Nggak Penting
Saya mau cerita tentang rak sepatu.
Pada tiap-tiap pintu yang sejajar dengan kamar saya, di sebelahnya terdapat minimal satu rak sepatu. Mbak Bunga, kamar paling ujung, bahkan punya dua. Total lima belas pasang, terdiri dari selop-selop cantik dan sandal terbuka. Ditambah sandal jelek dua pasang untuk pergi ke kamar mandi maupun belanja sayur. Karena beliau bekerja sebagai corporate secretary, bisa kebayang tampilannya feminin dan chic meskipun sudah lama berjilbab.
Sebelah saya persis, Mbak Lisa, nggak begitu suka koleksi sepatu. Jadi, raknya juga sepi. Sekretaris firma hukum ayu, kenes, berkacamata ini hanya punya dua pasang sepatu model ballerina yang nggak neko-neko dan dia pakai hampir tiap hari. Jika kadang harus meeting dengan boss besar, paling banter dia hanya mengenakan flat shoes formal warna hitam dengan hiasan pita kecil di atasnya. Tapi dia punya sepasang peep toe seksi warna hitam dan dua pasang sandal trepes yang biasa dia pakai jalan-jalan. Jadi total ada enam pasang alas kaki ada di raknya.
Di depan kamar satu lagi, Mbak Anggi, seorang researcher pada konsultan kebijakan pemerintah cuma punya dua pasang sepatu trepes warna hitam dan khaki serta sepatu terbuka warna coklat dan satu selop hitam. Semuanya berlabel merah di kanan dan hijau di kiri. Kecuali selop (kayaknya nggak mungkin Kikckers bikin selop berpayet buat kondangan). Dia fanatik pada merek itu. Ketiganya dia kenakan bergantian untuk ngantor, ke gereja, atau jalan bareng pacarnya (dan mereka jadian karena saya! Haha!). Ada juga sepasang sepatu jogging putih berlarit jambon bertuliskan RBK pada bagian atas tumit biasa dia kenakan untuk fitness, serta sandal perempuan berwarna coklat muda.
Di seberangnya ada Kak Mutia, perempuan Medan yang selalu halus bertutur. Sama seperti Mbak Bunga, dia juga maniak mengoleksi sepatu. Terutama sepatu terbuka dengan pita-pita cantik dan beberapa sandal trepes. Kak Mutia ini paling beruntung. Dia punya ‘abang-abang’ gaul yang suka sekali membelikannya sepatu bermerek, berapapun harganya. Dan pilihan mereka selalu tepat. Pernah suatu kali dia menenteng kotak Vinnci berisi sepasang sepatu mewah beludru sewarna anggur. Atau Rotelli tinggi yang—damn—seksi sekali di tungkainya. Semua hasil traktiran dan tanpa diskon. Kak Mutia ini juga feminin sekali. Dia pergi ke salon untuk meluruskan rambutnya sebulan sekali, ke spa untuk totok aura bareng Mbak Bunga, dan ke dokter akupunktur untuk menurunkan berat badan. Padahal, meskipun terlihat besar, dia cantik menurut saya.
Tepat pada kamar sebelah kanan saya ada Mbak April yang bekerja sebagai marketing di Dompet Duafa. Setiap akhir pekan dia mengajar pada salah satu universitas swasta di daerah Jakarta Selatan. Mbak April ini suka sekali mengoleksi sepatu tinggi dengan ujung runcing. Semua sepatunya, sesuai dengan saran Mbak Bunga, dimasukkan ke dalam plastik dan dijajarkan dengan rapih. Apik, warna-warni. Saya suka melihatnya berangkat bekerja. Mbak April memilih sepatu senada dengan jilbab lebar penutup kepalanya yang cerdas.
Kemudian saya pandangi rak milik saya sendiri. Sepasang boots tentara warna hitam, dua pasang Converse tinggi (satu kulit coklat buluk dan satunya hijau army), sepasang Everlast kanvas hitam yang sudah jebol namun lebih sering saya pakai karena enak sekali untuk jalan, sepasang sandal gunung Avtech, sepasang trekking Reebok coklat, dan tiga pasang sandal jepit yang sering sekali kelayapan di depan kamar para mbak-mbak.
Kecuali boots yang dihadiahi Mamih untuk saya pakai kondangan, semua saya beli diskonan. Converse coklat itu saya tunggu tiga tahun sampai harganya terjangkau untuk kantong saya. Converse hijau nggak begitu lama, hanya enam bulan. Everlast karena diskon dan saya ingin kanvas hitam tapi ogah beli Converse. Reebok trekking karena saya mengincar model seperti itu sejak saya SMA (ini penantian paling lama), sementara Avtech karena saya suka modelnya. Dan, believe me, harga sepatu saya paling mahal adalah yang termurah diantara koleksi sepatu mbak-mbak saya.
Entah kenapa tengah malam ini, sambil merokok di beranda, saya iseng memandangi jejeran rak sepatu di depan masing-masing kamar. Rasanya saya kok tidak masuk himpunan, ya?
[pusing mo kondangan nggak punya sepatu dan males pake sepatu cewek. haha!]
Pada tiap-tiap pintu yang sejajar dengan kamar saya, di sebelahnya terdapat minimal satu rak sepatu. Mbak Bunga, kamar paling ujung, bahkan punya dua. Total lima belas pasang, terdiri dari selop-selop cantik dan sandal terbuka. Ditambah sandal jelek dua pasang untuk pergi ke kamar mandi maupun belanja sayur. Karena beliau bekerja sebagai corporate secretary, bisa kebayang tampilannya feminin dan chic meskipun sudah lama berjilbab.
Sebelah saya persis, Mbak Lisa, nggak begitu suka koleksi sepatu. Jadi, raknya juga sepi. Sekretaris firma hukum ayu, kenes, berkacamata ini hanya punya dua pasang sepatu model ballerina yang nggak neko-neko dan dia pakai hampir tiap hari. Jika kadang harus meeting dengan boss besar, paling banter dia hanya mengenakan flat shoes formal warna hitam dengan hiasan pita kecil di atasnya. Tapi dia punya sepasang peep toe seksi warna hitam dan dua pasang sandal trepes yang biasa dia pakai jalan-jalan. Jadi total ada enam pasang alas kaki ada di raknya.
Di depan kamar satu lagi, Mbak Anggi, seorang researcher pada konsultan kebijakan pemerintah cuma punya dua pasang sepatu trepes warna hitam dan khaki serta sepatu terbuka warna coklat dan satu selop hitam. Semuanya berlabel merah di kanan dan hijau di kiri. Kecuali selop (kayaknya nggak mungkin Kikckers bikin selop berpayet buat kondangan). Dia fanatik pada merek itu. Ketiganya dia kenakan bergantian untuk ngantor, ke gereja, atau jalan bareng pacarnya (dan mereka jadian karena saya! Haha!). Ada juga sepasang sepatu jogging putih berlarit jambon bertuliskan RBK pada bagian atas tumit biasa dia kenakan untuk fitness, serta sandal perempuan berwarna coklat muda.
Di seberangnya ada Kak Mutia, perempuan Medan yang selalu halus bertutur. Sama seperti Mbak Bunga, dia juga maniak mengoleksi sepatu. Terutama sepatu terbuka dengan pita-pita cantik dan beberapa sandal trepes. Kak Mutia ini paling beruntung. Dia punya ‘abang-abang’ gaul yang suka sekali membelikannya sepatu bermerek, berapapun harganya. Dan pilihan mereka selalu tepat. Pernah suatu kali dia menenteng kotak Vinnci berisi sepasang sepatu mewah beludru sewarna anggur. Atau Rotelli tinggi yang—damn—seksi sekali di tungkainya. Semua hasil traktiran dan tanpa diskon. Kak Mutia ini juga feminin sekali. Dia pergi ke salon untuk meluruskan rambutnya sebulan sekali, ke spa untuk totok aura bareng Mbak Bunga, dan ke dokter akupunktur untuk menurunkan berat badan. Padahal, meskipun terlihat besar, dia cantik menurut saya.
Tepat pada kamar sebelah kanan saya ada Mbak April yang bekerja sebagai marketing di Dompet Duafa. Setiap akhir pekan dia mengajar pada salah satu universitas swasta di daerah Jakarta Selatan. Mbak April ini suka sekali mengoleksi sepatu tinggi dengan ujung runcing. Semua sepatunya, sesuai dengan saran Mbak Bunga, dimasukkan ke dalam plastik dan dijajarkan dengan rapih. Apik, warna-warni. Saya suka melihatnya berangkat bekerja. Mbak April memilih sepatu senada dengan jilbab lebar penutup kepalanya yang cerdas.
Kemudian saya pandangi rak milik saya sendiri. Sepasang boots tentara warna hitam, dua pasang Converse tinggi (satu kulit coklat buluk dan satunya hijau army), sepasang Everlast kanvas hitam yang sudah jebol namun lebih sering saya pakai karena enak sekali untuk jalan, sepasang sandal gunung Avtech, sepasang trekking Reebok coklat, dan tiga pasang sandal jepit yang sering sekali kelayapan di depan kamar para mbak-mbak.
Kecuali boots yang dihadiahi Mamih untuk saya pakai kondangan, semua saya beli diskonan. Converse coklat itu saya tunggu tiga tahun sampai harganya terjangkau untuk kantong saya. Converse hijau nggak begitu lama, hanya enam bulan. Everlast karena diskon dan saya ingin kanvas hitam tapi ogah beli Converse. Reebok trekking karena saya mengincar model seperti itu sejak saya SMA (ini penantian paling lama), sementara Avtech karena saya suka modelnya. Dan, believe me, harga sepatu saya paling mahal adalah yang termurah diantara koleksi sepatu mbak-mbak saya.
Entah kenapa tengah malam ini, sambil merokok di beranda, saya iseng memandangi jejeran rak sepatu di depan masing-masing kamar. Rasanya saya kok tidak masuk himpunan, ya?
[pusing mo kondangan nggak punya sepatu dan males pake sepatu cewek. haha!]
huehehe...
ReplyDeleteaku kemarin kondangan pake kebaya sama sendal gunung...
sampe ditegur bosku, "Atasnya sudah cantik kok bawahnya kayak mau hiking..."
nggak apa2lah... dapet cantiknya... :p
nyong, elu make rok gak ? hakhakhakakhakhakhakhakhak
ReplyDeletemake dunk.
ReplyDelete