Malam Depan Istana
Setelah sukses menggondol dua buku dari si kerempeng sembelit anggota PKI tukang kelayapan yang tempo hari nyepeda onthél bawa pipis setan, keluar dari my fortress of solitude berpintu tanpa kunci untuk 'ngafé' gratisan, flirting nggak jelas sama brondong ganteng-tinggi-gede tapi narsis dan duduk bareng cowok Purworejo gonjes manis ngobrolin tentang mahalnya punya anak, akhirnya pesta pun selesai. Saya dan Jin Laknat ini akhirnya bubar jalan menyusuri trotoar lebar menyenangkan karena masih kepingin ngobrolin apa sih pentingnya sejarah sambil merokok santai.
Mak bedunduk mata saya tertumbuk pada lampu kristal menyala terang di langit-langit teras lebar yang saya lihat dari luar pagar besi dimana halaman depan seluas lapangan bola berada di sebaliknya. Meski besar di ibukota, saya akui saya amat sangat ndésonya. Nggak tau apa-apa. Saya pun bertanya--dan menyesal kemudian karena saya menyadari sepersekian detik setelahnya bahwa jin yang berjalan di sebelah saya ternyata jauh lebih ndéso.
"Cuk, ini istana ya?"
Dan kemudian dijawab dengan, "Tauk. Iya kali."
Kami kembali berjalan pelan sambil sesekali menghisap rokok dengan nikmat, mereguk pemandangan Jakarta berpurnama Waisyak tengah malam saat keindahan khas kota mewujud tanpa teracuni buram asap knalpot dan suara riuh kendaraan atau panas terik berdebu. Beberapa meter kemudian saya melihat Kandang Monyet dengan dua kunyuk menyandang bayonet berhelm putih di kepala sedang ngobrol di tengah jalan masuk beraspal menuju Istana.
Mendadak salah satu siamang itu menunjuk ke arah kami sambil berteriak-teriak. Reflek yang lambat banget dikombinasi dengan kemampuan mendengar lima level dibawah normal bikin saya bener-bener nggak ngerti apa yang dia maksud waktu jarinya gerak-gerak ke arah seberang jalan. Dengan muka bego saya cuma balas teriak 'Hah?!' ketika akhirnya saya dengar suaranya:
"Jangan lewat situ! Sana! Kesana!"
Untungnya, meskipun lebih ndéso daripada saya, Jin itu lebih pinter. Refleknya lebih jalan, dan dia bisa baca gerakan bibir dari jauh. Mungkin akibat telaten ngoprek Drupal dan install server Windows 2003 cuma untuk diganti Linux, ditambah paparan radiasi ribuan kWh yang kerap melanda otaknya. Apalagi sekarang mesin ketiknya ketambahan memori 2 GB. Saya yang masih nyureng ndelok kethék mbengok (yes, I need new lenses in my glasses, fuck you very much) segera ditariknya menyeberang. Saat itu baru saya menangkap conthongan salah satu beruk.
"Ngerokok tuh! Pada ngerokok! Sana! Jalan kesana!"
Saya baru ngeh saat nyebrang, dan hal itu membuat saya sesekali menoleh ke sepasang babon homo dengan tatapan andai-saya-punya-kemampuan-ngampleng-jarak-jauh-udah-tak-jotos-raimu-cuk. Meskipun ada trotoar nyaman terpasang sepanjang ruas jalan, ternyata pejalan kaki nggak boleh melintas di depan Istana yang dibangun atas pajak dan retribusi dan devisa DARI RAKYAT YANG SEBAGIAN BESAR MISKIN dan sekarang telah menjadi aset negara itu. Sementara Jin yang menarik bagian lengan kaos gratisan saya mengangguk-angguk sambil senyum dan berkata "Iya, Pak... Ini kita lagi nyebrang, Pak... Iya, Pak..." menanggapi seruan bernada mirip meneriaki maling ayam, saya misuh-misuh "Anjing! Anjing! ANJING!!!"
Saya bener-bener nggak abis pikir. Jika kami ingin berbuat onar, jumlah kita imbang. Dua lawan dua, meski bodi saya boleh diitung tiga. Jin saya itu cuma berbekal belati bankai Smith & Wesson (dan beberapa jin yang beneran jin) yang baru dia beli siang tadi, sementara sepasang lutung géblék itu punya bayonet dan rekan-rekan seperlutungan sak bajeg kirik yang berjaga nggak jauh dari sana. Apalagi ada dua truk barbed wire tajam-tajam yang panjangnya bisa mengelilingi satu RW.
Di angkot menuju Blok M, satu-satunya jin halus budi-bahasa (sesuai dengan kultur bangsa Jin, tentu) itu cengar-cengir sok menenangkan saya yang berusaha mengendalikan sumpah-serapah. Dan gagal.
"Itu trotoar sak hohah, segede alaihim gambréng, kenapa juga dibikin kalo nggak boleh dilewatin?! Jancuk! Simpanse taek! Bekantan mandul! Yak opo wong mlaku mat-matan kok diusir?! If only they have a single active cell in their pathetic brains, they would've silently watched us strolling along and promptly responding when we fucked up and not shouting their asses off instead! Segala neriakin kita ngerokok pulak! Sirik nggak bisa udad-udud yeh?! Salahe mung dadi propos! Above all, it's our money they spent to build that godamned palace, for fuckin's sake! So fuckin' what kalo kita norak ndomblong liatin lampu kristalnya yang keren itu?! Cen asu!"
Masih dengan senyum ala Gandhi (karena mukanya emang mirip), dia menjawab.
"Pit, orang kayak gitu tuh harusnya dikasianin. Bukan dipisuhi. Mereka cuma lagi tugas, menjalankan perintah. Nggak bisa mikir sendiri. Kesannya emang jadi sok kuasa, abussive sama kekuasaan secuil yang mereka terima. Tapi mereka dibayar dan di-brainwash untuk itu. Mungkin Pak Presiden juga nggak mau tidurnya terganggu sama asap rokok, makanya kita disuruh jauh-jauh. Jadi presiden kan tanggungjawabnya berat, nggak boleh dirusuhi hal-hal remeh."
Yeah right.
Saya hanya memandang gerak bibirnya yang bercerita sambil sesekali menatap ke luar jendela. Meski tidak berdegup cepat, Jakarta masih menyisakan denyut yang tersaruk-saruk pada Starbucks dan McDonald, menyerap dalam pendar barisan kuning lampu merkuri, menemani para manusia-manusia kalong berduit menghabiskan bual mengisi perut dan membunuh waktu menuju mentari Rabu pagi muncul pada horison di antara sosok megah gedung-gedung pencakar langit kelabu.
Tapi, hey... Ada apa di Bundaran HI? Mengapa satu lajur jalan terpalang dan jejeran polisi serta lelaki-lelaki berpakaian hitam Paspampres menjadi pagar betis renggang mengatur laju mobil yang melamban? Ah, ternyata ada pengambilan gambar pada jalan yang memisahkan Kedubes Cina dan warung mi instan. Seketika marah saya mereda. Semiskin itukah para anggota Paspampres sampai harus cari tambahan mengamankan lokasi shooting shitnetron?
Shit! I'm just a filthy damned lucky bitch yang siang bisa ngadem di mall. Sore membantai mahasiswa psikologi 'bimbingan skripsi' sambil ngopi dan merokok. Malam leha-leha keminter ikut acara launching buku 'Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia'. Dan masih punya waktu untuk nongkrong menikmati Kopi Jos di angkringan seraya mengenang landmark yang kini tergusur. Lalu pulang pada dunia kotak merupa benteng.
Untuk protes dan pisuhan saya... Mohon maaf ya, Bapak-bapak Bedhés berhelm. Bener deh. Tulus nih.
Mak bedunduk mata saya tertumbuk pada lampu kristal menyala terang di langit-langit teras lebar yang saya lihat dari luar pagar besi dimana halaman depan seluas lapangan bola berada di sebaliknya. Meski besar di ibukota, saya akui saya amat sangat ndésonya. Nggak tau apa-apa. Saya pun bertanya--dan menyesal kemudian karena saya menyadari sepersekian detik setelahnya bahwa jin yang berjalan di sebelah saya ternyata jauh lebih ndéso.
"Cuk, ini istana ya?"
Dan kemudian dijawab dengan, "Tauk. Iya kali."
Kami kembali berjalan pelan sambil sesekali menghisap rokok dengan nikmat, mereguk pemandangan Jakarta berpurnama Waisyak tengah malam saat keindahan khas kota mewujud tanpa teracuni buram asap knalpot dan suara riuh kendaraan atau panas terik berdebu. Beberapa meter kemudian saya melihat Kandang Monyet dengan dua kunyuk menyandang bayonet berhelm putih di kepala sedang ngobrol di tengah jalan masuk beraspal menuju Istana.
Mendadak salah satu siamang itu menunjuk ke arah kami sambil berteriak-teriak. Reflek yang lambat banget dikombinasi dengan kemampuan mendengar lima level dibawah normal bikin saya bener-bener nggak ngerti apa yang dia maksud waktu jarinya gerak-gerak ke arah seberang jalan. Dengan muka bego saya cuma balas teriak 'Hah?!' ketika akhirnya saya dengar suaranya:
"Jangan lewat situ! Sana! Kesana!"
Untungnya, meskipun lebih ndéso daripada saya, Jin itu lebih pinter. Refleknya lebih jalan, dan dia bisa baca gerakan bibir dari jauh. Mungkin akibat telaten ngoprek Drupal dan install server Windows 2003 cuma untuk diganti Linux, ditambah paparan radiasi ribuan kWh yang kerap melanda otaknya. Apalagi sekarang mesin ketiknya ketambahan memori 2 GB. Saya yang masih nyureng ndelok kethék mbengok (yes, I need new lenses in my glasses, fuck you very much) segera ditariknya menyeberang. Saat itu baru saya menangkap conthongan salah satu beruk.
"Ngerokok tuh! Pada ngerokok! Sana! Jalan kesana!"
Saya baru ngeh saat nyebrang, dan hal itu membuat saya sesekali menoleh ke sepasang babon homo dengan tatapan andai-saya-punya-kemampuan-ngampleng-jarak-jauh-udah-tak-jotos-raimu-cuk. Meskipun ada trotoar nyaman terpasang sepanjang ruas jalan, ternyata pejalan kaki nggak boleh melintas di depan Istana yang dibangun atas pajak dan retribusi dan devisa DARI RAKYAT YANG SEBAGIAN BESAR MISKIN dan sekarang telah menjadi aset negara itu. Sementara Jin yang menarik bagian lengan kaos gratisan saya mengangguk-angguk sambil senyum dan berkata "Iya, Pak... Ini kita lagi nyebrang, Pak... Iya, Pak..." menanggapi seruan bernada mirip meneriaki maling ayam, saya misuh-misuh "Anjing! Anjing! ANJING!!!"
Saya bener-bener nggak abis pikir. Jika kami ingin berbuat onar, jumlah kita imbang. Dua lawan dua, meski bodi saya boleh diitung tiga. Jin saya itu cuma berbekal belati bankai Smith & Wesson (dan beberapa jin yang beneran jin) yang baru dia beli siang tadi, sementara sepasang lutung géblék itu punya bayonet dan rekan-rekan seperlutungan sak bajeg kirik yang berjaga nggak jauh dari sana. Apalagi ada dua truk barbed wire tajam-tajam yang panjangnya bisa mengelilingi satu RW.
Di angkot menuju Blok M, satu-satunya jin halus budi-bahasa (sesuai dengan kultur bangsa Jin, tentu) itu cengar-cengir sok menenangkan saya yang berusaha mengendalikan sumpah-serapah. Dan gagal.
"Itu trotoar sak hohah, segede alaihim gambréng, kenapa juga dibikin kalo nggak boleh dilewatin?! Jancuk! Simpanse taek! Bekantan mandul! Yak opo wong mlaku mat-matan kok diusir?! If only they have a single active cell in their pathetic brains, they would've silently watched us strolling along and promptly responding when we fucked up and not shouting their asses off instead! Segala neriakin kita ngerokok pulak! Sirik nggak bisa udad-udud yeh?! Salahe mung dadi propos! Above all, it's our money they spent to build that godamned palace, for fuckin's sake! So fuckin' what kalo kita norak ndomblong liatin lampu kristalnya yang keren itu?! Cen asu!"
Masih dengan senyum ala Gandhi (karena mukanya emang mirip), dia menjawab.
"Pit, orang kayak gitu tuh harusnya dikasianin. Bukan dipisuhi. Mereka cuma lagi tugas, menjalankan perintah. Nggak bisa mikir sendiri. Kesannya emang jadi sok kuasa, abussive sama kekuasaan secuil yang mereka terima. Tapi mereka dibayar dan di-brainwash untuk itu. Mungkin Pak Presiden juga nggak mau tidurnya terganggu sama asap rokok, makanya kita disuruh jauh-jauh. Jadi presiden kan tanggungjawabnya berat, nggak boleh dirusuhi hal-hal remeh."
Yeah right.
Saya hanya memandang gerak bibirnya yang bercerita sambil sesekali menatap ke luar jendela. Meski tidak berdegup cepat, Jakarta masih menyisakan denyut yang tersaruk-saruk pada Starbucks dan McDonald, menyerap dalam pendar barisan kuning lampu merkuri, menemani para manusia-manusia kalong berduit menghabiskan bual mengisi perut dan membunuh waktu menuju mentari Rabu pagi muncul pada horison di antara sosok megah gedung-gedung pencakar langit kelabu.
Tapi, hey... Ada apa di Bundaran HI? Mengapa satu lajur jalan terpalang dan jejeran polisi serta lelaki-lelaki berpakaian hitam Paspampres menjadi pagar betis renggang mengatur laju mobil yang melamban? Ah, ternyata ada pengambilan gambar pada jalan yang memisahkan Kedubes Cina dan warung mi instan. Seketika marah saya mereda. Semiskin itukah para anggota Paspampres sampai harus cari tambahan mengamankan lokasi shooting shitnetron?
Shit! I'm just a filthy damned lucky bitch yang siang bisa ngadem di mall. Sore membantai mahasiswa psikologi 'bimbingan skripsi' sambil ngopi dan merokok. Malam leha-leha keminter ikut acara launching buku 'Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia'. Dan masih punya waktu untuk nongkrong menikmati Kopi Jos di angkringan seraya mengenang landmark yang kini tergusur. Lalu pulang pada dunia kotak merupa benteng.
Untuk protes dan pisuhan saya... Mohon maaf ya, Bapak-bapak Bedhés berhelm. Bener deh. Tulus nih.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?