Dia juga harus punya bokong nggak tepos. Meskipun padat dan kencang lebih preferable. Huahahahaha! Yang cungkring kayak orang nggak makan seminggu nggak bakal saya lirik. Saya nggak suka cowok kurus. Kebayang, kemana-mana kenanya tulang.

Keempat, nggak putih. Saya sebel sama cowok-cowok putih (Hai, A’ Abi!). Saya paling seneng jalan-jalan kemana-mana sama cowok item. Karenanya saya suka jalan bareng Si Jin Laknat yang keturunan Arab-India itu *menjura pada Oyek*. Dia bikin saya terlihat terang.

Si mas lucu itu punya semuanya, sayangnya. Waktu dia turun di Mampang, saya cermati pantatnya padat dan kencang terbalut jins belel. Iya, ranselnya hitam, sandal gunungnya Boogie, topinya Eiger. Meskipun Mampang masih setengah jalan ke Pasar Minggu, tujuan terakhir saya, tapi saya puas liatin mukanya. Hihi. Meskipun kursi di sebelahnya kosong, saya memilih duduk di deret paling belakang karena lutut saya nggak bakal mentok dan saya lebih bebas buat melototin dia ketimbang disampingnya.

Pasti pada teriak saya bego karena saya nggak ambil kesempatan baik itu buat ngajak kenalan. Gini, ya. Ada perbedaan antara cowok yang fungsinya sebagai Vitamin A (baik untuk kesehatan mata dan mental atau cuma buat diliat doank), berguna sebagai Ginko Biloba (bagus untuk ketajaman otak dan layak ditemenin), dan bermanfaat seperti mens sana in corpore sano (baik untuk jiwa-raga, karena itu FARDHU 'AIN buat dipepet).

Cowok jenis pertama itu biasanya punya ego setinggi Everest dan pintar. Jadi, selain bisa dipergunakan sebagai Vitamin A, dia juga bisa berfungsi sebagai Ginko Biloba. Tapi itu kalo udah kenal lama. Tipe-tipe seperti ini hanya bisa tertarik pada cewek-cewek mainstream yang pastinya nggak naik Kopaja atau Metromini. Mereka punya dendam untuk bisa menundukkan perempuan semacam Dian Sastro yang pintar-cantik-kaya-terkenal. Saya juga males ngajakin ngomong, karena pasti kalah terus. Tapi emang biasanya mereka udah punya pacar, sih ((=

Cowok jenis kedua ini biasanya adalah para belahan biji saya. Tampang? Bodi? Penampilan? Ancur semua! Ada yang mandinya kalo temen-temen seruangan udah mulai tutup hidung sambil mengernyit setiap dia lewat; ada yang baru sikat gigi kalo setiap bangun pagi mulutnya seperti mengulum mentega semalaman *yucks!*; sering lupa ‘ngebacem’ pakaian kotor di larutan deterjen selama 3 hari sampe baju dan celananya bladus semua; ada yang sok keren tapi tepos; ada yang fetish-nya toket segede gaban; macem-macem lah. Kalaupun ada yang ganteng, nggak keliatan sama sekali karena saya udah tau setai-tainya. Tapi bareng mereka lah saya nyaman. Dan karena mereka lah saya sadar saya masih berfungsi sebagai manusia. Setidaknya buat lawan cela-celaan. Karena saya harus berpikir kuantum untuk melawan celaan mereka yang seperti karabin, ITU yang bikin mereka jadi Ginko Biloba!

Jenis ketiga adalah yang sesuai dengan semboyan jaman orde baru, masa-masa dimana olahraga dimasyarakatkan dan masyarakat diolahragakan *rollingeyes*. Cowok macem ini biasanya mapan-pintar-berduit-matang. Oh, yang pasti berusia diatas 35 dan sudah punya anak minimal satu. Entah puber keberapa, cowok model kayak gini biasanya senang ngobrol sama cewek seusia dan semacam saya. Dan saya menyebut mereka sebagai om-om. Karena berduit, mereka nggak pernah protes saya minta nongkrong dimanapun. Dan karena mapan, mereka tetap terlihat bersih karena kemana-mana bawa mobil. Dan karena mereka pintar dan matang, mau ngobrolin apapun biasanya lancar jaya maju bersama. Dan… Karena mereka suami dan bapak seseorang, mereka adalah cowok-cowok yang ‘aman’ karena nggak bakal mendadak berlutut dan meminta saya menikah dengannya (halah! Kayak ada yang mau aja!). Aman juga buat mereka karena nggak bakal saya tandangi terus tiap hari buat minta traktir.

Yang paling penting, pengalaman bikin mereka punya banyak cerita dan banyak referensi. Ini juga bikin mereka jadi Ginko Biloba sekaligus punya ego setinggi langit. Just my kind of perfect toy *nyengir najis menjijikkan*.

Menurutmu, setelah baca uraian saya di atas, mana yang paling sering saya deketin? Iyak! Om-om! Damn, they’re good! Haha!

(Anjrit! Ini posting superbasipisan!!!)

Comments

  1. oh, iyah.. belakangan gw juga lebih tertarik sayang cowo2 mature tampang om-om daripada berondong, hahaha. they're hot just because they have experienced. jadi menggoda untuk mensejajarkan diri, dimana itu tentunya tak pernah bisa. hahahha. but that's what make it more interesting..

    ReplyDelete
  2. huhu...
    kalo saya kok hampir selalu menarik brondong ya...
    padahal males asli...
    pengennya juga yang mapan...

    *kok curhat*

    ReplyDelete
  3. @Tante Dewi
    they're hot because they're sotoy. berasa udah tau semuanya. padahal apa yg mereka tau cuma seujung kulit penis. huahuahaha!
    anyway, boys will be boys. and boys are toys. period.

    @Sinyo
    justru asik itu!!! brondong tu lebih royal daripada om2! asal tega aja lu morotinnya. makanya cari brondong yg tajir.
    haha!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?