Family Matters

Baru di ujung gang, saya lihat tukang ketoprak sibuk pada gerobaknya tepat di depan rumah. Padahal Babab sedang berapi-api menjelaskan pembelaannya ketika saya teriak dari belakang Thunder merah, “Babab bauuuuu!!!”.

Ibu pasti nggak sempat masak. Padahal saya pulang karena kangen masakan rumah. Mie Ayam dan Gado-gado, makanan pokok saya tiap hari, perlu didetoks oleh makanan layak dibumbui cinta Ibu yang sekarang potongan rambutnya mirip inang-inang Batak. Sayang, ngomongnya masih Betawi logat Jawa. Meskipun sudah jago bikin arsik halal.

Turun dari motor, saya hanya sempat mencopot sepatu trekking kesayangan, melepas kaus kaki, lalu bersih-bersih seadanya ketika ketoprak pesanan saya datang. Kami makan bersama di ruang tengah. Saya, Icha, Ibu, Babab, dan Hasan sepupu saya. Anak dari abang Ibu, Pakdhe yang agoraphobia.

Lewat pukul dua belas malam dan kami mentertawakan Hasan yang gaya-gayaan jalan kaki lebih dari empat kilo karena dipikirnya Angkot masih lewat jam sebelas. Dia satu-satunya cowok yang lumayan produktif di keluarga saya. Untuk ukuran anak delapanbelas tahun, jago ngeles dan ngeyel, dari keluarga berantakan, putus sekolah, playboy cap sendal dan selalu jadi bulan-bulanan mbak-mbaknya yang usil, dia cukup tangguh. Meskipun tingginya hanya lebih sedikit dari kepala saya dan kalah oleh Icha yang menjulang 172 cm.

“Lu ngapain jalan kaki jauh-jauh banget? Nggak punya duit buat ngojek?” tanya saya.

“Ya sayang aja, Mbak. Hasan kan udah capek-capek nyari, mosok cuma diabisin buat ngojek doang?” jawabnya.

Oh, saya lupang bilang. Hasan mencari uang tambahan dengan bekerja sebagai pencuci motor siang hari. Spesifikasinya adalah steamer. Malamnya, ngamen. Dia betulkan sendiri gitar Yamaha butut saya yang teronggok setelah saya dan Icha menyerah. Katanya, dia ingin ‘melebarkan sayap’ dan cari uang saku tambahan untuk naik kapal pulang ke Gorontalo, tempat ibunya. Mereka terpisah sejak Hasan balita. Bukan karena perceraian, namun karena sang ibu dipanggil pulang mengurus kebun kopi di perbukitan Rante Pao. Tapi saya curiga. Beliau pergi membawa anak perempuannya meninggalkan Pakdhe saya karena, meskipun ganteng, setengah gila.

Ada tiga perokok di ruangan itu, namun hanya saya dan Babab yang merokok dengan nikmat. Sementara Hasan menghormati Om dan kakak sepupunya sambil menahan diri untuk tidak membakar rokok yang saya sodorkan. Anak pintar. Dia tau, mengambil rokok saya sama dengan mengikat perjanjian dengan setan. Dia pernah kapok karena prinsip saya yang ‘there is no free cigarette’ harus dia bayar dengan mengerjakan soal Bahasa Inggris semalaman.

“Anak ini keterlaluan rajin nyari duitnya. Kemaren dia bilang sama Ibu, ‘Tante, gelas Aqua berantakan dimana-mana! Hasan pengen rongsokin. Lumayan tuh duitnya!’ Ibu bilangin, jangan serakah. Udah siang nyetim, malem ngamen, kamu masih mau ambil jatah rejeki tukang rongsokan pulak! Nggak boleh!” ujar Ibu saya bercerita.

Hasan hanya cengar-cengir malu. Saya agak kaget juga melihatnya. Damn. How time flies. Dia duduk bersila mengenakan jins saya semasa SMP. Mukanya nggak jerawatan lagi seperti setahun lalu ketika dia teriak-teriak saya ajak naik Tornado di Dufan. Kulitnya langsat turunan mamanya, berhidung mbangir seperti Pakdhe saya. Nggak heran pacarnya dimana-mana.

“Mending lu rapihin, San. Terus lu kumpulin di depan, deket tempat sampah. Biar tukang rongsokan enak mungutnya. Lo juga dapet pahala!” jawab saya,

“Iya. Jangan lupa lu bungkus kertas kado terus kasih pita merah! Haha!” Icha menambah, membuat wajahnya semakin merah.

“Udah ah, Hasan tidur aja. Dicela mulu!”

Belum sempat dia beranjak, tangannya melindungi diri dari hujan korek, bungkus rokok, dan ikat rambut dari Icha dan saya berbareng dengan sorakan “Wuuu… Chicken! Payah!” yang keluar dari mulut-mulut brutal kami.

Ketika pertempuran mereda dan Hasan masuk kamar dengan selamat, saya ajukan protes pada Ibu.

“Kenapa nggak masak? Kan Ibu tau aku mau pulang?” tanya saya sambil merengut.

“Halah! Anak kurang ajar! Minggu kemaren Ibu masak gudeg karena kamu bilang mau pulang. Eh, malah nggak jadi. Ya udah, Ibu kapok.”

“Yey, inang-inang nggak pantes ngambek. Mending bikin arsik, sana. Arsik be dua. Bacanya arsik beibeh,” tukas Icha sambil mengikik.

“Jangan. Ntar pilek,” sahut Babab yang sedari tadi hanya ikut tertawa.

Protes saya dibela Babab. Beliau bilang mereka berdua pergi sedari pagi, menjemput Mbak Sus, sepupu Babab satu kakek beda nenek (Babab dari Nenek ke lima dan Mbak Sus dari Nenek ke dua. Iya. Mbah buyut saya memang playboy abis). Adi, anak lelakinya, diterima di STAN dan mereka menengok asrama yang dekat dengan kediaman Pakdhe Bo’ing—sepupu Babab yang lain—di Jurangmanggu sana.

Mbak Sus ditinggal suaminya ketika Mitha, si bungsu, masih di dalam kandungan. Sejak itu ia tidak pernah menikah lagi meskipun kecantikan membuat beberapa lelaki membawa pinangan ke kakinya. Saya mengenalnya lumayan dekat sewaktu almarhum Mbah Kakung di Tegal sering gerah dan saya selalu beliau panggil pulang. Sekarang perempuan hebat itu punya Dian, si sulung, yang menjadi guru kimia sebuah STM Pertanian di Tegal, lulusan UNES Semarang; Niar, yang meskipun hanya lulusan D3 sekarang bekerja di salah satu perusahaan dengan gaji lumayan; Adi, satu-satunya jagoan, diterima di STAN; dan Mitha masih kelas 2 di salah satu SMP favorit di Tegal.

“Pakdhe Bo’ing nanyain kamu terus, tuh. Mau disuruh nyanyi Richard Marx lagi katanya. Budhe Nunung juga kangen sama kamu. Kan kamu udah dianggap anak perempuannya, abis Mas Dimas sama Mas Regi. Heran… Sama sodara-sodara sendiri kok ketemunya cuma pas ada hajatan sama Lebaran aja,” kata Ibu.

“Yah, Budhe Nunung sih salah kalo nganggap Mbak Ipit jadi anak cewek. Icha aja kenapa, sih?!” sahut adik saya sebal.

Saya hanya tertawa. Alasan Icha terutama bukan itu. Pakdhe Bo’ing selalu lebih royal pada kami ketimbang pada keponakan-keponakan lain. Bahkan ketika saya sudah kuliah pun ‘jatah’ Lebaran—yang selalu berlebih dua lembar limapuluhribuan ketimbang Icha—masih mengalir. Hihi. Oh, dan saya, duluuuu sekali when I was young and stupid (and now it leaves only stupid), pernah cinta monyet-monyetan pada Mas Regi yang—ehm!—ganteng. Meskipun menurut ibu saya: Anak SMP cinta-cintaan mah apaan sih?! Yang penting keliatan punya titit juga bakal dia pacarin!

Jam empat pagi rumah ini mati. Hanya dengkur lembut terdengar dari kamar-kamar tertutup. Icha sudah sejak tadi lelap di sebelah saya. Dia harus berangkat pagi ke toko, menghitung stock opname yang menjadi tanggungjawabnya sebagai SPG butik di mall. Babab mengumpulkan tenaga karena masih harus jadi ‘guide’ untuk Mbak Sus dan mengantarnya naik Tegalarum jam tiga sore. Ibu juga harus bangun pagi untuk ke pasar, memenuhi tuntutan saya terhadap masakan beliau.

Saya mendadak klaustrafobik. Semua ini terasa menyesakkan. Bukannya tidak menyenangkan. Saya hanya ingin menjaga apa yang sedang saya rasakan, mengawetkannya dalam keempat bilik jantung, melindunginya dengan kungkungan kawat berduri melingkar di benak saya agar tidak nggladrah kemana-mana. Saya rindu rasa ini, setelah berbulan-bulan menggelandang mencari diri. Tidak saya sangka, ternyata hati saya ada di rumah.

Pada jejeran cenderamata pernikahan yang mengisi sebagian besar lemari display tempat Babab meletakkan kamera pencari nafkah; pada kokok monoton dua ayam pelung berjengger lebar di halaman depan; pada tumpukan keranjang anyaman dan perca pengisi waktu Ibu membuat paket Seserahan; pada gitar butut di pojok ruang tengah; pada potongan mangga manis-dingin dari halaman depan; pada buku-buku yang saya kumpulkan sejak lulus SMP; pada Gundud si kura-kura Brazil sebesar piring makan berusia tujuh tahun dan bertampang bijak; pada sepeda yang dulu mengantar saya latihan silat atau tanding basket bersama anak-anak komplek tiap sore; pada Momon McCleod boneka monyet pelipur lara semasa kuliah; saya sadar satu hal. Pulang selalu membuat saya recharged untuk kembali menantang dunia.

Comments

  1. berbahagialah mbak pito yang semua charger-nya masih berfungsi...

    ReplyDelete
  2. lha emang charger mu udah mbok jual ke konter HP toh, nyong?

    ReplyDelete
  3. family, semua akan terasa indah, jika keluarga selalu berada di samping dan memberikan semangat pada kita

    ReplyDelete
  4. gak tak juwal, mbak...
    sing loro wis nggak iso dipake...
    yo diguwak tho...
    sing sitok'e meneh rusak tapi kadang2 sek iso dinggo...

    jadi lek aku low-bat biasane numpang nganggo charger-e uwong... arep tuku maneh kok wis ga enek sing juwal...

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women