Menjadi Jujur

Saya pernah kagum dengan seseorang yang meratap, menghiba dan merendahkan diri ketika cintanya hilang dan belum tergantikan sejak tiga tahun lalu. Saya tidak bisa begitu. Buat saya pantang menunjukkan ekspresi 'lemah' karena saya telah membatukan hati untuk hal (yang menurut saya) cengeng.

Karena saya sudah cengeng dari kecil.

Ibu saya selalu berkata 'Kamu bisa!!!!' saat saya jadi yang termuda dengan badan terbongsor di kelas satu. Tanpa TK. Ketika teman-teman saya sudah pandai memegang pensil, saya masih gemetar dan gugup menulis, hingga tulisan saya salah-salah terus, tangan saya berkeringat, kertas jadi ikut basah dan selalu robek saat saya hapus. Kalau sudah begitu, ibu guru saya yang galaknya kayak macan betina kelaparan baru melahirkan bernama Bu Dar, pasti murka. Alhasil saya tambah down.

Sebagai anak 'gedong' (gede dan dongo), saya selalu di-bully oleh beberapa teman sekelas. Setiap pulang dari sekolah selalu ada ATK saya yang raib diambil kawan. Saya nggak berani ngomong karena pasti ibu menyuruh saya mengkonfrontasi mereka. Tapi sayangnya saya nggak punya nyali meskipun ibu berusaha mendoktrin saya dengan seruan 'Ayo lawan!!'.

Ibu saya memang luarbiasa. Sebagai ibu muda, dia sangat bertanggungjawab atas anaknya yang ketika lahir bahkan tidak genap satu setengah kilogram. "Seperti bayi tikus," ujarnya sambil tertawa, saat dia bernostalgia di ulang tahun saya yang ke tujuh. Ketika teman-teman sebayanya sibuk ngecengin cowok-cowok dan cekikikan membaca Nick Carter, ibu harus meninabobokan saya dengan nyanyiannya atau suara ABBA, Beatles, Queen hingga Rolling Stones dari tape recorder butut. Ditambah lagi beban psikologis yang harus ditanggung ketika oksigen pertama saya tarik masuk ke dalam paru-paru: Anak yang cacat.

Iya. Saya cacat. Mungkin imbas karena lahir prematur itu, Tuhan terburu-buru dan lupa membuatkan saya jari berformasi lengkap karena di tangan kanan saya hanya ada tiga--itupun tidak semua sempurna. Karena itulah saya mengalihfungsikan tangan kiri--yang juga tidak sempurna. Tidak hanya untuk mengurusi yang kotor-kotor, saya juga kadang makan dengan tangan kiri. Kecuali menulis, karena Bu Dar mengharamkan saya memegang pensil selain dengan tangan kanan. Tapi saya (terpaksa?) senang dengan sepasang tangan saya. Tidak ada jari tengah! Jadi saya nggak bisa memaki dengan bahasa isyarat. Sungguh... tangan yang sopan. Haha!

Hey! Saya nggak mau kamu merasa kasihan karena saya menulis tentang ini. Deretan kata-kata nggak berguna ini layaknya tempelan poster acara musik di dinding bangunan yang belum jadi: Menginformasikan sesuatu yang nggak wajib diketahui tapi juga nggak haram disebarluaskan.

Bertaun-taun saya berusaha jadi normal, jadi sempurna, atau setidaknya menutupi kekurangan saya. Sempat saya mengamnesiakan diri dengan melupakan adegan dimana nenek saya sendiri membekali sapu tangan demi menutupi cacat cucunya. Atau saya yang berjalan pulang tersedu dengan seragam putih merah dan beberapa anak-anak sebaya di belakang saya berteriak 'Buntung!' dengan raut tak kalah bengis dari Hitler ketika mencetuskan Führerprinzip. Dan akhirnya saya menghujat Pacar saya itu ketika cowok yang saya taksir sangat jago majas-majas pelajaran Bahasa Indonesia dan menilai saya secara pars pro toto; bukan totem pro parte. Sejak saat itu, kelas satu es em pe, saya mengibarkan bendera perang dengan masyarakat yang menganggap diri 'normal'. Jika saya memang dianggap cacat, maka saya akan cacat dengan gembira. Saya pelajari peraturan mereka dan saya lakukan yang sebaliknya. Haha!

Mungkin proses hidup sejak saya bayi hingga sekarang, dengan keadaan saya, dengan pertempuran saya melawan dunia sendirian, membuat saya jadi apa yang dia sebut contrarian. Saya memilih untuk (kadang) remuk menjadi diri saya sendiri daripada tegak bersama 'kenormalan' seragam. Lagipula, apa sih definisi normal? Ketika ada 99 orang gila dan hanya 1 orang normal, menurutmu mana yang disebut waras?

Sudahlah. Saya hanya mau jujur tentang siapa yang selama hampir dua taun ini ngomyang dan misuh-misuh nggak jelas di halaman ini. Apalagi setelah sebotol Smirnoff telah tandas di pagi buta. Sejak saya kenal Internet tahun 2000 saya merasa bebas dan bisa jadi apapun dan sering lupa bahwa saya juga punya kekurangan. Ini cuma cermin saya pribadi yang coba saya broadcast untuk menguji sampai dimana batas saya bisa jujur mengakui kelemahan yang menguatkan ini. Dan sampai batas mana kamu bisa menerima saya. Tanpa topeng (=

Maafkan saya jika 'ketidaknormalan' ini tanpa disadari telah masuk ke dalam alam bawah sadarmu, duhai manusia iseng. Lagipula, cobalah masuk room Bandung. Temukan nick \666\ dan lawanlah dia bermain scramble. Kamu nggak akan sadar jika lawanmu itu kalah secara instrumen tapi ngotot ingin cepat menjawab... TANPA TYPO!!!

*nyengir iblis*


... dan masih ada empat artikel lagi yang harus diselesaikan sementara pagi sudah meninggi...

Comments

  1. Anonymous9:35 AM

    salut!

    ReplyDelete
  2. Whew! Pagi amat bangunnya!!

    Hmm.. A friend is a friend. And that depends on who you are deep inside. Fullstop.

    ReplyDelete
  3. Maz KW:
    ah, ini buat meredam apa yang bakal kamu tulis 3 minggu lagi. ben nggak blow-up banget. haha!

    OmBu:
    blun tidur, om. abis dengerin ujan.
    um...
    thx.
    (=

    ReplyDelete
  4. kalo saya suka numpang baca-baca disini, apa berarti saya suka contrarian?? **knock-knock**

    ReplyDelete
  5. wah... saya sih terserah maz iway aja. mo anggap diri jadi contrarian, monggo. mo jadi orang bebas, silahkan. aku gak brani kasih label, maz.

    (=

    ReplyDelete
  6. Anonymous1:16 AM

    Tidak ada yg sengaja menjadi lemaah.. Hanya saja, masih ada saja gitu orang yg memaksa kita untuk lemaah.. Try me!

    ReplyDelete
  7. A' Masrur:
    Aw c'mon! We've met before, kan? And no tears on me kan?

    (=

    Mbak Ceniq:
    Itu kan tergantung orangnya mau diajak jadi lemah atau tidak. Atau mungkin belum tahan sama godaan menjadi lemah. Wanna share? I'm trying to be an open-source koq. Hehe...

    ReplyDelete
  8. Ayo pit, tegar terus...

    buat saya:
    normal fisik, normal pikiran = normal
    normal fisik, cacat pikiran = cacat
    cacat fisik, normal pikiran = keren
    cacat fisik, cacat pikiran = normal

    saya percaya kamu adalah orang keren
    hohohohoho

    *bagi teh pit, saya gak kuat ngopi*

    ReplyDelete
  9. me mean it.. if reread this.. always tears on me not on you (of course),
    so free me to shout a loud "WHY?"
    'Better to save the mystery
    Than surrender to the secret - Another Day by Dream Theater'

    ReplyDelete
  10. Papa Nau-nau:
    Yang penting KEREN!!!
    Papa Nau-Nau Rawk!
    *grins*

    A' Masrur:
    Thx, A'! Kenapa baru skarang saya tawu Aa' demen DT?! Kalo dari dulu-dulu kan saya bisa palakin DVD kalo dikaw ke Jogja. Hehe...

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women