Immaterial Thing Called Happiness

"Kamu bahagia?" tanya seseorang pada saya berbulan-bulan lalu.

Dengan mantap saya menjawab, "Ya. Saya sangat berbahagia."

"Meskipun kamu protes memaki keadaan dan kenyataan yang nggak bisa kamu terima?" tanyanya lebih lanjut.

"Ya."

"Meskipun banyak hal yang ingin kamu raih tapi beberapa terhempas keras ke bumi?"

"Ya."

Absurd? Nggak juga.

Kebahagiaan adalah mindset. Saya memutuskan dari awal bahwa apapun yang saya hadapi, bagaimana proses dan seperti apa hasilnya nanti, semua adalah kebahagiaan dari awal hingga akhir. Tidak hanya hasil akhir yang dapat menentukan seseorang itu bahagia atau tidak. Jika harapan tidak sesuai kenyataan, berbesar hatilah meski awalnya harus memaki demi menenangkan ego yang terinjak. Ketika nasi sudah menjadi bubur, buatlah bubur ayam yang enak.

Sebutlah sesukanya. Silahkan stempel jidat saya sebagai 'tukang berapologi', karena seseorang pernah berkata bahwa manusia selalu bermain-main dengan skenario apapun di pikirannya untuk meringankan pedih yang dia derita. Apalagi sebagai orang (yang mengaku) Jawa. Selaknat apapun kondisi yang saya hadapi, selalu ada untung menggantung rendah di langit-langit dan sangat mudah dijangkau. Yang harus saya lakukan adalah menoleh dari pintu yang telah tertutup untuk mencari pintu lain, atau jendela terbuka. Saya tidak peduli jika untuk keluar dari masalah saya harus melompati satu daun jendela ngablak seperti maling celana dalam. Toh manusia diciptakan komplit dengan insting, otak, emosi, dan nurani yang pada akhirnya hanya menjelma mahluk oportunis demi kelangsungan hidup 'waras'. Termasuk saya.

Definisi bahagia juga berbeda-beda untuk tiap kepala. Mungkin kebahagiaan saya tidak terletak pada tas Louis Vuitton seharga dua puluh juta kayak Ibu Mandor. Mencuri waktu membaca kisah dongeng hebat di sela pekerjaan memburuh adalah oase bagi saya. Kebahagiaan bertemu pacar melepas kangen setelah tiga hari absen tidak pernah saya rasakan karena saya bisa mati bosan sering-sering ketemu. Namun saya senang berkumpul bersama para bedebah, dedemit, jin dan setan pada Jum'at malam setelah lima hari kepayahan mengikuti ritme kerja yang mirip rodi.

Saya sok nggak nganggap penting materi ya? Nggak juga sih. Saya juga senang belanja meski hanya di emperan Blok M. Seperti perempuan pada umumnya, saya kerap menjalankan retail therapy ketika gundah menyerang. Karena mampunya cuma itu, beli barang lucu-lucu harga limaribuan sebanyak tiga item atau berburu jins selutut yang muat sama saya adalah kebahagiaan tersendiri yang mungkin kamu anggap bodoh. Itu adalah kompensasi karena saya terlalu angkuh untuk menangis. Kecuali denger Cryin'-nya Satriani dan For the Love of God-nya Vai sewaktu mellow sendirian--which is amat sangat jarang sekali karena saya sedang terpesona pada suara maskulin Jonathan Davis dan petikan gitar James Shaffer.

Penjabaran saya tentang bahagia adalah ketika saya dapat menemukan keindahan sederhana pada setiap kejadian yang menjadi bagian dalam sebuah proses panjang bernama hidup hingga saya meregang nyawa nanti. Sumbernya adalah anggota lingkaran kecil-sempit bernama keluarga dan sahabat. Ya. Sesederhana itu.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?