Tentang Perpisahan

Teriring Chords of Life meretas pada kisi-kisi malam, saya membungkuk rendah pada keputusanmu mundur teratur dari kalangan. Mungkin nafasmu sesak akan perhatian manusia-manusia tanpa wujud yang kamu sapa setiap persinggahanmu perlu ditengok. Atau kamu hanya lelah harus kunjungan balik kenegaraan ketika mereka meninggalkan jejak walau setitik. Saya tidak pernah tau karena saya belum mengenalmu sedalam itu.

Namun satu hal yang kamu perlu tau: tidak ada kewajiban untuk memenuhi keinginan semua orang. Jadilah dirimu sendiri. Berbuatlah semaumu tapi jangan pernah lupakan what you give you get back. Puaskan dahagamu untuk meng'ada', membentuk diri sesuka hati, membiarkan kemana angin dan aliran air membawamu, menikmati desau dan denyut dan gelenyar yang teraba dan terasa pada semua indera. Karena kita anomali. Karena, nanti, kita mati sendiri. Dan teman yang baik adalah mereka yang selalu ada ketika kamu lungkrah, mengamati dari kejauhan ketika kamu sedang berproses, dan menangkapmu ketika jatuh. Tidak akan banyak yang tersisa, memang. Begitulah seleksi alam.

Dan saya menentang keras saat kamu berkata 'sebagai perempuan maka pantang menjadi liar'. Definisikan liar. Menurutmu, menurut saya, atau menurut mereka? Kita hanya manusia yang terdiri dari darah, daging, dan tulang; sama-sama perlu makan sebagaimana yang ter-brainwash dalam jargon empat sehat lima sempurna; kadang bosan pada rutinitas dan perlu menggebrak untuk dapat kaget dan kembali tersadar; terombang-ambing antara menjadi individu, kekasih, teman, anak, rekanan, objek flirting, kakak, atau salah satu anggota masyarakat besar bernama dunia. Tidak ada yang sama pada pandangan dan otak kita. Yang ada hanya ketakutan untuk menjadi tidak monokrom, padahal karena itu pelangi jadi indah. Dan apakah bukan karena beda yang menjadikannya paling sempurna di matamu diantara iblis-iblis yang lain?

Ah, mungkin saya yang terlalu memandang semua melalui kacamata kuda yang saya kenakan. Saya yang hanya melihat apa yang ingin saya lihat dan abai pada ketidaksesuaian yang terjadi meskipun terpapar nyata di hadapan. Seharian ini ada satu orang lagi selain kamu yang memutuskan untuk mundur ketika keadaan tidak lagi tertanggungkan dan gesekannya pada ego terlalu besar untuk sekedar dinafikan. Dalam 'perang'nya, meski masih angkuh menatap langit dan tegar menjejak bumi, tidak ada pihak yang dimenangkan. Dia harus kehilangan nafkah, dan 'The Plintuter' mesti kehilangan asisten tangguh berbonus kesombongan yang burai. Dan, sama sepertimu, dia telah memilih. Haruskah saya gugat sesuatu yang bukan hak saya? Haruskah saya protes pada konsekuensi yang tidak terbebankan di pundak saya? Well, mungkin jika Yesus bisa memilih, dia juga ogah menanggung dosa semua anak manusia. Alih-alih disalib hanya bercawat koyak di Golgota, mungkin dia lebih suka menikah dan beranak pinak, membangun keluarga sakinah mawadah warrahmah bersama Maria Magdalena di pelosok terlupakan pada Jerusalem sana dan mati bahagia di usia senja. Tapi dia tidak punya pilihan. Dan disitu letak keberuntungan kita. Patut kita bersyukur karenanya.

Come what may. Jangan pernah hilangkan antusiasme seorang bocah yang tidak sabar kapan kereta akan berhenti di stasiun tujuan untuk kemudian menumpang dokar ke tempat kakek. Meski apa yang nanti kau temui tak sama, akan banyak kejutan menanti yang membuat darahmu berdesir dan jantung berdegup kencang. Bebaslah, Sista. Tantang angin dan kepakkan sayap. Kamu tau kemana pulangmu.


Dedicated to Stey. Damn, I'm losing one of my fans. (Anjrit! Narsis pisan!)

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?