Journey I

Saya sungguh beruntung. Pagi-pagi buta saya datang di kota yang jalur bis dan angkotnya saya nggak hafal sama sekali. Namun ada seseorang yang belum pernah saya temui sebelumnya menanti di sana dengan sabar. Mengajak saya sarapan, menunggu saya membeli tiket pulang, mengantar saya ke tempat yang saya tuju, dan sama sekali nggak mau saya ganti uang bensinnya. Gilanya, kami seperti sudah kenal lama. Bercerita perihal keluarga, kakak yang jarang pulang, pacar yang beralih ke lain hati, harapan, pekerjaan, dan semua hal yang biasa dibicarakan dua karib.

Siangnya, setelah dia harus pulang untuk bekerja, saya bertemu raut teduh pada terik panas Semarang—yang mallnya pun sama panasnya. Akselerasi kami bertukar informasi cepat sekali, karena dia hanya punya waktu satu jam yang dia curi dari jatah menghadap Tuhan mendengarkan khutbah Jumat.

Beberapa jam sesudahnya, satu jiwa yang berhasil saya sesatkan melalui tulisan-tulisan sampah disini melenggang santai sambil tersenyum kemudian duduk di samping saya. Dia, perempuan cantik dengan sepasang bintang pada matanya. Menyesap Irish Coffee dengan sedotan. Menikmati getir nikmat Rum menyengat hangat langit-langit mulut pada senja membasah. Menyisakan samar lipgloss jingga pada pangkal rokok di asbak. Mengurai cerita tentang tarik-menarik antara jadi diri sendiri dan jadi apa yang distempel orang lain di keningnya.

Kami berdua, membelah jalan raya sekejap untuk sampai pada peraduan saya malam itu. Dia harus pergi ke salon untuk persiapan resepsi besok, sementara saya melepaskan penat di sebuah kamar nyaman yang saya tempati dua malam tanpa harus membayar.

Ketika saya membosan di sebuah pesta dan hanya membaca buku dengan Jonathan Davis menggeram menyumpal telinga dan nikotin di tangan kiri, dua orang penyelamat saya datang. “Sebentar, kami akan evakuasi kamu,” ujar salah satu diantara mereka dalam SMS yang masuk sebelumnya. Mereka tidak datang gagah-gagahan dengan kuda putih besar maupun berbaju zirah mengkilat membawa tameng dan pedang bertatah batu mulia. Sama sekali tidak. Wolverine dan Cyclops itu—yang dalam benak saya menjelma Thomson and Thompson dalam komik Tintin—sempat bingung mencari tempat memarkir sedan gelap (yang mekanisme pintunya mirip angkot karena harus dibuka dari luar). Dan mereka adalah om-om beranak dua, berkacamata gelap, dan cekikikan melihat saya rikuh berjalan menenteng tas tangan coklat dengan rok batik coklat dan blus putih. Oh, dan Converse buluk saya yang terkenal itu!

Setelah menghiba agar diizinkan berganti jins dan kaos, kami menikmati sepotong sejuk di sebuah taman. Kami bicara mimpi, bicara keinginan, bicara tentang driver modem yang ngadat sambil sesekali melirik kumpulan ABG berseragam putih-abu sebelum terusir karena para pedagang kukut.

Hasrat nongkrong para om-om yang menggila membuat sedan melaju kembali menuju rumah seorang perempuan hebat dengan tiga anak hebat. Well, ini bedanya kumpul dengan teman sebaya dan dengan orang dewasa. Yang terakhir selalu membuat acara nongkrong menjadi seperti silaturahmi penting dan dilakukan saat masih ada matahari di langit.

Saya seperti balita sok tau di hadapan mereka: Wolverine, Cyclops dan Storm yang kata-katanya adalah badai dan ucapannya petir. Di penghujung pertemuan, Storm ini masih saja bijak dan menganggap kami jawaban yang dikirim Tuhan atas pertanyaan dan kegelisahannya. Whoa! Padahal selama ini saya menganggap diri sebagai cobaan Tuhan untuk orang-orang yang bersinggungan dengan saya. Hihi.

Pukul delapan malam saya kembali. Saya letakkan penat di kasur dengan ranjang kayu. Bukan ranjang cor-coran semen sebagaimana roadtrip akhir tahun dimana suara ‘ah-uh’ terdengar dari kamar sebelah menyebelah dan berhasil membuat saya menginjak cairan licin di lantai yang saya tidak ingin tau namanya.

Mungkin apa yang saya alami tidak keren sama sekali. Cuma kejadian-kejadian standar yang sering dihadapi siapapun, kapanpun. Namun buat saya, orang-orang yang saya temui membuat saya akan terlihat keren suatu hari nanti karena dari mereka saya banyak belajar. Terutama untuk tidak menikah. Lagipula, buat saya, perjalanan bukanlah KEMANA dan APA, tapi SIAPA yang saya temui. Lagipula, keindahan itu sama. Di desa dan di kota.

Karena satu alasan mulia saya bertandang: Pernikahan. Karena Fany dan Mas Yudhis. Janji pada Tuhan yang kalian ucap untuk saling bersama dalam satu ikatan suci paling agung membuat saya bisa terdampar menyenangkan. Nggak habis-habis terimakasih saya pada kalian. Nggak percuma saya jauh-jauh datang menikmati tengkleng, peking duck, puding, muka cemas Gun yang merasa kehilangan ponsel (padahal saya duduki. hihi), Peter yang grogi saya navigatori, dan cowok-cowok bloger Jogja yang saya ancam akan saya jual untuk membeli MacBook Pro 17”. Damn, guys! You're all something!

Dan, jika janji Sahabat saya itu benar, bahwa segala hal-hal baik akan terjadi pada orang-orang baik, maka pernikahan kalian akan dibanjiri pula dengan kebaikan. Selamat dan terimakasih (=



Ps: hey, sakit punggung di dekat pinggang itu bukan berarti ginjalmu bermasalah. Mungkin hanya pertanda flu karena sering iseng begadangan pamer yoghurt dingin lewat SMS. But, still. You’re one of my superheroes, Doc.

Comments

  1. always a pleasure to meet u, Pito...
    Wait me in Jakarta ya...

    ReplyDelete
  2. turun dari panggung itu dan diapun melengos...sungguh utk menjabat tangannyapun aku tak sempat

    *komen ala pito* kekekeke~

    ReplyDelete
  3. huahahahaha!!! mas didut, maabh. aku nggak nyangka ada yang mengenali dirikuw. tak pikir dikaw keluarganya mempelai, bukan blogger. hehe. maabh yaaaa...

    ReplyDelete
  4. iyah, perjalanan adalah siapa yang kita temui. jadi, kapan kamu jalan ke bali. ada promo airasia loh.. murah sangat, tapi dari bandung :D

    ReplyDelete
  5. foto pake rok nya manaaaaa? hehe..

    ReplyDelete
  6. Nyaaaah pantes di mana-mana ndak ada photo nya Pito, menghilang ternyata :|

    ReplyDelete
  7. pengen lihat deh pito pake rok... *kabur*

    ReplyDelete
  8. errr... ini kenapa jadi banyagh nyang komeng gini yah?
    *garugarug*

    ReplyDelete
  9. dudu komeng, mung menggeram nyumpel kuping

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women