A God-Forsaken Place Called JAKARTA

Tanpa membuka kamus, definisikan kata indah. Lalu, juga tanpa membuka kamus, jabarkan kata bobrok. Jika otakmu terlalu bebal diajak berpikir atau lidahmu tidak bisa merangkai apa yang ada di benak, datanglah ke Jakarta. Di sini keduanya mewujud, dalam sebuah kota dimana gemerlap dan muram bersanding nyata berpegangan tangan.

Di tempat ini banyak orang mengais mimpi, datang berduyun-duyun dari pelosok daerah terjauh, mencari sepenggal harap dan sepotong pengakuan. Banyak dari mereka yang terhempas di tengah jalan, namun tidak sedikit yang melesat tinggi mencapai bintang--dengan cara halal maupun tidak. Saya? Hanya pengamat yang duduk di tengah, berusaha merunduk tak terlihat dan mengeraskan hati untuk tidak mengulurkan tangan seperti Kevin Carter memotret bocah Sudan sekarat yang kemudian fotonya menang Pulitzer tahun 94 (lalu bunuh diri).

Bullshit jika ada orang bilang bahwa hanya orang di desa yang rajin bangun pagi. Disini orang bahkan tidak pernah tidur demi kerja. Coba ke Pasar Induk Kramat Jati atau pasar-pasar lokal manapun, dari yang pusat hingga yang mepet Jakarta Coret semacam Bekasi, Tangerang, Depok, atau Bogor. Dinihari uthuk-uthuk, lepas tengah malam, sudah banyak orang menggelar dagangan hingga terbeber hampir ke tengah jalan. Mulai dari tukang ojek, tukang becak, preman, buruh angkut dan anak-anak penjaja plastik serta bencong pembawa bas kotak hilir mudik, tidak hanya pembeli dan penjual sayur. Ada yang nongkrong di warung kopi atau makan mie instan pengganjal perut, bergosip mesum tentang janda penjual cabai atau mengeluh kalah taruhan, sementara bapak-bapak merokok kretek berseragam biru mengutip uang retribusi dari tiap lapak.

Di Senen atau selempitan belakang Melawai. Jam setengah tiga pagi tenda telah siap terpasang, diterangi pijar neon setiap satu meter pada biru langit-langit terpal, menaungi kesibukan penjual dan pembeli jajan pasar maupun kue modern di bawahnya. Berlomba riuh dengan derit suara crane maupun gemuruh truk molen membangun gedung di balik pembatas pagar batako tinggi.

Sebelum pintu tol Cawang ada berjejer rapi mobil van yang diatur para timer atau pengangguran iseng, menanti penumpang dengan sabar disela bis-bis AKAP datang-pergi yang menyedikit sejam sebelum Subuh. Mobil van itulah yang membawa pekerja-pekerja pulang ke Bekasi, Cikarang, Tambun menggantikan angkutan resmi yang telah beristirahat di pool; sementara bis-bis besar jurusan luar Jakarta mengangkut mereka yang rindu kampung. Patroli polisi yang datang dua kali semalam pun mereka bayar patungan agar supir-supir angkutan gelap itu tidak ditindak, terkoordinasi dengan baik oleh para timer.

Di Kota atau Sawah Besar yang 'marun' jejeran penjaja DVD porno, obat ngaceng serta kondom lele dan semacamnya masih terbentang menemani hingar diskotik, karaoke, maupun restoran Jepang sampai pagi. Para 'Chica' atau Amoy ber-makeup tebal berdiri menantang angin malam dengan pakaian terbuka bersama lelaki bermotor di kanan serta Mami atau Papi di kiri, melambai pada kendaraan yang melintas, berharap terjadi transaksi hingga keluarga masih bisa makan dan cicilan ponsel terlunasi esok hari.

Oh, jangan lupa para banci yang kerap berslilit jembut dan pelacur tua obralan berdagang daging busuk satu ons pada pinggir rel dan gerbong kereta rusak, ditemani riuh hentakan dangdut dari gerobak dan goyang nakal penyanyinya yang minim kain. Semua terjadi di sela-sela megahnya menara gedung perkantoran yang siang hari dipenuhi para eksekutif berkesan bersih dan kaya, padahal mereka juga sama-sama berbagi warteg saat waktu makan siang datang. Siapa tau? Dan orang-orang yang datang ke pusat perbelanjaan gemerlap? Kita hanya bisa menduga pekerjaan apa yang mereka lakukan dari cara berpakaian. Padahal bukan tidak mungkin mereka salah satu dari orang-orang profesinya saya sebut di atas.

Muram memang. Namun mereka sama manusianya, berjuang demi nyawa selembar dan tanggungan yang entah berapa mulut. Saya sudah kebal dan tidak lagi punya empati tersisa, karena toh secara prinsip masalah kami sama: bertahan hidup. Saya dengan cara saya dan mereka dengan cara mereka. Kadang saya dan mandor saya juga masih harus bekerja hingga dini hari dalam pabrik terang, bersih dan tenang (kecuali media player meneriakkan lagu gubrag-gubrak pelepas tegang yang saya setel dengan volume penuh), atau bahkan tidak pulang sama sekali. Para pemburu berita dalam ruangan hectic harus standby, mengetik dan mengedit tulisan mengejar tenggat layout lalu naik cetak. Ada juga mbak-mbak artis sinetron yang harus berkompromi dengan kerja dari jam 5 sore hingga jam 5 pagi, meskipun take gambar hanya adegan keluar dari taksi. Begitu juga Om Sutradara, tukang sombok dan tukang lampu. Jangan lupa mas-mas kemayu bagian makeup dan kostum. Atau mereka yang sibuk editing, terkungkung dalam ruangan, menunggu render berjam-jam atau menggunting adegan layak sensor. Atau bagian olah naskah yang ribet merombak-ulang cerita karena setting tidak sesuai dengan skenario. Yang membedakan kami hanya nasib dan kesempatan.

Dia mungkin lebih bisa menangkap keindahan dari segi arsitektur dan pembuatan, sementara bagi saya semua gedung pencakar langit adalah sama angkuh dan tak pernah ramah. Namun saya menemukan keindahannya bertiga bersama setan dan dedemit; atau saat duduk berdua berbagi rokok bareng Jin Laknat pada dingin marmer di pinggir kolam Plaza Indonesia. Jakarta sedikit senyap setelah tengah malam. Di sebelah-sebelah kami beberapa anak jalanan meringkuk pulas menahan angin setelah lelah menghirup aibon, dan bapak penyapu jalan mulai bertugas dengan cekatan sesaat sebelum adzan Subuh berkumandang. Saat itu Jakarta menyerah tunduk pada kemauan alam, tanpa pelindung, tanpa polutan asap, tanpa ribut kendaraan, menguarkan keindahan sederhana tanpa malu-malu.

Saya dapat menangkap pendar pantulan lampu pada kolam menerangi sepasang patung Selamat Datang dengan pose abadi. Purnama menggantung tepat di atas logo Grand Hyatt. Sosok Jendral Sudirman terlihat besar dan kokoh meskipun dalam jas hujan dan blangkon. Semburat warna di lubang-lubang patung depan Gran Indonesia. Rinai air jatuh miring yang saya lihat dari shelter busway. Alur-alur dinamis berpola acak pada jendela BMW yang melintas cepat membelah genangan air sehabis hujan. Teriakan riang anak-anak pengojek payung di depan Sarinah. Barisan lampu merkuri di sepanjang jalan protokol. Rukunnya Ibu, bapak dan dua anak yang tidur di emper toko terhalang dari jalan oleh gerobak biru besar berisi plastik dan botol bekas. Gemerlap lampu EX, Starbucks dan McDonald. Liuk warna-warni air mancur di Monas. Renyah tawa para pekerja restoran yang bercanda sambil menunggu angkot jurusan Kota. Pilar dan kubah Mahkamah Konstitusi yang berwibawa. Mungkin berbeda dengan suara jangkrik berderik di sunyi malam pedesaan Banten. Atau kabut pukul tujuh pagi yang masih tebal menggantung pada rumah-rumah di lereng Tengger. Atau ratusan kupu-kupu warna-warni terbang berkerumun di atas batu berbau urin pada salah satu sungai pedalaman Papua. Atau indahnya semburat senja pada pantai sunyi Pacitan. Atau larik pelangi yang terbentuk dari titik-titik air di Grojogan Sewu. Atau taburan bintang yang menggelayut rendah terbawa angin laut Kuta ketika saya masih SMP.

Kota dan desa menyimpan indah dan bobroknya sendiri. Semua sama indah, semua sama bobrok. Bagaimana kedua hal tersebut mewujud adalah masalah teknis yang berbeda dan darimana mata kita memandang. Bagi saya, keindahan hanyalah rasa antara uforia dan sentimentil akibat hal-hal abstrak--kadang acak kadang harmonis--yang tertangkap indera. Jakarta juga memberikannya jika kita menoleh ke tempat dan pada saat yang tepat. Namun tidak ada yang lebih indah daripada berjuang dan berhasil untuk tidak menjadi srigala di kandang srigala bernama Jakarta; sementara yang lain berhasil menjadi srigala di kandang domba di luar Jakarta.

Saya masih mengangguk setuju jika ada yang menyebut tempat ini sebagai Jancukarta setelah setidaknya dia telah berjibaku dan berhasil beradaptasi meski makan waktu sepuluh tahun. Namun maaf, bagi kalian yang belum pernah sekali pun menginjakkan kaki--apalagi bekerja--disini, jangan pernah berkomentar di hadapan saya tentang kebusukan Jakarta. Karena bahkan Al Ghazali pun berujar, 'Jangan berkata apa yang tidak kamu ketahui'.

Thus, shut the fuck up and carry on with your happy, tranquil life in a peaceful village anywhere. Capiche?

Halah! Backsound lagune malah Englishman in New York!


ps: Long live Three Musketeers, the last men standing in the end of Friday Nights! Haha!

Comments

  1. :) saya tinggal di dekat kota jakarta, saya bekerja dan berkuliah juga di jakarta, :)
    ya, harus diakui memang jakarta sungguh -kejam- , -liar- dan semacamnya
    :) hanya bisa berharap agar lebih baik kedepannya, masalah review papuanya
    :) thx,keren

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?