*Coming Through from the Monastery of Hate
dialektika kami tanpa radio dan visualisasi anti-HBOSepulang dari memburuh di pabrik topeng tadi malam saya berlama-lama duduk di kursi rotan pada teras, mendengarkan berita dari televisi di kamar sebelah. Mahasiswa Makassar menolak kenaikan harga BBM, kata mbak pembawa berita yang intonasinya kerap tidak sesuai, bikin muak dan digawat-gawatkan. Sambil memasukkan sepasang kaus kaki bau ke keranjang baju kotor saya hanya mencibir lalu masuk kamar, menyalakan mesin tik dan memilih Homicide sebagai pengantar malam. Ya, saya apatis.
tanpa agenda politik partai yang membuat Mussolini membantai D'Annunzio
juga korporasi multinasional yang menjadikanmu lubang senggama
kooptasi kultur tandingan yang berunding dalam gedung parlemen Partai Komunis Cina
yang mereproduksi Walter Benjamin ke tangan setiap seniman Keynesian
yang mensponsori festival insureksi dengan molotov cap Proletarian®
instruksi harian dalam mekanisme kontrol pergulatan menuju amnesia
lupakan Colombus, karena Bush dan Nike® telah menemukan Amerika®
inkuisisi mikrofonik dalam kuasa estetika
yang merevolusikan pola konsumsi menjadi intelektualisme organik seperti Gramsci
Homicide - Boombox Monger
Televisi dan media sudah tidak dapat menggerakkan hati saya untuk bersimpati. Politik, bencana, demonstrasi mahasiswa, iklan, sinetron. Saya sudah kebal. Saya menolak percaya. Saya membutakan mata karena media, sebagaimana halnya sejarah, dapat tertulis menurut orang dan kelompok yang mengangkanginya. Saya hanya kebetulan lahir di negeri (yang dulunya) hijau-indah namun bersistem brengsek bernama Indonesia dimana orang-orang yang dihormati berlaku lebih rendah daripada maling, menjual apa-apa yang bukan miliknya demi kepentingan perut dan sedikit di bawah perut. Saya tidak pernah menggunakan hak pilih saya secara benar karena saya tidak pernah percaya pada bapak-ibu terhormat di gedung DPR sana. Saya tidak pernah merasa bertanggungjawab sebagai warganegara karena negara pun tidak pernah bertanggungjawab pada rakyat kecuali (mungkin) pada para istri dan selir dan gundik dan gigolonya. Sebagai penghuni bumi maka tanggungjawab saya hanya pada bumi. Buang sampah di tempatnya, irit air dan listrik, selalu bawa tas belanjaan sendiri dan menolak plastik supermarket, berusaha menjalankan Reuse-Recycle-Refill secara Spartan, semacam itulah.
Saya sudah pernah membaca 1984-nya Orwell dan saya rasa sepetak negara yang saya tempati ini tidak ada bedanya dengan wilayah dimana Big Brother berkuasa. Saya juga bukan konseptor ulung dan luarbiasa pintar yang mampu membuat cetak biru negara Utopia-Madani. Hidup saya hanya seputar kerja, duit, nongkrong, jalan-jalan, caci-maki, dan mungkin kelon sekali-sekali jika bernyali. Saya terlalu lelah mengikuti laju pemberitaan tentang politik, siapa menjabat apa, tentang perekonomian, bahkan gosip artis sekalipun.
Namun saya punya mimpi, dimana masing-masing jiwa yang mengaku bertanah-air Indonesia mampu saling jaga tanpa gampang curiga, tidak memakan saudaranya, hormat pada alam pada air pada langit yang telah berbaik hati memberi perlindungan, dapat saling memahami ideologi merah-hitam-hijau-kuning-putih, membuka wawasan akan hal-hal baru dan tidak sekedar meniru, dan bangga dengan ke-Indonesiaannya. Sungguh, saya mimpi.
Dan demi perpanjangan tangan remah di mulutmu, Anakku
Jangan izinkan aku terlelap menjagai setiap sisa pembuluh hasrat yang kumiliki hari ini
Demi setiap huruf pada setiap fabel yang kututurkan padamu sebelum tidur, Zaharaku, Mentariku
Jangan sedetikpun izinkan aku berhenti menziarahi setiap makam tanpa pedang-pedang kalam terhunus
Lelap tertidur tanpa satu mata membuka
Tanpa pagi berhenti mensponsori keinginan berbisa
Tanpa di lengan kanan-kiriku adalah matahari dan rembulan
Bintang dan sabit
Palu dan arit
Bumi dan langit
Lautan dan parit
Dan sayap dan rakit
Matahari tak mungkin lagi mengebiri pagi untuk menghianati...**
[mari tundukkan kepala bagi Ibu Nusantara yang makin sekarat terjual oleh anak-anaknya sendiri]
* Taken from State of Hate
** Taken from Barisan Nisan
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?