For the Love of Human

Konon, Tuhan lebih pemaaf dibanding manusia. Sangat mudah mendapat ampunan dariNya ketimbang dari mahluk tersempurna yang Dia ciptakan.

Kadang kebutuhan saya akan kesendirian amat sangat hebatnya hingga saya menafikan orang-orang yang peduli pada saya. Sering saya malas-malasan menerima seseorang di tempat saya, atau hanya setengah hati menanggapi obrolan. Kerap saya tidak peduli berapa kali ponsel meraung-raung minta perhatian karena adanya SMS masuk dari seseorang--sahabat, adik, Babab, teman yang saya kenal di kereta, mantan kawan satu kos...
Tapi apa yang saya lakukan?
Pencet tombol bergambar telepon warna merah rada lama hingga layar meredup lalu tulisannya menghilang. Dua-duanya.

Lalu, untuk apa punya dua ponsel?
Yang satu untuk menghubungi sahabat-sahabat dekat saya dengan budget yang sudah saya tentukan sebelumnya. Satunya lagi untuk keadaan penting dimana komunikasi suara sangat diperlukan dan dibayar belakangan. Saya yang memilih siapa yang akan saya hubungi, bukan sebaliknya. Angkuh? Sombong? Sok nggak perlu orang lain? Memang. Begitulah.

Saya selalu meremehkan arti orang-orang di sekeliling saya karena saya tau mereka selalu ada ketika saya perlu. Dan saya cukup tutup semua indra jika saya bosan dengan mereka. Semudah itu. Padahal ada beberapa kejadian dimana saya perlu seseorang sebagai teman berbagi dan cerita--atau bahkan hanya untuk didengarkan--dan saya tidak menemukannya satu pun. Saya jadi terbiasa dengan itu. Alhasil, saya tenggelamkan diri dengan buku dan musik dan komputer, berteman berbatang-batang nikotin dan bergelas-gelas kafein. Untuk melupakan bahwa saya terlupakan.

Tapi beberapa hari ini apa yang saya tonton, baca, alami dan pikirkan agak menggoyahkan kedirian saya. Manusia perlu manusia lain untuk menegaskan dirinya manusia. Kadang sebagai pembanding, sering sebagai penguat. Berbagi visi, saling mendengar, berdebat, berekspresi, bermusuhan, bersayang-sayangan, dan saling tarik-menarik kepentingan.

Dan film ini membuat saya tercengang. Meskipun yang tertampil pada layar-hampir-14" di hadapan saya hanya kenyataan rekaan, rasanya adegan demi adegan benar-benar menampilkan sisi lemah manusia dan berbagai tujuan mereka yang berbeda-beda. Ada tampilan dimana salah satu perwakilan ras kulit putih yang mengira lebih beradab ketimbang penduduk dimana dia terdampar merasa harus bergegas kembali ke 'peradaban', bahkan ketika salah satu rekan Kaukasianya terluka parah akibat peluru nyasar. Yang harus dinomersatukan adalah kepentingannya untuk kembali berada di tengah 'civilized community', meski ada satu perempuan sekarat tertembus peluru. Seorang gadis Jepang tunarungu merasa bahwa berkeliaran di tengah kota tanpa pakaian dalam adalah penting hanya untuk mendapatkan seorang lelaki yang bakal menerabas liang kewanitaannya. Meski harus mengumbar 'monster berambut'nya ke orang-orang yang melintas. Seorang ibu berkebangsaan Meksiko perasa perlu membawa dua anak asuh Amerikanya demi menghadiri pernikahan sang putra--menerobos perbatasan sekalipun dan terancam dideportasi karenanya.

Dan ternyata menjadi manusia tidak sesulit dan seagung yang dibayangkan. Penolakan beberapa lembar 'rasa terimakasih' dari sang pemandu wisata ketika si suami berhasil membawa istrinya yang tertembak ke dalam helikopter adalah cukup, meski dengan lima anak dan pendapatan yang pas-pasan dia harusnya menerima dollar itu. Kekhawatiran Amelia si penerobos perbatasan terhadap dua anak asuhnya yang dia tinggalkan di gurun adalah cukup meski dia harus dikembalikan ke negara asalnya, tempat mengerikan karena 'penuh dengan orang Meksiko'. Pelukan seorang ayah pada anak gadisnya yang disorientasi dan telanjang di balkon tertinggi sebuah apartemen di Jepang adalah cukup karena sang putri amat sangat perlu ungkapan sayang setelah trauma karena menemukan ibunya yang memburaikan isi otaknya sendiri. Menyerah di hadapan kepungan polisi dengan senjata terkokang adalah cukup, asal abangnya jangan ditembak mati--meskipun sudah terlambat.

Semua maksud dapat tertangkap dan terungkap dalam semua bahasa di dunia. Masalahnya adalah bagaimana menerima dan mengerti. Menara tertinggi itu rencananya dibuat untuk menggapai Sang Maha. Tapi karena modus di baliknya adalah kesombongan, dengan mudahnya Dia runtuhkan dengan menciptakan bahasa yang berbeda hingga maksud tidak tersampaikan dan bangunan gagal total. Sesederhana itu, sedahsyat itu.

Seseorang pernah berkata bahwa sebejat apapun personalnya, manusia jadi suci ketika dalam keadaan tersulit pun dia masih menunjukkan martabat sebagai manusia. Sambil mengusap air mata yang turun ke pipinya, dengan suara tergetar, pada pukul empat pagi itu, saya pernah menyaksikan betapa hatinya bangga dan haru saat dia berkisah tentang Yaser Arafat yang tanpa senjata menyusup masuk ke tempat persemayaman dan mengucap bela sungkawa pada janda pemimpin Israel yang kejam untuk kemudian kembali pulang. Begitu saja. Walaupun Pak Yaser juga tidak kalah jahat dan korup dan diktator. Dengan wajah tolol saat itu, saya sungguh kagum dengannya, laki-laki, yang tanpa malu menguarkan kemanusiannya dengan cara menangis--kelemahan manusiawi yang amat sangat dihindari bagi kaum Pak Adam--di depan saya, perempuan, yang baru beberapa jam dia kenal.

Kali ini tulus saya meminta pada kalian yang sudi membaca tulisan ini: Jangan sekali-sekali lelah menjadi manusia.
Bicaralah satu bahasa: CINTA.

(Playing: For the Love of God - Steve Vai)


... because some things are better left unsaid but felt (=

Comments

  1. Anonymous5:09 PM

    great film, great thought, great story...awesome babel. btw, loh kok telat ndelok mbak pit hehehe

    aku rekomen the secret...

    ReplyDelete
  2. Anonymous5:28 PM

    wew
    tu pilem oks bangeds

    dowo ne .. postingane..
    *cekikian*

    ReplyDelete
  3. Anonymous6:28 PM

    nonton cifl city of god pit, ga kalah uapikkk,,film argentina

    ReplyDelete
  4. Anonymous8:38 PM

    nonton gak kelar. mbingungi....:)

    ReplyDelete
  5. Saya tidak lelah jadi manusia. Saya hanya lelah menjadi manusia yang biasa-biasa saja.. [-(

    ReplyDelete
  6. balibul:
    gak seneng ndelok pas lagi booming je. nggak asik. opinine katutan mengko (=

    mitha:
    bwek!

    mbak gita:
    iyo. mengko tak nggolek. thx!

    maz kw:
    bingung itu nikmat!

    OmBu:
    manusia nggak ada yg biasa-biasa saja. inget itu!

    ReplyDelete
  7. Anonymous11:58 AM

    Bersimpati barang sejenak masih lebih enak, ketimbang dipaksa berempati. Itu yang lebih sulit :D

    ReplyDelete
  8. blum tak tonton, dvd nya masih nongkrong, lagi sibuk ama drama korea :D

    ReplyDelete
  9. Anonymous2:52 PM

    katanya pilemnya bagus yah...tapi aku lagi sibuk nonton pilem dari harddisknya si endiks..ntar ajah deh babelnya..

    ReplyDelete
  10. Maz Hedi:
    Sama halnya dengan Gandhi yang bersabda "Lebih baik membuat satu hati gembira daripada seribu kepala menunduk berdoa".

    (=

    Maz Iway:
    Ntar critain ya maz!

    Maz Pitik:
    Um... brarti praktek juga dunk ama maz endiks?

    ReplyDelete
  11. Anonymous11:29 PM

    akhirnya... kesadaran akan kebutuhan pasangan jiwa muncul dari seorang mprit.

    Kita tunggu aja tanggal mainnya :)

    ReplyDelete
  12. Phoenix Brotha #2:
    Hah!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?