Tentang Teman

Tepat satu jam dua puluh satu detik kami saling bertukar suara. Menemaninya misuh akibat rate ping reply mencapai 6,000 (padahal ini cuma lokal lho Pit!); mendengarnya bicara pada rekan kerja; dan terakhir, meresapi ucapan tulus seorang sahabat ketika dia buang hajat. Semua dia lakukan dengan headset menempel di telinga, mendengar makian dan helaan napas panjang saya yang merentang antara Jakarta-Semarang.

Saya lupa kapan terakhir bertemu dengannya. Namun saya masih ingat keluhannya karena saya lebih sering ngurusi tenggat ketimbang minggat ke kantornya, tempat saya kerap begadang hingga pagi. Ngumpul bersama begundal-begundal Malang dan tenggelam dalam diskusi tentang pacar-pacar mereka: server dan mainframe kelas enterprise yang lebih besar dari lemari jati.

Saya pernah menarik diri, memintanya untuk tidak bertanya-tanya tentang satu hal. Suatu hari nanti akan saya kabarkan padamu tentang apa yang sedang saya alami sekarang. Saya sedang ingin sendiri, ujar saya. Jawabannya: Nggak usah. Lo bilang kapan mau kayak gitu, saat itu juga bakal gue apus nama lo dari entri phonebook di ponsel gue dan gue format ulang otak gue biar lupa pernah punya temen elu. Simpel. Entah kenapa ada yang sakit di ulu hati mendengar perkataannya. Saya tau dia peduli. Saya tau akan menyakitkan untuknya karena saya pernah 'lepas' dari matanya.

Saya ingin mengulang kembali masa-masa geblek, berjalan dinihari dari Stasiun Manggarai mencari makan sahur. Nongkrong di emperan sekitar Ratu Plaza karena gerbang kos saya dan kantor tempat dia mondok sama-sama terkunci. Bergerombol mencari makan malam di belakang fX Sudirman dengan saya satu-satunya perempuan. Berbagi file MP3 dari kelompok-kelompok bernama aneh (Dimmu Borgir? Ayreon? Saya tau itu semua dari dia). Namun saya terlalu pongah untuk mengaku luruh di depan matanya.

Dan ketika semua sudah tidak tertanggungkan, pertahanan saya runtuh. Saya menelponnya. Perbuatan bodoh karena sebenarnya saya bisa memintanya datang atau sekedar menyapa di pondokannya sebelum dia bertolak ke Semarang. Dan di tengah pekerjaan, dia masih sabar mendengar muntahan saya.

Dia, salah satu penggenggam jiwa. Semoga semesta raya membantunya menggapai bintang.

Terimakasih, Njing! (=

Comments

  1. doohh...
    seneng banget jadi mbak pito bisa punya banyak solmet...

    ReplyDelete
  2. untunglah......

    pertahankan terus benteng sekuat tenaga hehehe

    ReplyDelete
  3. @SiNyo
    solmet are made, proved, and tested. not found.

    @Maz Iip
    hu hu hu...

    ReplyDelete
  4. Nduwe MP3 Suffocation karo Night in Gales orak Pit?

    ReplyDelete
  5. wes males ngrungokno kui. sing isih onok mung Stratovarius, Epica, Symphorce, Symphony-X, Black Label Society, Buddha Bar (Iye, gwa denger Buddha Bar kalo kepala udah berasep!!!), Ayreon (KUMPLIT!), Hooverphonic, Frou Frou (ga usah ketawa!), Tobias Samet, ama Erwin Gutawa Rockestra '83.

    minat?

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?