Melankoli Dini Hari

Tengah malam, Nduk. Apa yang kau sesap sekarang? Kopi Sumatra yang getir luarbiasa itu? Atau Kopi Bali yang aromanya ramah? Buku apa yang sedang kau gumuli seharian ini? Novel psycho, sastra, atau buku teori tebal? Khatam kamu memamah Origin of Species yang telah kamu pinjam hampir setahun itu? Sudah berapa batang nikotin terbakar dalam dua puluh empat jam terakhir? Sebentar, biar kukira-kira. Mengingat sekarang adalah hari liburmu, pastinya sudah... dua setengah mendekati tiga bungkus? Betul? Ah, tidak percuma kau sebut aku belahan jiwa. Aku tau kamu hingga ke lubang taimu.

Maafkan jika kusapa kamu saat jiwa sedang gulana. Sebagaimana azas manfaat yang kamu terapkan, aku hanya ikut alurmu. Aku sedang perlu kamu yang pemarah karena dendamku tidak pernah selesai. Aku sedang perlu kobarmu untuk menerangi kembali sudut-sudut terjauh liang hati kosong dan dingin yang kini gelap karena hanya bara kecil yang tersisa di tengah.

Aku sedang lelah, Sayang.

Otakku beku. Lidahku kelu. Jemariku kaku. Raga ngilu ini kuhela berkoordinasi memuntahkan kata, baris demi baris, untuk sampai padamu. Karena aku perlu penawar instan dan muak pada alkohol. Aku rindukan akhir yang tidak pernah sampai padaku. Perjalanan ini terlalu jauh. Terlalu lama. Semua yang berhasil kuraih kini telah kehilangan greget. Karenanya aku kembali memeriksa log. Apa-apa yang sudah kudapat kuberi tanda, dan rasanya sudah cukup. Namun penantian yang lama membuatku iseng mencari yang belum kudapat. Hingga akhirnya aku kembali terpuruk pada satu nama yang kupikir telah tersimpan rapi di sudut terjauh.

Seperti biasa, kamu sudah tau kelanjutannya. Aku kembali jatuh ke lubang tanpa dasar. Siklus itu berulang lagi. Aku tau pada titikku kini kamu pasti merepet menyemburkan sumpah serapah dalam segala bahasa. Bertahun-tahun, ternyata aku tidak pernah 'lulus' kelas Hati 101. Aku ingin sepertimu, berpaling dari pintu yang lama tertutup dan telah berhias tumpukan tebal sarang laba-laba. Aku ingin mencari jendela. Tapi inderaku seperti tersihir dan kembali memandangi ornamen kenop dan lis berukir pada pintu tua termakan usia, menanti derak dan keriut engsel karena lama tidak tersentuh minyak. Aku terhipnotis menatap bulatan logam berkarat, menunggunya berputar melawan arah jarum jam, berharap dapat sejenak melihat raut wajahnya tersenyum ketika mendapatiku duduk diam di balik pintu, suatu saat nanti. Entah kapan.

Padahal aku tidak sediam itu.

Kamu tau aku sudah berusaha keras, kan? Kamu juga tau aku telah menekan emosiku kuat-kuat hanya untuk menghapus satu nama selamanya, kan? Apa yang aku lakukan juga telah mendapat restumu, kan? Tapi mengapa aku selalu kembali kesana? Apakah dia kutempatkan di posisi paling atas dan teramat sangat jauhnya hingga tak ada satu manusia pun yang mampu mendaki dan menggulingkannya dari singgasana padma cemerlang layaknya Buddha? Semua ini benar-benar di luar akal sehatku.

Nduk,
Jika kamu telah jauh berjalan dan perlu pelukan hangat serta rumah untuk pulang, aku selalu menunggumu. Mungkin kita dapat saling membasuh luka berdua, berbagi derita bersama tanpa saling menasehati, tanpa bau alkohol melayang di dunia kotak kita masing-masing. Aku butuh energimu untuk membangunkanku dari melankoli sesedih senja di tepi pantai-pantai Aceh setelah gelombang besar menerjang. Aku perlu cacianmu agar tidak terlalu lama terlena seperti penduduk asli yang selalu disetok Cap Tikus oleh Freeport. Aku rindu tamparanmu agar tersadar dari cuci otak serupa iklan dan jargon wakil rakyat menyungging senyum di wajah sambil menggendong balita yang belakangan ini kerap kau temui dari layar televisi hingga gedung bioskop.

Tapi tolong, bergegaslah. Waktuku tak banyak. Nyawaku tinggal separuh nafas.

[Maaf, Pak Tua. Hanya ini yang aku bisa. Memberi sedikit drama dan memajangnya bersama serpihan kerak otak sebagai monumen ketika diri tumbang mengharap bangkit dengan dendam]

ps: lagunya pas sekali. endlessly dari muse. menyusul, thoughts of a dying atheist, sepertimu, Pak Tua. semoga kamu senang karena kita benar-benar konek.

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women